Selasa 25 Sep 2018 05:01 WIB

Yang Terlupakan: Jejak Pemikiran Politik Islam Tamar Djaja

Jejak pemikiran politik Tamar Djaja ada dalam Majalah Al-Islam Tahun 1953-1955

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Thawalib Padang Panjang, di bawah asuhan Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul atau ayah Buya Hamka.
Foto: Fikrul Hanif Sufyan
Thawalib Padang Panjang, di bawah asuhan Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul atau ayah Buya Hamka.

Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, penulis dan pemerhati sejarah tinggal di Padang.

Dekade tahun 1920an-akhir 1966 ditandai dengan lahirnya penulis-penulis dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Para penulis dengan background Islam pada kurun waktu tersebut dalam kajian historiografi kolonial dan masa kemerdekaan, umumnya berprofesi sebagai sastrawan dan politisi. Demikian halnya penulis berbasis ideologi Islam yang hidup pada masa awal pergerakan nasional akan memunculkan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masa itu, ataupun yang berhubungan dengan perjuangan Islam dalam konteks ideologi.

Abdul Muis dalam karya Salah Asuhan mengisahkan bagaiamana suasana euforia zaman pergerakan berdampak terhadap budaya dan struktur masyarakat di Sumatera Westkust. Ia mengambil ketokohan Hanafie sebagai tokoh yang paradoks terhadap budaya Minangkabau, dimana ia lahir dan dibesarkan. Hanafie seorang pemuda Minang yang mendapat pendidikan ala Eropa, kemudian menentang habis-habisan budaya yang masih kental pada masa itu.

Dalam karya lainnya, Abdul Muis mengisahkan ketokohan Surapati. Penulis menggunakan Babad Tanah Jawi sebagai sumber utama. Namun roman ini terinspirasi penulis oleh penulis roman Melati van Java (N.M.C. Sloot) dalam karya Van Slaaf Vorst (1887-8). Inti karya yang ditulis oleh Abdul Muis adalah pertentangan antara yg baik dan buru, Indoensia dan Kompeni.

Tulisan-tulisan yang dimunculkan Abdul Muis tentu saja menarik untuk dikaji, terutama pemikiran-pemikirannya sebagai ketua Serikat Islam pada masa itu. Sehingga sejarawan Ann Kumar menganggap karya Abdul Muis menjadi penegasannya sebagai tokoh politik Islam yang mempunyai moral yang kuat dan menjadi refleksi modernisasi di Indonesia.[3]

Selain Abdul Muis, Tamar Djaja merupakan sosok yang tidak asing, baik dalam dunia sastra, maupun dunia politik. Terlahir dengan nama Tamburrasyid Tamar Djaja, lahir tanggal 12 Maret 1913 di Sungai Jaring Bukittinggi Sumatera Barat. Tamar Djaja lahir pada masa arus gerakan modernisasi Islam mempunyai pengaruh besar terhadap pribadinya.

Dalam konteks l’histoire des mentalité (sejarah kesadaran), periode kelahiran Tamar Djaja ini sangat decisive. Sementara menjadi anggota gagasan gerakan pemurnian agama tersebut telah menyebabkan seseorang merasa telah berada di dalam sebuah jaringan persekutuan suci berskala kosmopolitan, pada tingkat domestik anggota-anggota tersebut harus berhadapan dengan colonial state (negara kolonial).

Pola gerakan modernisasi Islam di Minangkabau pada masa itu masuk dalam beberapa saluran, yakni melalui institusi keagamaan, institusi pendidikan, dan peran elite Islam atau dalam bahasa Taufik Abdullah dinamakan Kaum Muda.

Pada pertengahan 1910, gerakan adat berorientasi kemadjuan harus menghadapi tantangan yang kian meninggi dari Islam modernis. Murid-murid Sjech Achmad Chatib telah kembali untuk mendakwahkan gagasan-gagasan pemurniannya di kampung halaman masing-masing.

Yang utama di antara mereka ini adalah Sjech Djamil Djambek di Bukittinggi, Haji Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang, Haji Rasul (juga dikenal sebagai Sjech Haji Abdul Karim Amrullah) di Manindjau dan Padang Panjang, dan Sjech Thaib Umar di Batusangkar. Mereka menyerang kecampur-bauran (ajaran) tarekat dan menentang bid’ah dalam praktek-praktek keagamaan. Gerakan pemurnian mereka ini sangat dipengaruhi oleh pembaru Mesir abad ke-19 Sjech Muhammad Abduh.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement