REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irvan Mawardi*
Perdebatan soal boleh tidaknya mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon legislatif dalam pemilu 2019 cukup mendominasi jagad politik hukum akhir-akhir ini. Dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2017 KPU secara tersirat tidak membolehkan partai politik mencalonkan mantan narapidana korupsi, narkoba dan pelaku kekerasan terhadap anak sebagai bakal calon legislatif yang akan didaftarkan di KPU. Beberapa partai politik tidak mematuhi PKPU sehingga KPU mencoret bacaleg mantan napi tersebut dan akhirnya memunculkan sengketa di Bawaslu.
Menurut KPU ada sekitar 38 bacaleg mantan napi yang mengajukan sengketa dan semuanya dikabulkan Bawaslu, serta meminta KPU mengakomodir mereka sebagai bakal calon legislatif. KPU menolak melaksanakan putusan Bawaslu dan meminta Bawaslu dan semua pihak menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) yang sedang menguji permohonan hak uji materil PKPU tersebut.
Sikap KPU kemudian didukung beberapa elemen masyarakat karena meyakini Bawaslu tidak berwenang menguji pertentangan antara PKPU dengan UU Pemilu. Namun, pengujian itu menjadi kewenangan MA.
Pro kontra tersebut nampaknya akan berakhir seiring dengan keluarnya putusan Hak Uji Materil (HUM) Mahkamah Agung yang menguji PKPU Nomor 20 Tahun 2018 terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dimohonkan beberapa mantan narapidana korupsi seperti mantan anggota DPR, Wa Ode Nurhayati dan mantan gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Dalam amar putusannya terhadap 12 Permohonan perkara hak uji materi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan menyatakan beberapa Pasal dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan UU Pemilu, Putusan MK dan Pasal 28 UUD 1945.
Seperti biasa, pascakeluarnya putusan HUM tersebut berbagai pihak memberikan respon. Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan meminta semua pihak menghormati dan mematuhi putusan HUM MA sebagai hukum yang harus ditaati. Berbagai pihak pun menyerukan agar putusan HUM MA yang selama ini ditunggu sebagai solusi menyelesaikan perdebatan agar segera dipatuhi.
Menguji Konsistensi
Namun sebagian masyarakat justru menunjukkan ketidakkonsistenannya terhadap putusan HUM MA ini dan justru berusaha mendiskreditkan Mahkamah Agung. Sekelompok masyarakat ini pada awalnya mengkritik keras Bawaslu yang mengabulkan permohonan para caleg mantan napi yang menggugat PKPU.
Mereka meminta Bawaslu untuk menghentikan pengujian sengketa soal pencalegan mantan napi ini sampai keluarnya putusan MA. KPU juga diminta agar tidak melaksanakan putusan Bawaslu sebelum adanya putusan HUM dari MA.
Setelah putusan MA keluar, kelompok yang merasa mewakili masyarakat ini mengkritik keras putusan HUM MA tersebut dan memposisikan MA sebagai sarang koruptor dan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, malah menyebut institusi MA juga akan terdampak keputusan tersebut sebab, jajaran hakim agung MA di masa depan dapat dianggap sebagai pilihan-pilihan anggota DPR yang mencakup bekas napi kasus korupsi. Tentunya sikap sebagian masyarakat seperti ini patut disayangkan dengan beberapa alasan.
Pertama, pada awalnya semua pihak baik pemerintah, KPU, Bawaslu, DKPP dan partai politik sepakat meredakan perebatan tentang isu dan menyerahkan sepenuhnya kepada MA. Para pihak tersebut juga telah bersepakat apa pun putusan MA harus dihormati sebagai produk hukum yang dikeluarkan peradilan tertinggi di Indonesia. Sikap ini juga menunjukkan sebagai bagian dari kepatuhan terhadap hukum.
Kedua, sikap yang menilai putusan MA sebagai bentuk pro koruptor selain tidak konsisten terhadap konsensus awal untuk menunggu dan mematuhi putusan MA terhadap isu ini juga menunjukkan pendidikan politik yang tidak baik bagi masyarakat terhadap kepatuhan hukum. Sebagaimana dalam gagasan sistem hukum friedmen, kepatuhan hukum sebagai budaya hukum menjadi pilar penting dalam sebuah pembangunan sistem hukum selain susbtansi dan struktur hukum.
Baca Juga: MA Abaikan Kehendak Publik Menyeleksi Caleg Koruptor
Ketiga, nalar anti korupsi yang seakan ingin dibangun pihak yang menyayangkan putusan HUM MA tersebut harus diluruskan sebab nalar atau budaya antikorupsi harus memiliki paradigma kepatuhan dan ketaatan hukum. Apabila nalar pemberantasan korupsi berada dalam ruang yang bebas tanpa pengaturan hukum maka yang muncul adalah nalar kanibalisme yang justru melahirkan ketidakadilan hukum.
Keempat, dalam konteks isu caleg mantan napi ini, nalar publik terhadap isu antikorupsi, seharusnya dirawat dan dijaga dengan agenda-agenda advokasi yang lebih edukatif, bukan provokatif termasuk mendorong partai politik untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sebagaimana mafhum bersama dari berbagai penelitian dan survey politik mutakhir menunjukkan episentrum untuk memulai pencegahan tindakan korupsi diawali dari partai politik sebagai upaya preventif.