Sabtu 29 Sep 2018 06:07 WIB

Goyang Sneevliet: Kisah Sarekat Islam tanpa Islam

Revolusi Rusia semakin memicu pertentangan kubu kiri dan kanan Sarekat Islam

Cokro Aminoto dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam
Foto: wikipedia
Cokro Aminoto dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam

Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Di antara berbagai ketidaksepahaman kubu kiri di Sarekat Islam, satu hal yang cukup krusial adalah soal agama. Kubu kiri ingin menarik Sarekat Islam ke arah netral agama. Mereka beralasan bahwa agama tidak menyediakan basis yang luas bagi aksi politk. Hal ini diperparah nantinya oleh usul Alimin Prawirodirdjo, yang menginginkan nama Sarekat Islam diganti menjadi Sarekat Hindia.

Persoalan agama sebagai landasan berjuang Sarekat Islam memang menjadi isu yang melandasi pertentangan antara kubu kiri dan Islam di SI. Isu ini nantinya akan semakin santer diperdebatkan, khususnya pasca terjadinya Revolusi 1917 di Rusia.

Revolusi 1917 mendapatkan sambutan hangat orang-orang kiri di Hindia Belanda khsusunya Sneevliet. Ia menulis sebuah artikel berjudul ”Zegepraal“ yang berarti kemenangan. Artikel ini memberikan dukungan agar rakyat Indonesia berjuang melawan imperialisme dan keterbelakangan feodal. Diserukannya,

”Disini ada satoe bangsa jang bersabar hati, sengsara, memikoel kesengsara’an, jalah satoe bangsa dari beberapa million djiwa telah beberapa abad…dan sesoedahnja Dipo Negoro, tiadalah ada bangoen lagi saorang banjak aken mereboet hak beoat mengatoer nasibnja sendiri. Hei, rajat bangsa Djawa, revolutie Rusland mengandoeng pengadjaran djoega bagi kamoe!”

Tulisan ini membawa Sneevliet ke dalam masalah. Pemerintah kolonial bereaksi dengan menyeretnya ke pengadilan dan kemudian mengusirnya dari Hindia Belanda. Di Hindia Belanda orang-orang lintas pergerakan seperti Mas Marco hingga H. Fachrodin bereaksi menentang pengusiran Sneevliet.

Memang, revolusi di Rusia bukan hanya disambut kaum kiri di Hindia Belanda, tetapi juga tokoh nasionalis semacam Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang pertama kali menerbitkan tulisan Sneevliet pada 19 Maret 1917 di De Indier, media massa yang dipimpinnya. Selain Dr Tjipto, Mas Marco juga menulis artikel yang menyambut revolusi tersebut. Ki Hajar Dewantara juga menyambutnya dengan menerjemahkan lagu Internationale.

Semangat anti kapitalisme memang menjadi bahasa pada zaman itu. Tetapi Revolusi 1917, secara khusus semakin memperlihatkan kubu kiri yang bergerak diatas prinsip marxisme. Hal ini menjadi persoalan ketika kubu kiri juga turut meluaskan pengaruhnya di Sarekat Islam. Kecurigaan tokoh-tokoh Islam dalam SI seperti Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim pada sepak terjang kubu kiri di SI sudah sejak lama. Menurut mereka dibalik Semaoen, ada sosok Sneevliet yang mengendalikannya.

”Lihatlah pekerdjaan Sneevliet, lebih dahoeloe ia petjah persekoetoean jang sebidji-bidjinja!

-

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement