REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fahmi Amhar, Anggota Dewan Pakar IABIE/Peneliti Badan Informasi Geospasial
Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019) memprioritaskan infrastruktur dalam program kerja utamanya. Infrastruktur adalah dasar pengorganisasian layanan yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik.
Sebenarnya, infrastruktur dapat dipilah menjadi tiga bagian besar. Pertama adalah infrastruktur fisik, seperti jalan raya dan kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan, bendungan, dan saluran irigasi.
Kedua, infrastruktur keras nonfisik yang berkaitan dengan fungsi utilitas umum, seperti penyediaan air bersih, pasokan energi mulai dari listrik, BBM,elpiji, serta jaringan telekomunikasi, baik telepon maupun internet.
Jenis ketiga, infrastruktur lunak, biasa pula disebut kelembagaan yang meliputi nilai atau etos kerja, norma khususnya yang telah dikodifikasi menjadi hukum, serta kualitas layanan umum yang disediakan berbagai pihak, khususnya pemerintah.
Ini meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, kantor polisi, pengelolaan sampah, hingga penanggulangan bencana, misalnya pemadam kebakaran. Banyak orang hanya terfokus pada infrastruktur keras fisik, seperti jalan tol atau bendungan.
Tak heran ini karena kemajuan pembangunannya paling mudah terukur dan sering cukup dikerjakan oleh satu kementerian saja, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum.
Apakah kemudian jalan tol itu benar-benar terpakai dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, itu urusan lain. Apakah masih ada sawah yang akan terairi oleh bendungan dan saluran irigasi, itu kadang justru jadi tanda tanya.
Berbagai pihak, bahkan di kalangan aparat pemerintahan sendiri, mengeluhkan, saat ini infrastruktur (keras-fisik) terlalu dominan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sehingga mengabaikan banyak hal lain, juga infrastruktur jenis lain.
Bahkan, langkah jor-joran pemerintah dalam membangun infrastruktur keras-fisik telah membuat keuangan beberapa BUMN 'berdarah-darah', terjerat dalam utang puluhan triliun rupiah.
Akibatnya, ketika terjadi bencana, sebagaimana gempa skala besar di Palu baru-baru ini, terasa bahwa infrastruktur keras-fisik tidak berdaya. Nyaris dalam sekejap, jalan yang dibangga-banggakan terputus.
Jembatan indah yang menjadi ikon Kota Palu terempas oleh tsunami. Bantuan sulit masuk karena dermaga pelabuhan rusak berat dan landasan pacu di bandara retak-retak.
Pada saat makanan mulai langka, warga kemudian menjarah toko-toko dan minimarket yang memang pintunya sudah rusak dan terbuka. Namun kemudian, yang dijarah tidak cuma bahan makanan, tetapi juga onderdil motor, elektronik, atau perhiasan.
Di titik inilah kita semakin paham, infrastruktur keras-fisik bukan segala-galanya. Bukan hal yang boleh dijadikan ukuran keberhasilan seorang pemimpin dan bukan hal yang menjamin keberlanjutan sebuah bangsa.
Bangsa Mesir kuno telah membangun infrastruktur hebat yang meninggalkan jejak seperti Piramid. Bangsa Cina kuno telah membangun tembok raksasa yang terbentang lebih dari 5.000 kilometer dari tepi laut hingga tengah Gurun Gobi.
Namun, prestasi itu tidak mampu mempertahankan kekuasaan dinasti yang membangunnya. Baik Firaun maupun para kaisar Cina itu telah jatuh karena melupakan aspek terpenting yang akan menjaga semua infrastruktur itu, yaitu manusianya.
Konon tembok Cina itu tak sampai seratus tahun sudah jebol berkali-kali, bukan oleh pasukan dengan senjata dahsyat melainkan oleh suap kepada para penjaganya.
Tanpa manusia-manusia yang berintegritas (shiddiq), kredibel (amanah), pembelajar (fathanah), serta senantiasa mendokumentasi dan mengomunikasikan gagasannya (tabligh), maka infrastruktur yang dibangun akan salah sasaran, salah desain, salah instalasi, salah operasi, dan tentu saja salah rawat.
Maka kita tak perlu heran jika kemudian jalan tol yang telah dibuat dengan biaya sangat mahal itu sepi. Tidak banyak orang rela membayar mahal untuk melewati jalan tol yang tarif per kilometernya lebih mahal daripada harga BBM per kilometernya.