Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pengamat sosial politik Fachry Ali dalam sebuah perbicangan tiba-tiba mengomentari situasi desa dan petani pada masa kini. dia tiba-tiba bertanya ada apa dengan petani kita. Terlebih dia mengaku mukin gundah ketika terjadi polemik seru soal impor beras yang merajai pemberitaan media massa konvensional hingga media sosial.
“Ini ada apa,’’ kata Fachry sambil menyebut headline sebuah media massa. Dia menyebut tulisan di berbagai media ibu kota itu terbitan edisi pertengahan September 2018.
Akibatnya, apa yang dikatakan Fachry harus dicek. Ternyata dalam lporan itu menulis sebah lagu lama cerita sedih para petani --khususnya di Jawa/petani beras-- soal nasibnya hari ini. Di berita itu ada pernyataan dari petani bernama Sukarta yang berasal dari desa Dukuh Waru, Tegal, Jawa Tengah. Katanya, hasil panen semakin jarang menympan beras dalam jumlah banyak di rumahnya. ‘’Cadangan beras paling hanya bertahan sebulan di rumah. Setelah itu saya beli di pasar atau di warung.’’
Memang kisah ini sama sekali tak indah. Bukan kisah bahagia latau merdu ayaknya simfoni Mozart. Di tengah klaim dan banjir beras — bahkan gudang Bulog tak muat — tetap ke luar keluhan ironis ini.
Tapi apakah hanya terjadi kini saja. Bagaimana perbandinganya pada zaman Hindia Belanda yang terkenal dengan nama Cultuurstelsel yang diterapkan oleh Gubernur Jendral Vanden Bosch usai perang Jawa (Perang Diponegoro) pada 1930. Kala itu penduduk desa (petani) diwajibkan menyerahkan n tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami berbagai komoditi eskpor yang kala itu laku di pasar internasional seperti nilai, tebu, kopi. Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Gubernur Jendral Vanden Bosch
Dan tak cukup hanya itu, para petani diharuskan bekerja secara sukarela selama 75 hari dalam setahun untuk bekerja pada kebun pemerintah. Aturan ini hanya menjadi pengganti aturan bayar pajak tanah yang sebelumnya dicoba diterapkan Gubernur Jendral Hindia Belanda asal Inggris, Raffles, pada dekade pertengahan 1810-an. Van Den Bosch tampaknya mencontoh kebijakan oleh Inggris di India yang kala itu sukses diterapkan.
Ide Vandeng Bosch ini memang cemerlang. Kas keuangan kolonial yang bangkrut membiayai perang Jawa dalam waktu tak lama pulih. Ini berbeda dengan nasib rakyat jelata di Jawa yang semakin amburadul. Kebijakan tanam paksa dipilih pemerintah kolonial karena rakyat tak lagi bisa bayar pajak itu, ternyata harus diganti dengan penyerahan tanah untuk di tanami komoditi perdagangan dan meminta jasa tenaga melalui kewajiban ala kerja paksa secara gratisan.
Maka, kesengsaraan yang sudah timbul pada masa sebelum perang Jawa mulai dari bibit penyakit seperti meluasnya wabah kolera, kelaparan, hingga bencana alam seperti meletusnya Gunung Merapi bangkit. Bahkan rakyat yang kebanyakan petani itu, seolah merasa kesengaran menajdi lestari pada wajah kekuasaan kolonial VOC telah lama bubar. Hindia Belanda (khususnya Jawa) pada kurun itu benar-benar berada pada genggaman pemerintah Belanda. Istilahnya, pemerintah dan negara kolonial Belanda makmur, rakyat Jawa tersungkur.
Di pantai utara nasib rakyat jelata kala itu dikisahkan dengan banyaknya cerita ‘kerangka berjalan’ untuk mengambarkan betapa sengsaranya hidup orang kebanyakan. Apalagi tanah-tanah perdesaan di kawasan Pantai Utara Jawa sudah pula banyak yang disewa oleh orang asing yang baru datang meski dia juga terkena pajak yang tinggi. Ini misalnya tercermin di Batavia dengan dikenakannnya pajak bagi orang-orang yang pakai ‘taucang’ (kuncir).
Namun, meski tahu tanam paksa membuat sengsara kebijakan ini oleh pemerintah kolonial diteruskan. Bahkan kala itu masuk era zaman moderen dengan mulai dibangunnya sarana tranportasi kereta api dengan mencontoh Eropa. Proyek ini dimulai dari sekitar Semarang dan kemudian sampai akhirnya mampu menjangkau seluruh pelosok Jawa.
Petani tebu di era Cultuurstelses. (gahtena nl)
Tak tanggung-tanggung, jalur kereta api yang Belanda bangun kala itu malah lebih panjang rangkaiannya dengan jalur kereta api yang ada sekarang. Jalur ini berujung pada berbagai pintu pelabuhan sebagai ujung dari pergerakan modal dari hasil komoditi perkebunan sebelum di eskpor ke luar negeri (Eropa).
Sayangnya, di satu sisi ada gebyar modernisasi, pada sisi yang lain rakyat atau petani Jawa pada masa itu benar-benar hanya bisa menatap hasil pembangunan.Daerah pertanian baru memang dibuka. Tapi rakyat di pedasan Jawa tak banyak menikmati hasilnya. Hasil pangan tak menutupi kebutuhan perutnya.
Uniknya, bila di Belanda dan kota Amsterdam bisa membangun negaranya menjadi bangsa mengkilap dan makmur, maka di Banten misalnya, yang muncul hanya kemiskinan, rumah reot, dan susah makan. Adanya kisah penderitaan yang kemudian menjadi inspirasi bagi Multatuli untuk menulis novel ‘Saija dan Adinda’. Pada saat yang bersamaan muncul juga apa yang disebut ‘Geger Banten’ yang oleh sejarawan disebut Pemberontakan Petani Banten’. Rakyat, ulama, haji dan petani kala itu melakukan perlawanan sosial.
Untunglah, kemudian ada sedikit arah perubahan politik kolonial. Di tengah masa itu mulai muncul desakan agar pemerintah mulai mengakhiri penderitaan. Sebagian politisi di parlemen Belanda pada awal 1900-an berhasil memaksakan kebijakan balas budi yang terkenal sebagai politik etis.
Sekilas memang, di satu sisi memang politik etis tampak berbudi luhur karena memberikan pendidikan dan posisi baru bagi pribumi untuk elit atau 'priyayi baru' karena menjadi pegawai pemerintah. Tapi hasilnya ini jauh dari maksimal. Kalau pendidikan hanya sekedar bisa baca tulis tingkat dasar. Pendidikan tinggi yang dapat dinikmati kaum ‘priyayi baru’ itu pun hanya tingkat rendahan, sekedar jadi juru tulis atau pegawai administrasi pemerintah kolonial saja.
Maka tetap saja pedesaan dan petani di Jawa (Hindia Belanda pada umumnya) terus menjadi korban kebijakan. Kalau pun nanti diberi kemerdekaan itu pun hanya maskimal berbentuk negara ‘Uni Belanda’ (atau persemakmuran ala kolonial Inggris). Dan ini juga harus dengan prasyarat tertentu seperti dinasihatkan oleh Snouck Hurgronye itu.
Tapi sayangnya segala kenikmatan dan kemakmuran yang dikecap koloniakl ini runtuh pada tahun 1930 saat terjadi krisis ekonomi hebat di Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke seluruh dunia. Komoditi pertanian dan perkebunan asal Hindia Belanda tak mampu diserap pasar internasional. Belanda bangkut, rakyat jelata dan petani di Hindia Belanda lebih bangkrut. Lebih ngerinya lagi kemudian muncul perang dunia pertama yang kemudian berlanjut ke perang dunia kedua.
Nah, pada titik inilah apa yang dikatakan mendiang Budayawan WS Rendra kembali terngiang. Menurutnya, semua ekploitasi dan kolonialisme yang dilakukan pemerintah Belanda itu tidak ngawur atau hanya didasarkan atas kekuatan senjata saja.
‘’Kebijakan kolonial itu dilakukan secara ilmiah dan terstruktur. Istilahnya, kolonialisme Belanda itu dilakukan melalui basis kajian ilmu pengetahuan, rasional, tak hanya 'otot/senjata' saja. Lihat saja mereka hanya mau memberikan pendidikan kepada pribumi sekelas tukang,’’ tegas Rendra.
Apa buktinya? Rendra mengatakan terlihat misalnya dari kualitas pendidikan kepada rakyat yang hanya sekelas ‘Ongko Loro’, atau pendidikan dasar dua tahun dan yang priyayi dan sekolah tinggi pun bersifat praktis begitu. Pendidikan insinyur di ITB semasa itu kelasnya hanya tingkat praktisi sebatas arsitek bangunan dan pekerja menangah ala tukang gambar (anemer) atau tukang bikin bangunan.
‘’Ini beda sekali dengan apa yang terjadi saat itu di Belanda. Di sana ada fakultas humaniora, sosiologi, filsafat, dan sejenisnya. Pendidikan ini sengaja tidak diberikan kepada kaum pribumi yang dijajahnya, padahal sifat dan kegunaan pendidikan ini sangat penting. Di sinilah saya yakin bila kita dahulu dijajah dengan sangat ilmiah dan sistematis,’’ kata Rendra kala itu dalam sebuah obrolan di Kawasan Menteng, Jakarta.
Nah, bercermin dari itu, maka bila kemudian dibandingkan antara situasi pada zaman Cultuurstelsel dengan sekarang bagi kehidupan di perdesaan, semua wajib waspada. Kesulitan ekonomi yang melilit ini harus membuat bersatu. Ingat nasihat Bung Karno yang terkenal dengan perlunya 'Berdikari' serta adanya sebutan ancaman akan hadirnya penjajahan gaya baru: Menjadi negara kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa!
Kata apa yang dikatakan Bung Karno bila sampai terjadi, maka celakalah kita. Leluhur akan mengutuki karena tak melindungi desa dan kehidupan petani. Ingat nasihat bapak India, Mahatma Gandi yang menyerukan swadesi: Bagaimana kami bisa merdeka bila bahan makanan (gandum) saja masih tidak diproduksi sendiri?