Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle
YouTube trending (7/10/18) menempatkan isu Ratna Sarumpaet (RS) hampir 5 juta "viewer" dalam waktu beberapa hari saja. 1,4 juta pengunjung soal debat paska kebohongan RS di TV One, sebagai trending pertama, dan pengakuan bohong RS, trending kedua dengan viewer 3,4 juta.
Google Trend juga memperlihakan pencarian terhadap nama RS mencapai maksimum pada akhir September sampai saat ini. Pencarian di google (7/10/18) menempatkan Jogya, Banten, Riau, Sulut dan Jambi sebagai 5 asal pencari terbanyak. Pencarian dengan kata Ratna Sarumpaet dan Luhut, misalnya, termasuk topik pencarian yang meningkat.
Saya mengambil tema ini setelah melihat kebohongan Ratna Sarumpaet, eks pendukung Prabowo, menghancurkan image Prabowo dan timnya secara dahsyat (dahsyat nya sempat mampu menghilangkan berita Tsunami Palu di Indonesia, yang meski menempati teratas Google News untuk klasifikasi "world", sampai sore tadi, 7/10/18, paling atas dengan judul "No siren, no warning: Indonesians caught unawares by devastating tsunami", Reuter, 7 Oct, 2018)
Tema "Post-Truth" yang sudah dua tahun ini trend di Amerika dan Inggris, kelihatannya sudah masuk ke Indonesia. Sehingga, sudah perlu kaum intelektual masuk dalam pada tema ini. Selain itu, tema ini perlu memperluas wawasan penyelenggara pemilu sehingga tidak segan-segan menginvestigasi isu RS sebagai bagian isu pilpres, bukan sebagai isu kriminal biasa.
Post-Truth Politics
Oxford Dictionary telah menganugrahi kata "Post-Truth" sebagai "Dictionary Word of the Year 2016". Hal ini terjadi karena peningkatan 2000% penggunaan kata tersebut pada tahun 2016.
Apa arti post-truth itu? post-truth menurut kamus Oxford adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau keadaan di mana fakta2 objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada pertimbangan emosional dan keyakinan personal (an adjective defined as 'relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief).
Secara ilmiah, post-truth politik merujuk pada perdebatan atau kontestasi politik yang dipenuhi dengan unsur "false news" atau "fake news", kebohongan (lie), propaganda palsu, bahkan fitnah untuk mempengaruhi opini publik para pemilih.
Istilah ini marak di tahun 2016, karena dua event besar terjadi di dunia saat itu, yakni voting untuk Brexit di Inggris dan Pilpres di Amerika. Penggunaan "fake news" di Inggris dari kelompok "Leave EU" mempropagandakan informasi bahwa Inggris membayar terlalu mahal (350 juta pound per minggu) ke Uni Eropa. Sebuah info palsu yang terus dipompakan kepada masyarakat Inggris.
Di Amerika, Trump menggunakan "fake news" seperti sertifikat lahir Obama palsu dan Obama/Hillary adalah pendiri ISIS, yang mana informasi ini tidak jelas kebenarannya. Dalam hal yang lebih ringan, Trump menuduh moderator debat presiden, Laster Holt, adalah orang demokrat, sehingga tidak fair. Padahal ternyata Holt bukan demokrat. Namun, Kellyanne, asisten Trump, meyakinkan bahwa Trump tidak berbohong. Menurutnya, jika Trump tidak mengetahui pilihan politik Holt, pandangan Trump itu bukan kebohongan, melainkan "alternative fact".
Hunt Alcott dan Gentzkow, dalam riset "Social Media and Fake News in 2016 Election", 2017, menemukan di Amerika ada sebanyak 31 juta share "fake news" di media sosial yang pro Trump dan 8 juta share bersifat pro Hillary.
Post-Truth politik yang bersandar pada "fake news" dan media sosial pada dasarnya dipercaya kandidat dalam menjaga loyalitas masyarakat yang memang terbelah secara politik. Dalam berbagai riset yang ada, seperti Alcott & Gentzkow di atas, untuk pilpres Amerika, dan riset Oscar Barrera dkk, "Facts, Alternative Facts, and Fact Checking in Times of Post-Truth Politics", 2018, untuk kasus pilpres di Prancis, ditemukan fakta bahwa masyarakat pemilih sudah terjebak dalam pemihakan, di mana informasi yang dibutuhan mereka adalah yang sesuai dengan pandangan politik kandidat yang mereka inginkan.
Sebuah upaya untuk koreksi atas informasi yang salah, misalnya melalui "fact checking", tidak merubah opini dan pilihan para pendukungnya.
Post-Truth politik di Indonesia juga sudah berlangsung dalam. Riset atas hal ini, misalnya, dilakukan Rieke Elvira dan Eriyanto, "Post-Truth and Religious Sentiment that Change the Political Landscape and Its Outcome in 2017 Jakarta Gubernatorial Election", Fisip-UI, 2017 menyimpulkan bahwa strategi post-truth telah dilakukan oposisi terhadap Ahok dengan berbagai "fake news", fitnah, sentimen agama, Hoax dlsb untuk menjatuhkan Ahok.
Sayangnya, riset ini berbeda dengan investigasi media terbesar Eropa "The Guardian" dalam "'I felt disgusted': Inside Indonesia's fake Twitter account factories", Juli 2018, yang mengungkapkan pengakuan tim media sosial Ahok yang berbulan2 memproduksi fitnah, hoax dan berbagai "fake news" dengan bayaran yang mahal.
Ratnaeffect dan Pilpres Smart 2019
SMRC ketika merilis hasil surveinya, 7/10/18, memperkirakan adanya efek kebohongan Ratna sebagai penyebab menurunnya dukungan terhadap Prabowo. Tentu saja itu baru dugaan sumir, sebab survei SMRC saat ini justru dilakukan sebelum kasus RS mencuat. Wakil ketua PBNU yang juga mantan wakil kepala intelijen BIN, dalam sebuah media online, meyakini bahwa urusan RS ini belum jelas effect nya atau belum bisa diukur.
Bagi Prabowo dan jajarannya, kebohongan Ratna ini suatu pukulan besar. Prabowo sudah meminta maaf (sesuatu yang tidak dilakukan Trump di USA). Namun, keuntungan bagi Prabowo, waktu pilpres 2019 masih cukup untuk berbenah. Seperti, menyisir unsur2 timses yang diperkirakan sebagai penyusup; memperbaiki kinerja timses; mendorong peranan Bawaslu untuk lebih mengendalikan otoritas pada kejahatan pilpres, dsb.
Pelajaran berharga dari kebohongan RS adalah dimulainya perang informasi dalam konteks "post-truth" politik, sehingga persiapan kontestasi harus lebih komprehensif dan smart.