REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Adiwarman A Karim
“History is seasonal and winter is coming.” Sejarah akan berulang dan musim dingin akan tiba. Ini bukan kutipan serial “Game of Thrones”, melainkan kalimat terakhir dalam film dokumenter tahun 2010, Generation Zero, karya Steven Bannon, penasihat senior Presiden Trump.
Bannon memprediksi tiga kecenderungan yang semakin menguat mengarah pada yang disebutnya sebagai the new barbarity. Pertama, menguatnya crony capitalism dan libertarian capitalism. Dua jenis kapitalisme ini akan menguat dan mengucilkan enlightened capitalism, yaitu kapitalisme yang mencerahkan.
Kedua, menguatnya sekularisme di Barat, terutama pada generasi muda. Ketiga, semakin maraknya perseteruan dengan yang disebutnya sebagai kelompok fasisme Islam.
Untuk yang pertama, bisa jadi karena tidak kunjung membaiknya produktivitas di AS. Gregory Clark, guru besar Universitas California Davis, dalam tulisannya “Winter is coming”, sejak Mei 2016 memprediksi total factor productivity AS masih akan tetap rendah dalam beberapa tahun mendatang.
Marshall Connoly dalam artikelnya, “Forget Winter, Recession is Coming”, malah lebih skeptis lagi melihat perkembangan ekonomi. Perseteruan dagang AS-Cina membawa aura pesimistis dalam menilai perekonomian dunia.
Namun, data menunjukkan, AS sebagai konsumen terbesar dunia telah pulih dari resesi panjang selama delapan tahun terakhir, perekonomian lebih kuat dan sehat, dan pulihnya keyakinan masyarakat terhadap perekonomian AS.
Presiden Jokowi dalam pidato di Sidang Tahunan IMF-World Bank juga dengan tepat mengingatkan “winter is coming” bila para raksasa ekonomi dunia lebih mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan dampaknya pada perekonomian dunia keseluruhan. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan struktur perekonomiannya masing-masing akan terkena dampak dari perseteruan para raksasa ini.
Paling tidak ada tiga hal yang harus diantisipasi dengan musim dingin pada akhir tahun 2018 ini. Pertama, lazimnya musim dingin, permintaan bahan bakar akan meningkat untuk pemanas ruangan. Harga minyak dunia secara musiman akan naik.
Akibatnya, harga BBM dalam negeri juga akan naik, kecuali Premium. Bila kenaikan harga minyak dunia terlalu besar, sehingga pemerintah tidak sanggup lagi menanggung subsidi, maka harga premium pun akan naik. Kenaikan harga BBM ini akan memicu inflasi.
Kedua, the Fed diperkirakan tidak akan menaikkan lagi tingkat suku bunganya sebesar 0,25 persen pada bulan Desember ini karena inflasi di AS telah hampir mencapai 2 persen, yaitu target inflasi maksimal di AS.
Namun, tekanan terhadap rupiah masih akan terjadi karena kebutuhan dolar AS untuk membayar utang jatuh tempo. Rencana kenaikan utang luar negeri BUMN untuk pembelian saham Freeport ikut menambah tekanan. Rupiah diperkirakan masih akan melemah.
Bila ternyata the Fed menaikkan bunganya 0,25 persen pada Desember, BI diperkirakan juga akan menaikkan bunganya 0,25 persen. Bila ini yang terjadi, suku bunga naik tapi rupiah tetap melemah. Keadaan ini akan meningkatkan potensi kredit bermasalah karena kenaikan suku bunga dibarengi dengan penurunan daya beli.
Ketiga, pelemahan rupiah akan meningkatkan rasio utang pemerintah terhadap APBN dalam mata uang rupiah karena menguatnya dolar AS. Rasio utang ini akan bertambah besar bila diperhitungkan juga rasio utang pemerintah dan kuasi pemerintah, yaitu utang BUMN.
Kebijakan utang saat ini agak berbeda untuk meningkatkan kemampuan pembangunan. Anggaran belanja pemerintah tidak langsung digunakan untuk proyek pembangunan tertentu, tetapi diberikan dalam bentuk modal kepada BUMN sebagai penyertaan modal negara.
Selanjutnya, BUMN dengan tambahan modal itu dapat melakukan leveraging, yaitu meminjam kredit dari perbankan atau pasar modal beberapa kali lipat dari besar tambahan modal yang diterima dari pemerintah. Akibatnya, kemampuan BUMN melaksanakan proyek-proyek pembangunan jauh lebih besar daripada bila dana dengan jumlah yang sama diberikan kepada kementerian lembaga untuk membangun proyek pembangunan.