REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Rofy Nurfadhilah*
Perhatian presiden RI dan berbagai kalangan pada Hari Santri Nasional yang diperingati pada Ahad (22/10), kembali membuka cakrawala berpikir kita tentang pesantren. Lembaga pendidikan tertua yang dimiliki bangsa ini telah eksis selama kurun waktu yang cukup lama. Kontribusinya dalam mencetak santri yang militan telah membawa bangsa ini bertransformasi menjadi negara yang merdeka. Perannya dalam mempertahankan kedaulatan RI dari penjajah, menjadi catatan tersendiri bagi sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dominasi kepemimpinan kiai yang karismatik menjadi ciri khas pola pendidikan pesantren. Sehingga, tidaklah heran saat dulu kiai memerintahkan untuk berperang melawan penjajah, maka para santri tidak akan menolak untuk melakukannya. Sebab pengaruh sang kiai sangat kuat dalam menyulut semangat mereka. Termasuk, dalam hal manajerial dan sistem pembelajaran, sang kiai adalah pemimpin pesantren sekaligus guru tunggal bagi para santrinya.
Tantangan zaman, termasuk perkembangan teknologi informasi di dalamnya, tidak akan mampu dilalui oleh santri kalau pesantren hanya mengandalkan karismatik kiai untuk mengatur dan mengendalikan elemen pesantren yang ada di dalamnya. Karena, yang dibutuhkan bagi santri untuk hidup di masa depan adalah kreatifitas. Sedangkan, kekuatan kreatifitas tidak akan muncul dengan baik ketika yang memberi stimulus hanya tertumpu pada sang kiai, sebagai fasilitator tunggal.
Di era milenial, kini pesantren telah banyak bertransformasi menjadi sebuah lembaga formal yang modern. Dominasi sang kiai mulai lebur; hilang seiring dengan adanya manajemen yang lebih terbuka. Elemen dasar pesantren diracik sedemikian rupa, diintegrasikan dengan konsep pendidikan sekolah yang lebih bisa menjawab tantangan zaman. Meskipun, ruh serta elemen-elemen dasarnya masih tetap ada. Konsep pengajian yang biasanya diberikan kiai kepada santri dengan kitab-kitab klasiknya, kini dikemas menjadi sebuah kurikulum yang terstruktur.
Sebut saja, Ustaz Erick Yusuf. Pembina Yayasan iHAQi Indonesia ini adalah salah satu dai kreatif yang mampu meracik pesantren yang didirikannya menjadi sebuah lembaga pendidikan yang lebih modern. Bahkan lebih unik dibandingkan lembaga-lembaga lain yang sama-sama mengusung tema pesantren, dalam upayanya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika Muhammadiyah memiliki brand image Muhammadiyah Boarding School (MBS) dan Pesantren Sains (Trensains), maka Ustaz Erick Yusuf memiliki Pesantren Kreatif iHAQi yang di dalamnya sama-sama mengintegrasikan konsep kurikulum pendidikan nasional dengan kurikulum pesantren dalam pembelajarannya. Namun, hal yang paling menarik dari lembaga tersebut adalah unsur kreatifitas yang melekat pada namanya
Santri dulu dan sekarang tantangannya berbeda.
Kalau dulu, tantangan yang dihadapi adalah penjajah yang 'menodongkan senjata', saat ini dan yang akan datang tantangannya sangatlah kompleks. Salah satunya adalah dari bidang teknologi dan ekonomi yang keduanya saling berkaitan erat. Maka, kreatifitaslah yang akan menjadi modal penting bagi santri untuk eksis di masa sekarang dan masa depan.
Kreatifitas bukan hanya brand image, tapi harus masuk pada semua elemen pesantren yang ada di dalamnya. Kalau Zamakhsyari Dhofier (1994: 44) mengidentifikasi lima elemen dasar pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, kiai dan pengajaran kitab-kitab klasik. Maka, unsur kreatifitas pada lima elemen tersebut harus masuk, sehingga mampu menstimulus santri agar memiliki pola pikir yang kreatif.
Kreatifitas bukan hanya berbicara tentang hasil dari keterampilan tangan semata, namun kemampuan problem solving dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan hidup baik yang dialami diri sendiri maupun orang lain, itu pun adalah bagian dari kreatifitas. Maka, tugas pesantrenlah sebagai suatu sistem, yang mempunyai andil besar dalam mengarahkan santrinya ke arah kreatifitas yang tinggi, untuk menjawab tantangan di masa depan.
*) Guru di Pesantren Kreatif iHAQi