oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
''Janganlah kalian sampai menjadi bangsa kuli yang menjadi kuli di antara bangsa-bangsa''. Pesan ini sudah jauh-jauh hari dikatakan oleh Bung Karno. Dalam pesan tersebut dia ingin agar negara ini menjadi negara mandiri, benar-benar merdeka.
Tapi pada kenyataan makin ke hari masyarakat merasa makin sulit mencari penghidupan yang baik. Solusinya ada yang memilih bekerja di luar negeri menjadi pekerja migran (ada yang menyebut sebagai Pekerja Migran Indonesia/PMI) atau publik akrab menyebutnya sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dari tahun ke tahun, pekerja migran banyak bertumbangan. Terutama mereka yang bekerja di sektor informal di Arab Saudi yang kebanyakan berasal dari sektor perempuan. Dalam banyak waktu muncul begitu banyak kasus kekerasan dan dalam beberapa tahun terakhir sudah dilakukan moratorium alias meniadakan pengiriman tenaga migram perempuan untuk bekerja di sektor inforlam (menjadi pembantu) di rumah tangga Arab Saudi.
Kepedihan terakhir adalah yang terjadi baru-baru ini, Ada PMI asal Majalengka bernama Tuti Tursilawai (33 tahun) terkena hukuman mati di Arab Saudi. Tak cukup terkena nyawanya sudah melayang karena sepekan silam hukuman mati tersebut sudah dilaksanakan. Banyak orang yang kaget karena terkesan Arab Saudi melakukannya diam-diam, tanpa memberi tahu pemerintah Indonesia.
Namun, ketika hal itu ditanyakan kepada mantan Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat,dia bicara penuh ironi. Dia mengakan memang dari dahulu Arab Saudi tak pernah memberitahu bila akan melaksanakan hukuman mati kepada TKI asal Indonesia. Hal ini karena kedua negara tak terikat atau belum menandatangi perjanjian yang terkait tentang kewajiban melaporkan kepada negara asal bila ada warga negaranya melakukan tindak pidana di negara tempatan.
''Jadi memang dari dulu tak ada laporan. Jadi kedua belah pihak tak ada kewajiban hukum. Ini karena Indonesia dan Arab Suadi belum menandatangi perjanjian 'Mandatory Consular Notification Agreement' (MCNA). Hal yang sama juga terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Jadi memang tak ada aturan hukum yang mengikat antara kedua negara,'' kata Jumhur Hidayat, di Jakarta, Rabu (31/10).
Menurut Jumhur, konsekuensi juga terjadi sebaliknya. Bila ada warga negara Arab Saudi melakukan tindak pidana di Indonesia, maka tidak ada warga negaranya melakukan tindak pidana di sini. Jadi Indonesia pun bisa bersikap sama dengan Arab Saudi.''Soal ini beda dengan negara maju lain, Hong Kong misalnya selalu melaporkan setiap kali ada TKI melakukan perbuatan pidana di sana.''
''Untuk kasus hukuman mati kepada TKI bernama Tuti itu sebenarnya kasusnya sudah lama. Berbagai usaha sudah dilakukan. Tapi dia terkena hukuman berat karena terbujti di pengadilan melakukan pembunuhan dan pencurian uang majikannya sebesar 31.000 real Arab Saudi. Tapi Arab Saudi rupanya bergeming karena mereka anggap itu kedualatan hukum dan negaranya. Hal yang sama ketika Indonesia dahulu tetap melaksanakan hukuman mati dalam kasus tindak pidana narkoba dari warga negara asing,'' katanya.
Yang penting, lanjut Jumhur, tindakan apa yang harus dilakukan pihak Indonesia untuk kasus hukuman mati TKI yang berada di Saudi Arabia. Apalagi ini penting karena masih ada sekitar 13 warga negara Indonesia terancam hukuman mati di negara itu.
''Jadi kalau dulu kita langsung moratorium pengirim TKI ke Arab Saudi begitu ada pelaksanaan hukuman mati kepada pekereja Indonesia, nah sekarang apa yang harus dilakukan? Apakah kita akan memaksa Arab Saudi menandatangi perjanjian MCNA itu? Apakah hal lainnya, saya tidak tahu,'' katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyesalkan eksekusi mati terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Tuti Tursilawati, di Arab Saudi. Presiden mengatakan, Konsulat Jenderal Republik Indonesia tidak mendapat pemberitahuan awal tentang eksekusi itu.
"Kita sesalkan, itu tanpa notifikasi (pemberitahuan)," kata Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (31/10).
Tuti Tursilawati dieksekusi oleh Pemerintah Arab Saudi pada 29 Oktober 2018 di Thaif, Arab Saudi, sebagai hukuman dalam kasus pembunuhan majikannya pada 2011 di Arab Saudi. Eksekusi itu dilakukan tanpa ada notifikasi kepada perwakilan Pemerintah Indonesia sebelumnya. Arab Saudi memang tidak menganut kewajiban memberikan notifikasi kepada keluarga atau pemerintah terpidana hukuman mati, tetapi pemberitahuan tersebut dianggap penting untuk mempersiapkan mental keluarga terpidana.
"Saya dapat informasikan bahwa ada tenaga kerja kita, itu Bu Tuti dieksekusi 29 Oktober karena kasus pembunuhan ayah majikan pada Mei 2010, dan seperti yang lalu, KJRI kita tidak mendapat pemberitahuan awal tentang akan dieksekusinya Ibu Tuti," ujarnya.
Berdasarkan data Migrant Care, setidaknnya ada lima TKI di Arab Saudi yang dieksekusi mati tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah, yaitu Zaini Misrin, Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, dan Karni. "Kita sudah menelepon menteri luar negeri Arab Saudi untuk protes soal eksekusi itu. Saat ke sini minggu lalu sampaikan ke Menlu Arab soal ini, juga perlindungan TKI di Arab Saudi," ungkap Presiden.
Menurut Presiden, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah bertemu dengan Menlu Arab Saudi dan sudah memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osama Mohammed al-Shuaibi untuk menyampaikan protes karena tidak adanya notifikasi.
"Kemudian juga Kementerian Luar Negeri saya perintahkan untuk memberi fasilitas bagi keluarga Ibu Tuti Tursilowati untuk ke sana sebanyak tiga kali, sudah," kata Presiden menegaskan.
Presiden pun mengaku sudah menyampaikan soal ketiadaan notifikasi ekesekusi mati tersebut langsung kepada Sri Baginda Raja Salman, Pangeran Muhammad bin Salman al-Saud, serta Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir berkali-kali. "Saya ulang-ulang terus, jangan dipikir kita ini tidak melakukan upaya politik. Menteri Luar Negeri juga sama. Kedutaan tiap hari lakukan hal yang sama," ungkap Presiden.
Tuti Tursilawati dijatuhi hukuman mati pada 2011 atas dakwaan pembunuhan berencana terhadap ayah majikannya, Suud Mulhak al-Utaibi, pada 2010. Menurut keterangan yang diperoleh dari sang ibu yang sempat menemui Tuti di Arab Saudi pada April 2018, Tuti melakukan pembunuhan karena ayah majikannya melecehkan Tuti.
Meskipun kasus Tuti telah memiliki keputusan hukum tetap pada 2011, Pemerintah RI terus melakukan upaya untuk meringankan hukuman dengan pendampingan kekonsuleran sejak 2011, tiga kali penunjukan pengacara, tiga kali permohonan banding. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah juga telah dua kali mengajukan peninjauan kembali dan dua kali Presiden RI mengirimkan surat kepada Raja Saudi.
Namun, berbagai upaya tersebut tidak dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan kepada Tuti, yakni mati mutlak (had gillah), artinya tidak bisa dimaafkan oleh siapa pun, baik oleh keluarga ahli waris korban maupun oleh raja, dan yang bisa memaafkan hanya Allah SWT. Saat ini, menurut data Migrant Care, ada 20 TKI di Arab Saudi yang terancam hukuman mati di mana dua di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Data dari mencatat pengiriman uang dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara asalnya (remitansi) hingga periode November 2017 mencapai sebesar USD 8.015.885.120,00. Atau setara Rp 108.326.671.517.984,00. Data remitansi ini diperoleh dari kolaborasi antara BNP2TKI dengan Bank Indonesia (Divisi Statistik Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia).
Dara remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) pada 2016 terbesar berasal dari Arab Saudi yang dicatat oleh BNP2TKI mencapai US$ 2,78 miliar atau sekitar Rp 36,9 triliun atau sekitar 31 persen dari total remitansi TKI. Jumlah ini mengalahkan remintansi TKI di Malaysia, Taiwan maupun Hong Kong.
Selain itu, khusus untuk Saudi Arabia, jumlah penempatan PMI 2016 sebanyak 13.538, tahun 2017 sebesar 6.471 dan thn 2018 sd September sebanyak 4.524 orang...
Lalu apakah pengirim TKI ke Arab Saudi masih dilarang? Jawabnya, dalam beberapa tahun terakhir sejak era Presiden Susilo Bambang Yuhdono memang masih terjadi penutupan (moratorium). Tapi sumber Republika mengatakan ada kesan kini sudah mulai dibuka kembali. Pada Oktober lalu Menaker mulai membolehkannya dengan dibukanya kembali pengirim TKI ke Arab Saudi termasuk ke Timur Tengah. Programnya melalui program 'One Chanel System'. Nantinya ada 35 ribu TKI asal Indonesia untuk bekerja di Arab Saudi itu. Mereka bisa bekerja di tujuh jenis pekerjaan rumah tangga, seperti sopir, tukang bersih rumah, tukang masak, penjaga orang tua, dan lainnya.
Adanya informasi itu, kemudian terkonformasi pada sebuah berita di media olnline, misalnya CNN Indonesia. Dalam lamanya situas berita ini menulis, Kementerian Tenaga Kerja berencana melakukan uji coba penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi tahun depan.
Dalam berita itu, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemnaker, Soes Hindharno, mengatakan uji coba pengiriman yang direncanakan dilakukan tahun depan itu tak melanggar Permenaker tersebut.
Ia mengatakan ada hal-hal berbeda dibandingkan pengiriman TKI sebelumnya dengan yang akan diuji coba tahun depan. Perbedaan yang dimaksud Soes mencakup tiga aspek.
Pertama mengenai jumlah TKI yang akan dikirim. Jumlah TKI yang dikirim pada masa uji coba nanti hanya sekitar 200-300 orang saja. Tidak besar-besaran seperti dahulu.
"Itu pun bakal terdiri dari calon TKI yang terbaik," ujar Soes kepada CNNIndonesia.com lewat telepon, Jumat (15/12) malam.
Terkait soal pelaksanaan hukuman mati terhadap Tuti tersebut, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo pun telah secara serius merespons situasi tersebut. Menurutnya, Belum usai skandal kematian misterius jurnalis Saudi Arabia, Jamal Khashoggie yang diduga melibatkan otritas Saudi Arabia, kemarin 29 Oktober 2018, Saudi Arabia kembali mengeksekusi Tuty Tursilawaty, PRT migran Indonesia dan menurut keterangan Kementerian Luar Negeri RI, pihak Perwakilan RI di Saudi Arabia tidak mendapatkan notifikasi.
"Situasi tersebut memperlihatkan bahwa ketertutupan informasi adalah upaya untuk menutup-nutupi berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Saudi Arabia, terutama hak asasi yang paling dasar, hak atas kehidupan.
Migrant CARE mengecam keras eksekusi tersebut dan mendesak Pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomasi yang signifikan untuk memprotes Saudi Arabia yang tetap tidak berubah terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan pada tata krama diplomasi internasional mengenai Mandatory Consular Notification,'' katanya.
Menurut Wahyu, Presiden Jokowi harus membatalkan MoU RI-Saudi tentang penempatan one channel system ke Saudi Arabia. Ini karena terbukti Saudi Arabia tidak memenuhi syarat dan ketentuan tentang perlindungan hak asasi PRT migran sebagaimana yang dipersyaratkan dalam dokumen yang ditandangani Menaker RI dan Menaker Saudi Arabia.
Melihat nasib Tuti masihkah kita berdiam diri dengab terus mengirimkan pekerja migran ke sana? Tidak cukupkah sampai di sini? Apakah ini nasib pekerja migran Arab Saudi zaman now? Jangan sampai negara hanya mau urus remitansinya saja, tapi nasibnya tetap gelap di masa depan. Soalnya ada negara semacam Filipina yang bisa jadi contoh, Adanya pekerja migran malah telah terbukti menghidupkan dan memajukan negara itu. Pekerja migran di sana jadi tiang negara. Dan di Indonesia sebenarnya pun sudah dengan jumlah remitansi yang mencapai lebih dari Rp 100 triliun per tahun.