Rabu 07 Nov 2018 05:03 WIB

Kalimat Tauhid dan Keadilan Hukuman Kepada Pembakar Bendera

Penodaan agama tak dikenakan, tapi dituntut pasal gangguan acara rapat resmi.

Ribuan masa terlibat dalam demontrasi pembakaran bendera tauhid di Kawasan Bundaran Bank Indonesia Jakarta (2/11).
Foto: dok. Istimewa
Ribuan masa terlibat dalam demontrasi pembakaran bendera tauhid di Kawasan Bundaran Bank Indonesia Jakarta (2/11).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Apakah jatuhnya vonis hukuman selama 10 hari kepada para pembakar bendera bertuliskan kalimat tauhid di Garut beberapa waktu lalu sudah adil atau tepat? Nah, ketika pertanyaan ini diajukan kepada pakar hukum pidana, Prof DR Murzakkir, dia mengatakan tidak sama sekali.

Ini mengapa? Jawab Mudzakkir, hal itu karena permasalahan hukum yang terkait dengan perbuatan pembakaran bendera tauhid sesungguhnya bukan hanya pada pelaku pembakar bendara tauhid sudah diproses hukum dan telah dijatuhi pidana penjara saja. Namun, pertanyaannya apakah sudah tepat dan benar penyidik tuntunan hukum yang diajukan kepadanya. Apalagi tuntutan kepada mereka menggunakan Pasal 174 KUHP untuk pelaku pembakar bendera tauhid.

Pertanyaan berikutnya, apakah penjatuhan pidana penjara 10 hari yang mendasarkan kepada Pasal 174 KUHP tersebut juga sudah termasuk mengadili perbuatan pembakaran bendera tauhid yang dinilai telah menghina simbul inti dari ajaran agama Islam?

photo
Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama Mantan Rais Aam PBNU KH. Ma'ruf Amin usai memberikan keterangan usai menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan organisasi masyarakat Islam di Jakarta, Jumat (26/10). Pertemuan tersebut membahas kesepakatan sikap bersama pimpinan ormas Islam terkait kasus pembakaran bendera kalimat Tauhid di Limbangan, Garut.

Menurut Mudzakkir, pihak penyidik semestinya memahami suasana bathin masyarakat muslim selaku penganut agama tauhid. Mereka harus menegakan norma hukum yang seharusnya tidak sama dan disamakan dengan menegakan teks pasal-pasal dalam undang-undang tersebut.

"Keadilan itu letaknya bukan pada teks pasal-pasal undang-undang, tetapi pada norma hukum yang ditegakan melalui teks undang-undang. Maka, seharusnya penyidik sejak awal membiarkan saja pengadilan yang memutuskan ada atau tidaknya penodaan agama itu,'' katanya.

Pada beberapa waktu sebelumnya, Mudzakkir memang memprotes keras tidak digunakannya pasal penodaan agama pada kasus pembakaran bendera tauhid di Garut itu. Ia menyatakan para penegak hukum menyatakan tidak menuntut mereka dengan pasal penodaan agama dengan alasan karena tidak ada 'mens rea' (niat jahat).

''Harus diingat dan dipahami dengan seksama, persoalan pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid telah menimbulkan reaksi keras dan meluas. Bahkan,  bukan hanya masyarakat muslim Indonesia tetapi juga sudah merambah ke negara lain di dunia. Tetapi kini masyarakat terpaksa harus menggenggam tangan erat-erat pertanda kegeraman karenanya,'' katanya.

Hal itu terjadi, lanjut Mudzakkir karena pada awalnya Mekopolhukam dan polisi menyatakan tidak ada niat, bersifat spontanitas, yang dibakar bendera HTI. Dan, bahkan yang hendak dibidik adalah pembawa bendera bertuliskan tauhid, perekam pembakaran bendera bertulisan kalimat tauhid dan pengunggah rekaman sehingga publik menjadi tahu dan mengetahui.

Sementara pelaku pembakar itu tidak termasuk melanggar hukum pidana karena spontanitas, tidak niat, atau tidak ada mens rea untuk melakukan pembakaran bendera warna hitam yang bertuliskan kalimat tauhid itu.

Menurut Mudzakkir, dalam soal ini memang terlihat tidak diketahui persis alasannya mengapa hal itu terjadi. Ini mungkin ada alat bukti baru yang kemudian membuat penyidik polisi menetapkan 2 (dua) orang pembakar bendera tauhid tersebut dinyatakan sebagai tersangka dan pelaku pembakar lainnya yang tampak terlibat melakukan pembakaran bendera tauhid karena bersama-sama. Ini mengacu pasal 55 KUHP atau pelaku pembantu Pasal 56 KUHP, tidak ditetapkan menjadi tersangka. Sedangkan pasal yang dijadikan dasar untuk menetapkan sebagai tersangka Pasal 174 KUHP.

Pasal tersebut memuat norma hukum pidana yaitu “sengaja mengganggu rapat umum yang diizinkan dengan jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh”. Jadi perbuatan pembakaran bendera yang bertulis kalimat tauhid dan kalimat tauhid sebagai inti dari ajaran agama Islam tersebut tidak menjadi perhatian penyidik.

"Ini memang terkesan penyidik tidak menempatkan sebagai nilai hukum yang harus memperoleh jaminan perlindungan hukum pidana. Dan, penyidik lebih mengedepankan perlindungan terhadap rapat umum yang diizinkan pada saat itu bertepatan dengan hari santri, dari pada melindungi kalimat tauhid yang merupakan inti dari agama Islam,'' tegas Guru Besar Hukum Pidana FH UII Yogyakarta.

Katanya, sungguh kini masyarakat menjadi bingung sikap Menko Polhukam dan Kepolisian RI. Bagi masyarakat hukum Indonesia bendera sebagai simbul yang memiliki makna yang tinggi bagi masyarakat yang bersangkutan. Bendera bertulisan kalimat tauhid merupakan simbul bagi ummat Islam yang memegang teguh tauhid sebagai inti sari dari ajaran agama Islam dan bahkan dibela dengan taruhan nyawanya.

                                               ****

Senada dengan itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, M Busyro Muqaddas, menyayangkan putusan hakim Pengadilan Negeri Garut atas terdakwa kasus pembakaran bendera tauhid pada Senin (5/11) kemarin. Hakim hanya memutuskan kurungan penjara selama 10 hari dan denda Rp 2.000.

"Itu tidak (tepat), tidak peka," ujarnya melalui pesan singkat pada Republika.co.id, Selasa (6/10).

Ia berujar, polisi, jaksa, dan hakim adalah orang-orang yang cerdas dan tajam terhadap kasus yang berdampak luas pada aspek hak-hak masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Kecerdasan dan ketajaman itu seharusnya, kata dia, tecermin secara tegas di dalam berita acara pemeriksaan (BAP), tuntutan, dan vonis.

“Jika tidak, aparat penegak hukum tersebut telah menodai hakikat nilai dan dimensi ruhaniah hukum dan keadilan,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, jika kemudian putusan hakim pengadilan hanya 10 hari penjara kepada pembawa bendera dan pelaku pembakaran, sama saja, ungkapnya, hukum seolah telah menghina agama.

“Ini sama saja menghina agama, masyarakat, serta hak-hak serta rasa keadilan masyarakat sekaligus menghina Pancasila,” ujarnya menegaskan.

Seperti diketahui, polisi menjerat F dan M selaku pembakar bendera serta U yang membawa bendera pada hari santri dengan Pasal 174 KUHP. Ketiganya dianggap telah membuat kegaduhan pada sebuah acara.

PN Garut memutuskan menjatuhkan hukuman 10 hari penjara dan denda Rp 2.000. Aksi pembakaran terjadi di hari santri nasional pada Senin, 22 Oktober 2018.

 

                                       ******

Pada sisi lain, pengunaan kalimat tauhid itu bukan barang baru bagi orang yang berdiam di Nusantara. Bahkan sejak zaman Majapahit tulisan kalimat tauhid ini sudah terdapat dalam  mata uang kerajaan maritim itu.

photoKalimat tauhid pada koin kuno Majapahit.
 
Jejak bukti dan peninggalan itu terdapat pada salahgh satu koin atau mata uang peninggalan Kerajaan Majapahit. Terindikasi uang kuna di era Majapahit itu sudah digubakan dalam perdagangan. Tulisan kalimat tauhid 'La Illaha Illah' itu terdapat pada satu sisi mata uang bersama dengan gambar tokoh pewayangan pada sisi yang lain. Uniknya, Majapahit itu oleh publik dikenal sebagai kerjaan Hindu
 

"Sejarah mata uang Majapahit itu kelanjutan dari kerajaan Mataram kuno, di mana masa abad ke-10 kerajaan Mataram kuno masih menggunakan emas dan perak. Mata uangnya juga bermacam-macam, mulai dari butiran jagung hingga perak yang kayak kontak lensa, itu hanya pada masa Mataram kuno. Uang itu berdasarkan intrinsik ya, berdasarkan berat uang tersebut," ujar Kepala Bidang Pengumpulan dan Pengkajian Museum Nasional, Tri Gangga, mengutip sebuah laman situs berita sekitar setahun silam. Dia juga mengatakan kemungkinan mata uang itu juga dipakai sebagai sebuah 'jimat'.

Pada fakta yang lain, penggunaan lafaz atau kalimat tauhid pada bendera juga sudah dilakukan oleh para pengurus Al Irsyad pada tahun 1935. Dalam foto itu tampak jelas tulisan bendera bertuliskan kalimat tauhid dibentangkan di sebuah Madrasah milik Al Irsyad Al Islamiyah di Surabaya. Para akitvis organisasi tersebut terlihat bangga dengan adanya bendera itu.

Selain itu, tulisan kalimat tauhid juga sudah akrab dan menjadi lambang Lasykar Hizbullah yang berjuang di awal kemerdekaan RI. Lasykar rakyat yang menjadi cikal bakal TNI ini mencamtumkan kalimat tauhid ini dalam bendera dan PIN baju laskarnya.

photo
Foto Pengurus AL Irsyad Islamiyah membentang bendera bertuliskan kalimat tauhid pada tahun 1935 di Surabaya.

Selain itu, tulisan kalimat tauhid juga sudah akrab dan menjadi lambang Lasykar Hizbullah yang berjuang di awal kemerdekaan RI. Lasykar rakyat yang menjadi cikal bakal TNI ini mencamtumkan kalimat tauhid ini dalam bendera dan PIN baju laskarnya.

Alhasil, kalimat terpampangnya kalimat tauhid bukan suatu yang aneh di kalangan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Masalahnya baru muncul belakangan, ketika ada kontroversi soal bendera HTI, Alqaida, hingga ISIS. Banyak pihak yang salah kira soal bendera tauhid ini yang kerap diidentikan dengan bendera para pelaku kekerasan yang menggunakan ajaran Islam.

photoPIN

PIN bertulsikan kalimat tauhid milik Lasykar Hizbullah.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement