Rabu 07 Nov 2018 17:03 WIB

7 November 1945: Islam Politik dan Lahirnya Partai Masyumi

Para tokoh dan pendahulu di Partai Masyumi memberi contoh indahnya berpolitik.

Gedung yang menjadi kantor Pusat MIAI
Foto: 30 tahun Indonesia Merdeka
Gedung yang menjadi kantor Pusat MIAI

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Penulis Sejarah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

"Kita sekarang bukan hidup pada 25 tahun lalu. Kita sudah bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan itu timbul daripada ulama, padahal ulama itu semestinya lebih halus budinya, berhati-hati lakunya. Karena ulama itu sudah ditentukan menurut firman Allah: Ulama itu lebih takut kepada Allah. Karena ulama tentunya lebih paham dan lebih mengerti kepada dosa dan bahayanya bermusuh-musuhan.”

Keluhan KH Mas Mansur, ulama sekaligus mantan ketua Muhammadiyah kala itu, terbayar sudah. Ini karena umat Islam akhirnya menempuh jalan berliku untuk bersatu, setelah sekian lama saling berseteru. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) menjadi satu jalan sejarah baru kala itu bagi umat Islam di Indonesia.

MIAI telah merintis jalan baru bagi umat Islam untuk menyalurkan aspirasinya dalam satu wadah perjuangan. Benar bahwa MIAI pada kala itu belum mencakup seluruh organisasi Islam yang ada di Tanah Air. Tetapi, mewakili porsi penduduk terbesar di Pulau Jawa, peran MIAI tak bisa dianggap remeh. Dari persoalan penolakan terhadap penistaan terhadap Islam, aspirasi politik umat Islam, hingga upaya bergerak bersama dengan kelompok nasionalis sekuler di Indonesia.

Kedatangan Jepang membawa satu perubahan di Tanah Air. Tak dapat dimungkiri, awalnya Jepang disambut sebagai pembebas saudara sesama Asia. Topeng Jepang terkuak. Mereka segera mengawali pemerintahannya dengan otoriter. Semua surat kabar dilarang terbit. Hanya beberapa saja yang dizinkan terbit atas seizin mereka. Semua organisasi masyarakat dilarang beraktivitas. PSII dan PII dibubarkan oleh rezim penjajah Jepang.

Jepang mengawali politik mereka terhadap umat Islam dengan cara yang tak bersahabat. KH Hasyim Asy’ari bersama KH Mahfuz Siddiq dipenjara oleh pemerintah fasis Jepang. Penyebabnya karena Hadratussyaikh menolak melakukan ritual sakeirei, yaitu penghormatan pada kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap ke arah Tokyo. Sikap penolakan sakeirei ini juga ditunjukkan oleh Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka.

Gelombang protes, meski mereka memahami betapa kejamnya Jepang, tak dapat ditahan lagi. Jepang akhirnya membebaskan KH Hasyim Asy’ari kembali ke pesantren Tebuireng. Jepang mulai mengubah kebijakan politiknya terhadap umat Islam di Indonesia. Mereka hendak memasukkan Islam di Indonesia sebagai bagian dari politik perangnya yang disebut Lingkaran Kesejahteraan Bersama Asia. [5] Jepang memberikan izin pada MIAI untuk hidup kembali. Federasi ormas Islam itu diizinkan kembali bernapas pada 13 Juli 1942.

photo
Dewan harian MIAI. Kiri ke Kanan: Kasman Singodimedjo, KH Mas Mansur, Wondoamiseno, RHO Djoenaedi, Harsono Tjokroaminoto. Sumber: brainly

MIAI melakukan kegiatan nonpolitik, seperti zakat yang disebut Bait al-Mal secara besar-besaran untuk orang-orang tak mampu. Kegiatan MIAI mulai berpengaruh hingga meliputi 35 keresidenan di Jawa, menyaingi Biro Urusan Agama yang menjadi organ resmi Jepang untuk pengendalian Islam di daerah.

Wondoamiseno, ketua MIAI yang juga tokoh Sarekat Islam, mengharapkan bahwa Bait al-Mal, “… haruslah mencapai setiap desa, setiap kampung, sampai lembah-lembah pegunungan, dan menciptakan jiwa kesatuan… dan menjadi benteng Islam yang kokoh…. Kita akan mempergunakan (kantor-kantor bendahara) tersebut untuk membangun pagar pelindung di sekeliling Islam di desa-desa, terhadap mata-mata sekutu…. Marilah kita semua, para pejabat pemerintah, penghulu, ulama, kiai, membentuk suatu keluarga besar sebagaimana diperintahkan Allah….”

Di mata jepang, perkembangan Bait al-Mal ini bergerak tanpa restu Shumubu dan menjadi ancaman kebijakan Islam oleh Jepang di Indonesia. Menurut Harry J Benda, MIAI tampaknya ingin membangun sebuah jaringan sel-sel Islam di Indonesia tanpa restu Jepang. Bagi Jepang, MIAI dipimpin sebagian tokoh PSII yang ingin melepaskan dari pengaruh Jepang. Jepang pun memandang tokoh-tokoh PSII sebagai radikal. MIAI pernah menentang berbagai kebijakan Belanda, salah satunya UU Perkawinan. Jepang menganggap perasaan anti-Belanda MIAI dapat berpotensi menjadi antiasing (termasuk) Jepang.

photo
Poster pengurus Masyumi Tempo

Rezim Jepang tak ingin mengambil risiko. Pada 24 Oktober 1943 Jepang membubarkan MIAI. Sebulan sebelumnya, mereka mengizinkan Muhammadiyah dan NU beraktivitas kembali. Meski demikian, organisasi-organisasi Islam kembali dikumpulkan dalam satu wadah bernama Madjelis Sjuro Moeslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi ini didirikan pada November 1943.

KH Mas Mansur, seorang tokoh besar Muhammadiyah, pada Oktober 1945 berpidato berapi-api di radio kepada umat Islam mengenai Masyumi.

“Meskipun komentar saya tentang kelahiran Masyumi sangat singkat. Saya sangat berharap bahwa semua pemeluk Islam di Jawa sepenuh-penuhnya memahami penjelasan ini… (dan) menerima organisasi kita yang baru dengan gembira…. Saya mengimbau semua orang Islam untuk membantu pemerintah dalam semua usaha-usahanya.”

Masyumi sendiri mencakup dua jenis keanggotaan; pertama organisasi agama yang legal di mata Jepang, seperti NU, Muhammadiyah, Persatoean Oemat Islam dari Sukabumi yang dipimpin oleh KH Ahmad Sanusi, dan Perikatan Oemmat Islam yang dipimpin KH Abdul Halim dari Majalengka. Kedua, yang juga diakui menjadi anggota adalah kiai dan ulama yang diberi rekomendasi oleh Kantor Biro Urusan Agama. [12]

Tak dapat dimungkiri, Jepang berusaha memperalat umat Islam dan para ulama untuk memobiliasi dukungan kepada jepang. Restu resmi penguasa militer Jepang kepada Masyumi menjadi jalan mulus eksistensi Masyumi. Masyumi berjalan meninggalkan jalan MIAI yang dikenal antipenjajah secara frontal. Secara aktivitas, Masyumi memang hanya mencakup Pulau Jawa sebagai pusat dari pemerintahan dan kegiatan Jepang. Jika MIAI dibatasi oleh penguasa militer hanya sebatas kantor pusat di Jakarta, Masyumi menikmati keistimewaan sebagai organisasi yang menjadi pusat ribuan guru-guru abdi desa yang dipengaruhi langsung oleh Kantor Urusan Agama.

Masyumi juga menjadi tandingan langsung para priayi yang selama ini pengaruhnya di dukung pemerintah (kolonial). Jepang perlahan mengalihkan sebagian perhatiannya dari priayi kepada ulama dan kiai di Masyumi. Masyumi diberi tempat dalam mekanisme pusat Djawa Hokokai dengan diangkatnya KH Hasyim Asy’ari sebagai penasihat Indonesa utama bagi Gunseikan (kepala pemerintahan militer). Sedangkan, KH Mas Mansur bersama Moh Hatta bertanggung jawab terhadap masalah dalam negeri umum di pusat. Harry J Benda, peneliti politik Islam Jepang di Indonesia, menganggap bahwa Masyumi memiliki kekuatan yang tiada taranya dan berlangsung lama di arena politik Indonesia.

Jepang sendiri berusaha meluaskan pengaruhnya ke dalam pendidikan di Indonesia. Mereka menstandardisasikan silabus dan metode pengajaran di dalam berbagai sekolah-sekolah Islam di luar sistem sekolah agama bergaya Barat. Rezim Jepang juga mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para kiai dan ulama. Pelatihan tersebut tentu saja berisi pula propaganda-propaganda Jepang. [14] Namun para tokoh Islam mampu menyiasati kebijakan semacam ini. Muhammad Natsir, misalnya, di Bandung, yang menjadi salah satu penyelenggaranya. Ia memanfaatkan momen ini untuk mengajarkan ajaran Islam melawan propaganda Jepang dan berkoordinasi dengan para tokoh-tokoh Islam.

Rezim militer Jepang juga belakangan memberi kebebasan kepada para ulama dan kiai untuk mengadakan kegiatan-kegiatan rutin agama Islam atau melakukan pertemuan agama yang dibuat untuk menyebarluaskan kebijaksanan pemerintah oleh guru agama Islam.

Pada Desember 1944 Hizbullah dibentuk sebagai korps cadangan dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Beberapa perwiranya terdiri atas para kiai yang diberi tugas untuk melatih pasukan-pasukan baru. Hizbullah secara eksplisit menjadi tentara Masyumi. [17] Perwira kiai tersebut dikirim mengikuti latihan PETA, di antaranya, KH Wahib Wahab (NU), KH Junus Anis (Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), dan Arudji Kartawinata (PSII). [18] Enam bulan kemudian, di Cibarusa, Jawa Barat, latihan lapangan pertama bagi 500 pejuang Muslim dimulai. Disaksikan oleh Gunseikan dan Wakil Ketua Masyumi KH Wahid Hasyim.

Hizbullah pun bagian dari siasat para ulama. Menurut KH Wahid Hasyim, “Perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, juga kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya. Kalau cuma mengandalkan kekuangan Gunseikanbu, kita tidak bisa menyelenggarakan latihan dalam tingkat nasional. Sebab itu, saya tambah juga anggaran dari Shumubu dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia!”

photo
Kantor Masjoemi yang sebelumnya Kantor MIAI. Kemudian, menjadi Kantor Jawatan Imigrasi, kemudian menjadi Budha Bar. Kini, Galeri Seni Kunstkrig. Sumber: Wikipedia.

Remy Madinier, peneliti tentang Masyumi menyebutkan bahwa “… selama kurun waktu setahun lebih (1944-1945), Masyumi mampu melakukan hal yang tak pernah bisa diwujudkan perkumpulan Islam mana pun. Ia mampu membangun jaringan yag membentang ke seluruh nusantara, merekrut sejumlah besar milisi, dan terutama meraih ketenaran yang terbilang setara denga para pemimpin nasionalis, Sukarno dan Hatta.”

Berbagai sikap ‘murah hati’ Jepang ini bukan tanpa sebab. Mereka meminta imbal balik berupa kesetiaan dan kerja sama para tokoh-tokoh Islam. Gunseikan dalam pidatonya pada Januari 1944 menuntut hal itu.

“ …. Kalau sekiranya saudara-saudara tetap melancarkan kritik terhadap keadaan sekarang dan … pemerintah negeri ini, sehingga akhirnya tali persatuan antara angkatan bersenjata, pemerintah, dan rakyat diputuskan, lantaran kami harus menyimpulkan bahwa saudara-saudara, ulama, menghalangi tercapainya kemenangan terakhir Perang Suci ini, dan … bahwa saudara-saudara melupakan tugas yang sebenarnya… (dengan) melawan pemerintah tentara Dai Nippon. Kami tentu senantiasa siap sedia melawan setiap perkembangan seperti ini.”

Jika demikian, dapatkah Jepang disebut memanfaatkan para ulama untuk kepentingan politik mereka? Alih-alih memanfaatkan para ulama,  lebih tepat jika disebut para ulama yang memanfaatkan Jepang demi tujuan mereka. Hal ini dinyatakan sendiri oleh KH Wahid Hasyim kepada tokoh muda NU kala itu, KH Saifuddin Zuhri. Menurutnya, perang adalah tipu muslihat. Siapa pun yang menghalangi Jepang akan disapu dengan tangan besi. Umat Islam, menurut KH Wahid Hasyim lebih baik berpura-pura bekerja sama. Ke luar seolah-olah untuk kepentingan Nippon, ke dalam untuk kepentingan nasional dan memperkuat kedudukan umat Islam.

“Selain itu, politik ‘kerja sama’ ini merupakan kesempatan paling baik dan tidak setiap kali bias kita alami, untuk menghidupkan mesin penggerak potensi Islam. Dan untuk cita-cita Indonesia merdeka, kemungkinan-kemungkinan yang mustahil kita capai di zaman penjajah Belanda lebih terbuka…! Ingat, menentang Nippon secara terang-terangan risikonya sangat besar. Bersikap pasif di luar gelanggang sebagai penonton, kecuali akan dicurigai, paling-paling cuma bias menyumpah dan menggerutu.

…. Dengan Ibarat lain ibarat, maka taktik ini bermakna ‘mencekik leher Nippon dengan tangannya sendiri…',” demikian jelas KH Wahid Hasyim.

KH Wahid Hasyim memang memegang peranan penting dalam Masyumi kala itu. Ia memegang peranan sehari-hari memimpin Masyumi, mewakili ayahnya, KH Hasyim Asy’ari. Di kantor Masyumi, di Jalan Teuku Umar No 1 Jakarta (bekas kantor imigrasi, kemudian saat ini menjadi Galeri Seni Kunskring), para tokoh Islam, seperti KH Wahid Hasyim, KH Wahab Hasbullah, KH Farid Ma’ruf, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Moh Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan lainnya biasa berkumpul.

KH Wahab Hasbullah pernah mengatakan bahwa dalam bersiasat melawan Jepang, “Saudara mesti tetap berjiwa, tetap memiliki roh Islam, agar tak mudah di-Nippon-kan. Di zaman ini, kita harus pandai berdiplomasi dalam menghadapi Nippon.” [26]

Jalan siasat yang dipilih para tokoh Islam untuk memanfaatkan Jepang memang tidak mudah. Terutama, harus mengarungi bahtera siasat politik diantara kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia. Romusha, gadis-gadis pribumi yang diperkosa oleh tentara Jepang hingga pujian-pujian kepada rezim militer Jepang adalah segala keburukan yang harus dihadapi dengan bersiasat. Masyumi sendiri kala itu berhasil mengelakkan diri dari tuntutan Jepang untuk menyediakan tenaga romusha.

Pun ada gejala ketika beberapa orang mulai terbawa arus menikmati kemudahan dan manfaat material dan sosial dari Jepang. Seorang tokoh dari Islam reformis dari Sumatera mengkritik hal ini secara terbuka dalam publikasi Masyumi, yaitu Soeara Moeslimin Indonesia. Menurutnya, “…menjadi terasing dari rakyat, dan (dengan demikian) tidak lagi mengenal harapan-harapannya…karena inginnnya menarik perhatian orang-orang yang bereputasi dan berpengaruh di dalam negara. Dengan begini ini kita lupa akan kebutuhan rakyat biasa yang memang memberikan kepercayaannya kepada kita.”

Ketika terjadi perlawanan KH Zaenal Mustafa di Tasikmalaya, awalnya dimulai dengan penolakan terhadap permintaan bahwa padi dan bibit makanan lainnya harus diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Perlawanan tersebut kemudian ditumpas.

Masyumi tak berdaya dimanfaatkan rezim Jepang untuk menutupi dan menetralsir dampak perlawanan. Edaran-edaran Masyumi disebarkan ke daerah Tasikmalaya sehari setelah publikasi laporan resmi. Publikasi tersebut secara terang-terangan berupaya meyakinkan kredibilitas rezim jepang.

Bukan hal aneh pada masa itu untuk melihat berbagai pernyataan Masyumi dan para tokoh politik nasionalis yang mengorbit pada politik Jepang. Ketika Perdana Menteri Kosio mengungkapkan pernyataannya yang mengisyaratkan pemberian kemerdekaan kepada Indonesia, maka Masyumi memberi tanggapan yang tetap berorbit pada politik Jepang.

Pertama, menghimbau untuk mempersiapkan orang-orang Islam bagi pembebasan negara dan agamanya. Kedua, memberikan pengorbanan untuk memperoleh kemenangan. Terakhir, menyamakan Perang Jepang dengan perang suci Islam, dengan kalimat yang berbunyi: “Dengan Nippon kita berdiri, dengan Nippon kita jatuh, di jalan Allah untuk membinasakan tirani musuh.”

Ketika Jepang memberikan restu terhadap hadirnya Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPPKI), kemudian sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hal itu membuka jalan bagi para tokoh Indonesia untuk membicarakan kemungkinan hadirnya satu negara yang merdeka dengan landasanya sendiri. Minggu-minggu menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang, para tokoh Islam mulai bertanya-tanya akan keberlangsungan aspirasi umat Islam terkait hubungannya dengan negara. KH Wahid Hasyim, Sang Wakil Ketua Masyumi mempertanyakan hal itu.

“Sejarah masa lampau kami (demikian katanya) telah menunjukkan bahwa kami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan kesatuan ini, yang kami perlukann secara mendesak dan dalam usaha membangun negara Indonesia kita, di dalam pikiran kami pertanyaan terpenting bukanlah, “Di manakah akhirya tempat Islam (di dalam negara) itu?” Akan tetapi pertanyan yang terpenting adalah, “Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia Merdeka?” Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah persatuan bangsa yang tak terpecahkan.”

Baik tokoh Nasionalis sekular, maupun tokoh Nasionalis Islam berembuk mengajukan gagasan ideologis masing-masing. Lahirnya Piagam Jakarta merupakan satu kompromi, satu kesepakatan (gentlement’s Agreement) diantara para tokoh tersebut. Guratan kekecewaan tak lama menghampiri para tokoh Islam. Penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta, meski bersifat sementara tak mampu menghapus kekecewaan tersebut.

Ki Bagus Hadikusumo misalnya, sesaat setelah menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir Muhammadiyah yang tengah bersidang di Jogjakarta. Ia meminta agar penutupan sidang ditunda sampai ia kembali dari Jakarta.

Ketika tiba di Jogjakarta dan menghadapi Majelis Tanwir, ia menumpahkan kekecewaannya, mengecam kalangan nasionalis serta Panitia Persiapan Kemerdekaan. Ia pun mengingatkan Majelis, dan secara tidak langsung umat Islam di Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai, umat Islam harus bersiap menghadapi masa-masa berikutnya.

Di lain sisi, situasi politik republik yang baru merdeka tersebut berjalan dinamis. Pada 22 Agustus 1945, Komiter Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Namun sembilan hari kemudian partai monolitik itu dibubarkan, karena dirasa akan menyaingi KNIP.

Bagi sebagian tokoh, termasuk kelompok Sutan Sjahrir, melihat kekosongan politik akibat pembubaran PNI berbahaya. Kekosongan ini akan diisi pribadi-pribadi ambisius dan para petualang politik dan memiliki sikap politik yang otoriter. Akhirnya, Soekarno dan Hatta dan sejumlah pemimpin lainnya menerima usul Sjahrir untuk memulai sistem multipartai. Sejak 3 Oktober akhirnya Indonesia memutuskan memberlakukan sistem multipartai di tanah air.

Tokoh umat Islam tak menyambut gembira usul ini. Soekiman Wirjosandjojo sebagai ketua Masyumi mengaggap hal itu diputuskan dalam saat yang tidak tepat. Menurutnya,“…dalam soal yang segenting ini, yang menghendaki persatu-paduan Ra’yat lahir batin seteguh-teguhnya, pengumuman dan anjuran Pemerintah mendirikan partai-partai yang akan berakibat terpecah belahnya Ra’yat, kita sesalkan…”

Meski demikian, Soekiman menyatakan dapat menerima alasan dibalik keputusan tersebut. Menurutnya berbagai aliran dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Oleh sebab itu umat Islam berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaga dalam satu wadah politik.

Masyumi lahir bukan disebabkan desakan keadaan atau dibukanya keran multipartai. Tetapi sejak September 1945, sekelompok pemimpin Islam di Jakarta seperti K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Muhammad Roem mulai memberi perhatian pada isi kemerdekaan dan memutuskan mengubah Masyumi yang masih ada tetapi pasif tersebut menjadi organisasi partai.

Pada 7 dan 8 November 1945, diadakanlah Kongres Umat Islam Indonesia di Jogjakarta. Kongres ini adalah manifestasi konkrit dari resolusi Jihad. Dilaksanakan di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, peserta datang melebihi kapasitas. Kongres ini dihadiri hampir semua tokoh dari berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang hingga masa Jepang.

K.H. Saifuddin Zuhri mengenang kembali suasana Kongres tersebut. “Sebagai utusan daerah, aku ditempatkan di ruangan aula yang terbuka. Memang terasa nyaman dan leluasa. Tapi di malam hari, hampir tidak bisa tidur karena menjadi sasaran nyamuk-nyamuk yang berpesta pora dalam keremangan sinar lilin yang ditiup angin semilir Yogyakarta yang gelap gulita. Ruangan itu hanya beralaskan tikar….”

Di ruang beralaskan tikar tersebut berbaring bersama-sama para tokoh muda seperti K.H. Mahmud Ilyas (NU), K.H. Gaffar Ismail, ayah dari penyair Taufik Ismail, K.H. Munawar Chalil, ulama asal semarang. Saleh Syaibani (PSII), K.H. Wahib Wahab. Para pemuda seperti K.H. Saifuddin Zuhri memimpin laskar Hizbullah sebagai penjaga Kongres. Dengan menenteng pistol dan bedil, mereka ditempatkan di Kompleks Masjid Besar Yogyakarta.

Kongres kemudian bulat memutuskan untuk mendirikan Majelis syura pusat bagi umat Islam Indonesia. Sejak saat itu, Masyumi dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam.

photo
Madrasah Mualimin Yogyakarta. Tempat berlangsungnya Kongres Umat Islam Indonesia yang melahirkan Masyumi. Sumber foto: Akun Facebook Madrasah Mualimin Yogyakarta.

Masyumi menjadi wadah bagi umat Islam di Indonesia. Meski awalnya hanya mencakup NU, Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Kemudan menyusul organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Al-Irsyad, Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah (Sumatera Utara), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Nadhlatul Wathan (Lombok), Matlha’ul Anwar (Banten) dan organisasi Islam lainnya. Bergabungnya organisasi-organisasi Islam ini menguntungkan Masyumi, sebab setelah bergabung, mereka menjadikan diri mereka cabang Masyumi dan membuat Masyumi menjangkau berbagai wilayah di penjuru tanah air.

Nama Masyumi sendiri diperdebatkan hangat dalam kongres itu. Sebab nama tersebut merupakan ‘warisan’ masa penjajahan Jepang. Namun nama Masyumi tetap diterima dengan 52 banding 50 suara. Nama Partai Rakyat Islam ditolak. Meski demikian, nama Masyumi ini bukanlah suatu akronim seperti di masa Jepang.[41] Nama itu dipakai karena sudah amat dikenal oleh umat.

Komposisi kepengurusan awal Masyumi mencerminkan sifat persatuan dari umat Islam yang diwakili berbagai kelompok. Kehadiran nama besar tokoh-tokoh Islam mewarnai ukhuwah dalam Masyumi. Majelis Syuro dalam Partai Masyumi yang bertugas sebagai Majelis Pertimbangan dan Majelis Fatwa bagi pimpinan partai, diisi nama-nama ulama besar. Menurut K.H. Saifuddin Zuhri, Majels Syuro ini juga untuk memimpin kegiatan partai diatas ladasan Syariat Islam. “Melaksanakan Dakwah, meratakan amar ma’ruf nahi munkar, memurnikan tauhid, meluruskan ibadah, persatuan umat dan persaudaraannya, dan menegakkan syariat Islam adalah tujuan yang harus dicapai dalam perjuangan.”

Ketuanya dipegang oleh K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah sebagai Ketua Muda I. K.H. Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda II. Dan Kasman Singodimedjo sebagai Ketua Muda III. Anggota Majelis Syuro dihuni antara lain oleh Haji Agus Salim, K.. Abdul Wahab dari NU, dan Syaikh Djamil Djambek (ulama minangkabau).

Pimpinan Pusat Masyumi diketuai oleh Soekiman Wirosandjojo, politisi yang pernah di Sarekat Islam, hingga Partai Islam Indonesia (PII). Kemudian ditempati pula oleh tokoh Sarekat Islam seperti Abikusno Tjokrosujoso (Ketua Muda I) dan Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I). Wali al-Fatah (Ketua Muda II). Dan tokoh muda, Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II). Anggota Pimpinan Pusat antara lain KH Moh. Dahlan (NU), KH Farid Ma’roef dan Junus Anies (Muhammadiyah), Moh. Natsir (Persis), S.M. Kartosoewirjo (PSII), Moh. Roem dan lainnya.

Komposisi kepengurusan Partai Masyumi mencerminkan bukan saja keragaman berbagai kelompok Islam di Indonesia, namun keragaman latar belakang daerah para pengurus. Ia menjadi lambang persatuan umat Islam dan satu-satunya wadah politik umat Islam yang berpuluh tahun di upayakan ditengah perpecahan, konflik dan perbedaan yang mewarnai perjalananya. Komposisi awal Partai juga menyiratkan komposisi tokoh senior (seperti Soekiman, Haji Agus Salim, Abikoesno dan lainnya) dengan tokoh muda (Kasman, K.H. Wahid Hasyim, Moh. Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito).

Para tokoh Partai Masyumi nantinya menjadi tokoh-tokoh yang membangun Republik Indonesia. Menyumbangkan sahamnya pada negara yang baru lahir tersebut. Melalui masa-masa revolusi Indonesia. Namun tantangan untuk menjaga persatuan umat, juga harus dilalui oleh Masyumi dengan melalui jalan yang tak mudah. Meninggalkann fase lama dibawah cengkeraman penjajah menuju Partai Islam ideologis di lapangan kemerdekaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement