Rabu 14 Nov 2018 05:01 WIB

Kegagapan Menghadapi Milenial Muslim

Muslim milenial tak mudah dibohongi dengan pencitraan hingga tindakan ugal-ugalan

Red: Muhammad Subarkah
Pengunjung Hijrah Fest memadati loket tiket di pintu utama Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengunjung Hijrah Fest memadati loket tiket di pintu utama Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).

Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Pada 2017, lembaga survei terkemuka, Pew Research melakukan survei keagaamaan di Amerika Serikat. Para pemeluk dari berbagai umur dan latar belakang disigi untuk mengetahui kecenderungan masing-masing komunitas. Secara keseluruhan, di Amerika Serikat tren meninggalkan agama resmi seperti Kristen, Islam, dan Yahudi nampak meningkat. Kendati demikian, ada yang janggal dan keluar pakem pada komunitas Muslim AS.

Pada agama-agama lain, selalu lebih banyak kaum lebih tua yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka dibandingan para milenial yang lahir pada rentang 1980-2000-an. Pada Kristen Evangelis, 80 persen orang tua menganggap agama sangat penting dibandingkan 75 persen milenial. Pada Protestan, nilainya 55 persen dibandingkan 45 persen. Sementara di Katolik, ketimpangannya sangat tajam, 61 persen orang tua dibandingkan 46 persen milenial.

Sementara di komunitas Muslim, tren itu berbalik. Justru lebih banyak milenial yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Sebanyak 66 persen milenial Muslim AS menganggap penting agama dibandingkan 64 persen pada golongan tua.

Perbandingan yang sama juga terjadi saat responden ditanyai seberapa sering mereka pergi ke tempat ibadah. Saat para milenial agama lain persentase kerajinannya lebih rendah dari golongan tua, di Islam persentasenya terbalik. Justru milenial (44 persen) yang lebih sering ke masjid ketimbang golongan tua (42 persen). Yang juga janggal pada komunitas Islam adalah jarak persentase persepsi keberagamaan kaum milenial dan senior merek tak sedemikian jauh dibandingkan komunitas beragama lain.

Bagaimanapun, survei tersebut dilakukan di negara minoritas Muslim. Bagaimana di negara-negara di mana Islam adalah bagian dari status quo sementara kita paham bahwa kemapanan bukan hal yang disukai betul oleh anak-anak muda?

Pada 2015, Tabah Foundation dari Uni Emirat Arab bekerja sama dengan Zogby Research Service menggelar survei besar-besaran tentang pandangan milenial Muslim. Negara-negara yang dijadikan sampel adalah Maroko, Mesir, UEA, Arab Saudi, Yordania, Palestina, Bahrain, dan Kuwait.

Hasilnya ternyata juga membalik asumsi awal soal anak muda. 100 persen milenial di empat negara (Saudi, Bahrain, Kuwait, Yordania) meyakini agama Islam karena mereka menyimpulkan sendiri kebenaran agama tersebut, bukan semata karena faktor keturunan. Jumlah milenial dengan pandangan  serupa adalah 90 persen di Mesir, UEA, dan Palestina; serta 77 persen di Maroko.

Terlepas dari kondisi negara masing-masing, milenial di negara-negara itu sangat sepakat bahwa agama memiliki peran penting untuk masa depan negara mereka. Prosentase paling tinggi adalah 93 persen di Kuwait, dan paling rendah 75 persen di Yordania dan 63 persen di Bahrain. Yang juga unik, pandangan religius tersebut berbanding lurus dengan progresivitas. Sedikitnya 66 persen di Bahrain dan paling banyak 92 persen di Yordania sepakat bahwa agama yang dijalankan di negara mereka menghormati dan memberdayakan perempuan. Sebagian besar juga menuntut lebih banyak ulama perempuan terlibat dalam penafsiran agama. Sebagian besar juga mendesak agar isu-isu yang disampaikan ulama dan ustadz serta khatib dibuat relevan dengan kondisi terkini.

Milenial Muslim di negara-negara tersebut agaknya memiliki kesadaran bahwa yang dijalankan negara atau institusi agama di negara mereka belum tentu sesuai nilai-nilai Islam. Alih-alih meninggalkan agama sehubungan yang dipraktikkan status quo, milenial Muslim menengok sendiri ke ajaran agama.

Bagaimana dengan di Indonesia? Secara kasat mata, milenial Muslim Indonesia sejak beberapa waktu lalu sudah mulai kian kentara. Seperti di negara-negara mayoritas Muslim lainnya, religiusitas juga hal yang penting bagi milenial Muslim Indonesia. Dalam studi “The New Muslimah: Southeast Asia Focus” yang dilakukan oleh lembaga survei internasional J Walter Thompson’s Innovation Group, sebanyak 94 persen milenial Muslimah Indonesia yang disurvei menempatkan agama adalah hal paling penting bagi mereka. Angka itu mengalahkan keluarga (92 persen) dan kebahagiaan (91 persen). Religiusitas itu juga seturut dengan tuntutan modernitas seperti karir (52 persen).

Berbagai survei di rerupa negara itu sepertinya menuju pada kesimpulan serupa, bahwa milenial Muslim adalah makhluk yang tak bisa dipukul rata sama sikapnya dengan milenial yang dipahami sebagian pihak. Ya, milenial Muslim juga melek teknologi informasi. Ya, milenial Muslim juga punya aspirasi atas modernitas. Ya, milenial Muslim juga terhubung lebih erat dengan masyarakat dunia. Ya, milenial Muslim seperti generasi muda pendahulu mereka juga punya ketakpuasan terhadap status quo.

Tapi milenial Muslim juga bergerak pada trajektori yang berbeda dari rekan-rekan mereka dari golongan lain soal religiusitas dan barangkali politik. milenial Muslim tak melihat ada pertentangan yang sedemikian kuat antara religiusitas dengan modernisme dan meyakini keduanya bisa berjalan beriringan. milenial Muslim lebih sensitif dan lebih tak apatis soal kondisi sosial politik dan ketakadilan di sekitar mereka.

Sayangnya, di tengah kecenderungan milenial Muslim tersebut, tak sedikit yang mencoba mendekati (baik untuk kepentingan politik maupun ekonomi) semata dengan persepsi-persepsi usang soal anak muda. Dengan sok ugal-ugalan naik sepeda motor atau sekadar mengenakan pakaian trendi dan menyambangi konser musik, misalnya.

Lupa bahwa milenial saat ini bukan lagi seperti kaum muda terdahulu yang bisa dengan mudah dibohongi citra dan retorika belaka. Berlaksa-laksa informasi yang dapat mereka akses membuat mereka bisa dengan mudah mendeteksi kapan seseorang benar-benar tulus hendak mendengar suara mereka, dan kapan seseorang hanya hendak menggunakan mereka untuk agenda-agenda sendiri. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement