Sabtu 17 Nov 2018 07:54 WIB

Belajar Politik dari Nabi

Masyarakat madani yang dikembangkan Nabi punya komitmen tinggi atas pluralitas.

Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: smileyandwest.ning.com
Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID 

Oleh: Maksun, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Di tengah krisis kepemimpinan dan panutan saat ini akibat maraknya korupsi di berbagai lini, sekaligus pada tahun politik jelang Pilpres 2019, menjadikan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai top-model, tampaknya cukup relevan untuk dikedepankan. Sebab, era reformasi mendambakan terwujudnya sebuah konstruksi masyarakat baru, yakni terciptanya masyarakat madani yang secara gemilang telah dibangun Nabi ketika beliau memimpin negara Madinah.

Tidaklah berlebihan bila Robert N Bellah, misalnya, menyebut, “Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi merupakan masyarakat modern, bahkan terlalu modern sehingga setelah beliau wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat ini belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi SAW.”

Keberhasilan Nabi dalam membangun negara Madinah, sehingga negara tersebut dipuja dan dijadikan representasi negara modern, tidak terlepas dari strateginya ketika meletakkan fondasi dan kon­struksi masyarakat madani.

Dalam konteks ini, Nabi menggariskan etika dan tanggung jawab bersama dalam sebuah dokumen yang dikenal 'Piagam Madinah' (Mitsaq al-Madinah). Piagam inilah yang oleh kalangan sejarawan modern dikenal sebagai 'Manifesto Politik' Nabi.

'Kostitusi Madinah', meminjam istilah Montgomery Watt, memuat tentang wawasan kebebasan, kebangsaan, tanggung jawab warga dalam pembe­laan negara dari ancaman musuh, dan penguatan serta pemberdayaan komitmen sosial, politik, dan hukum.

Selama kurang lebih 10 tahun di Madinah, sejarah telah mencatat keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat madani yang bernuansakan keadilan, inklusivisme, dan demokratisasi. Kondisi pluralisme keberagamaan tidak serta-merta menjadi penghalang bagi terbentuknya hubungan kemasyarakatan dan kenegaraan yang harmonis dan populis. Kelompok non-Muslim tetap terjaga hak-haknya tanpa mendapat gangguan dari umat Islam.

Dari sini jelaslah, paradigma masyarakat madani yang dikembangkan Nabi memiliki komitmen tinggi terhadap pluralitas dan kemandirian masyarakat. Tanpa menghindarkan diri dari realitas perbedaan status kelompok, kelas sosial, etnisitas, ras, agama, paradigma masyarakat madani menawarkan pola hubungan egaliter, transparan, dan dialogis antara warga sebagai individu dan anggota komunitas.

Dengan demikian, dalam konstruksi masyarakat madani yang mandiri dan kuat, maka dominasi dan hegemoni negara dapat terhindarkan melalui wacana bebas dalam ruang publik yang ada. Melalui wacana itulah, kritik (baca: oposisi) dan otokritik menjadi keniscayaan hidup dan bukan lagi sesuatu yang tabu, dikutuk, dan dihindari.

Jauh dari klaim sebagai tatanan masyarakat yang utopis, masyarakat madani memiliki ciri refleksi diri dan karenanya mengetahui batas kekuatan dan kelemahannya. Maka itu, di negara dengan konstruksi masyarakat madani yang sehat akan tumbuh demokrasi. Hanya dengan cara inilah, suatu pemerintahan yang demokratis akan mendapat topangan dan lahan yang subur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement