Oleh: Lukman Hakiem, pemerhati sejarah, mantan staf M Natsir dan staf Ahli Wapres Hamzah Haz, dan mantan anggota DPR
Sikap kaum Muslimin terhadap komunisme, paling sedikit terdapat dua dokumen yang mengharamkan. Pertama, Keputusan Muktamar VII Partai Masyumi di Surabaya, 23-27 Desember 1954. Kedua, Keputusan Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang, 8-11 September 1957.
Baik Keputusan Muktamar VII Masyumi maupun keputusan Muktamar Ulama se-Indonesia sama-sama berkesimpulan bahwa falsafah komunisme (historisch-materialisme) bertentangan dengan dasar iman kepada Qudrah-Ilahiyah. Oleh karenanya maka ideologi/ajaran komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya.
Namun, jauh sebelum lahir dua keputusan tentang komunisme itu, di Solo ada seorang pribumi berasal dari keluarga pedagang batik yang sukses bernama Ahmad, lahir pada 1876. Sesuai dengan tradisi Jawa, sesudah menikah Ahmad mengubah namanya menjadi Darpodiprono. Kelak sesudah menunaikan ibadah haji, dia mengganti namanya menjadi Haji Mohammad Misbach.
Dalam catatan Nor Hiqmah (2008), orang tua Misbach menyekolahkan anaknya itu ke pesantren. Misbach juga sempat masuk sekolah pemerintah yang disediakan untuk kaum pribumi.
Jiwa revolusionernya menyebabkan Misbach meninggalkan bisnis batik, dan menggeluti dunia intelektual. Pada 1914 dia bergabung dengan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) sebuah perkumpulan jurnalistik yang didirikan oleh tokoh pergerakan Mas Marco Kartodikromo, sebelum akhirnya bergabung dengan Sarekat Islam. Takashi Shiraishi (2005) menyebut Haji Misbach dan Haji Hisjamzaijnie sebagai dua tokoh penting SI di Solo.
Dua tokoh penting inilah yang pada 1915 menerbitkan “Medan Moeslimin“, sebuah jurnal yang diterbitkan sebagai respons terhadap “Mardi Rahardjo” yang diterbitkan oleh para missionaris Kristen. Tidak lama sesudah itu, Misbach mendirikan surat kabar “Islam Bergerak”.
Menurut Mas Marco, Misbach seorang Muslim yang berniat menyiarkan Islam “ke cara zaman sekarang: membikin surat kabar, sekolah modern Islam, berkumpul-kumpul merembuk 'Igama' Islam, dan hidup bersama”. Menurut Shiraishi, Misbah juga membuka hotel Islam.
Pandangan Haji Misbach tentang Islam
Bagi Misbach, Islam adalah agama keselamatan. Ajaran Islam adalah nasihat untuk menuju keselamatan. Sesuai dengan ajaran Quran, menurut Misbach Islam harus berdasarkan pikiran sehingga umat Islam bisa menyebarkan keselamatan.
Dinyatakan pula oleh Misbach bahwa, salah satu syarat untuk mencapai keselamatan ialah pikiran jujur yang suci. Tidak hanya itu, seorang Muslim memiliki tugas penting, yaitu berusaha menyelamatkan dunia dari segala tindakan zalim, kesewenang-wenangan, dan kekejian orang-orang serakah yang munafik. "Orang-orang serakah yang munafik itu, adalah kaum kapitalis yang melenceng dari ajaran Islam yang sejati," ujarnya.
Lebih lanjut Haji Misbach menegaskan, Islam tidak semata-mata akidah dan ritual, tetapi juga cara hidup. Oleh karena itu, Ia menolak memisahkan atau memutuskan akidah dengan politik, moral dengan ekonomi, atau antara ilmu dan hikmah.
“Seorang Muslim tidak dapat hidup terbelah antara akidah hati nurani dan imannya pada satu segi, dengan kehidupan dan praktik sosialnya di segi lain,” ujarnya seperti ditulis Nor Hiqmah.
Ketika seorang penulis menista Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Misbach aktif menjadi donatur Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM). Untuk mempropagandakan Islam, Misbach membentuk perkumpulan bernama Sidik, Amanah, Tabligh, Vathonah (SATV).
Kombinasi Tjipto-Misbach Menarik Perhatian Kaum Radikal
Permulaan abad XX ditandai dengan lahirnya organisasi rakyat memperjuangkan kemerdekaan. Shiraisi menyebut masa ini sebagai “zaman bergerak”. Di Surakarta, antara 1917-1919 zaman bergerak ditandai oleh tampilnya duet Tjipto Mangunkusumo dan Haji Misbach.
Tjipto adalah anggota Insulinde –sebuah perkumpulan nonpolitik yang didirikan pada 1907 dan keanggotaannya didominasi oleh kaum peranakan– yang ditunjuk menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Haji Misbach adalah muballigh reformis.
Kombinasi Tjipto yang nasionalis dan Misbach yang muballigh reformis inilah yang mendorong Insulinde –bukan Sarekat Islam (SI)– di masa itu menjadi kekuatan pergerakan revolusioner utama di Surakarta.
Jika Tjipto menarik perhatian kaum radikal di SI karena tulisan-tulisannya yang cemerlang, Misbach menarik perhatian karena keramahan, keterbukaan, kehangatan, dan kesamaan perkataan dan perbuatannya.
Dengan reputasi seperti itu, tidak heran jika nama Misbach segera meroket. Dia dipercaya menjadi Wakil Ketua Insulinde Surakarta mendampingi Nyonya Vogel (istri Tjipto Mangunkusumo) yang menjadi Ketua. Tjipto sendiri lantaran sebagai anggota Volksraad banyak berdinas di Batavia, tidak masuk di dalam kepengurusan Insulinde.
Dan untuk mempertegas kepemimpinan Misbach dalam Insulinde, rapat (vergadering) memberi wewenang kepadanya untuk memimpin aktivitas propaganda Insulinde di luar kota Surakarta dengan mengeluarkan kartu anggota, dan mendirikan kring-kring (kelompok-kelompok kecil di bawah (cabang) atas nama Insulinde Surakarta.
Misbach memulai aktivitasnya sebagai propagandis Insulinde sekaligus sebagai muballigh SATV di perkebunan tebu dan tembakau Kasunanan dengan kring Surakarta sebagai pos terdepan. Dengan propaganda yang dilakukannya, Insulinde di daerah perdesaan sekitar Surakarta mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam tempo dua tahun, Insulinde telah berkembang menakjubkan di Kartasura, Boyolali, dan Klaten.
Dalam berbagai tulisan dan propagandanya, Misbach selalu mengulang-ulang kata kunci: “Jangan kuatir!”, atau “Jangan takut!”. Jangan kuatir dan jangan takut, artinya jangan takut kepada sesama manusia. Takutlah hanya kepada Allah. Takut kepada Allah berarti melaksanakan semua perintah-Nya.
Propaganda yang dilakukan Misbach adalah untuk kebebasan negeri dari segala bentuk kezaliman dan penindasan, sama seperti propaganda untuk Islam. Dalam rangka inilah, sebagai propagandis Insulinde, Dia sekaligus menunjukkan dirinya sebagai muballigh.
Dipenjara Selama Dua Tahun Tiga Bulan
Dengan propaganda yang terus menerus dilakukannya, pelan tetapi pasti kesadaran dan keberanian rakyat yang tertindas bangkit. Pemogokan besar maupun kecil terjadi di mana-mana. Misbach dituding sebagai dalang dari semua pemogokan. Bersama puluhan anggota Insulinde, Misbach ditangkap.
Atas penangkapan itu, Harsoloemekso dari SATV, dan Ketua Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan berkirim kawat (telegram) kepada Gubernur Jenderal di Batavia meminta supaya Haji Misbach cepat dibebaskan.
Sangat menarik melihat sikap KH Ahmad Dahlan terhadap Haji Misbach. Pendiri Muhammadiyah yang pribadi dan organisasinya pernah diserang secara keras oleh Misbach itu, justru meminta Misbach dibebaskan dari penjara.
SATV juga menilai Misbach sebagai muballigh sejati yang mempropagandakan Islam tidak dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan perbuatan.
Koesen, hoofdredacteur Islam Bergerak dan propagandis utama SATV, menulis di koran yang dia pimpin: “Misbach, Darsosasmito, dan lain-lainnya, dipenjara bukan karena merampok, mencuri, menodong, membunuh, atau menipu, tetapi justru karena mereka melawan pihak yang bertindak sewenang-wenang atau tepatnya bandit-bandit yang selalu mengganggu kesejahteraan umum.”
Dalam Penggoegah, 12 Mei 1919, Tjipto Mangunkusumo menyebut Misbach dan kawan-kawan sedang bertapa. “Ia yang berani hidup tapa adalah mereka yang mendapat anugerah besar, keinginannya akan dituruti. Semua halangan harus dilalui. Semua rintangan harus dihancurkan!” tulisnya.
Berbagai seruan untuk membebaskan Misbach tidak digubris oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Misbach disekap di penjara Pekalongan selama dua tahun tiga bulan.
Pada 22 Agustus 1922, Misbach kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta.
Pembebasan Misbach disambut dengan suka cita. Islam Bergerak menyebut Misbach sebagai “prajurit Islam”, sedang Penggoegah menyebutnya “pahlawan”.
Pemenjaraan selama dua tahun tiga bulan, ternyata tidak menyebabkan Misbach meninggalkan gelanggang perjuangan. Suaranya makin lantang. Dan itu menandai era baru dalam kehidupanya. Misbach makin revolusioner!
Dia pun sempat dua kali dia dipanggil oleh Residen Solo, dan dinasihati agar tidak berkecimpung di dunia politik. Nasihat itu dijawab lugas bahwa dirinya tidak akan meninggalkan gerakan politik karena rakyat yang lemah dan takut itu diam saja ketika ditindas dan diisap. Melihat penderitaan rakyat, dirinya akan terus memobilisasi rakyat dan menolong mereka seperti seharusnya.
Sejak itulah seluruh gerak-geriknya diawasi. Dua orang polisi membayang-bayangi kemanapun dia pergi. Jumlah polisi lebih banyak lagi jika Misbach sedang kedatangan tamu atau sedang punya acara.
Ketika aksi buruh makin meningkat, bukan sekadar pemogokan tetapi meningkat ke sabotase perjalanan kereta api, dan pengeboman beberapa ruang publik, kembali dirinya menjadi tertuduh.
Kendati tuduhan itu tidak pernah terbukti, Misbach tetap dihukum. Tanggal 27 Juni 1924, Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan pembuangan Haji Misbach ke Manokwari di Nieuw Guinea Utara, Keresidenan Ambon. Istri dan tiga anaknya yang masing-masing berusia 13, 8, dan 6 tahun turut mendampinginya.
Pada bulan Juli 1925, istri Misbach meninggal dunia di Manokwari. Pada 24 Mei 1926, Misbach yang terserang malaria meninggal dunia. Aktivis Sarekat Rakyat Manokwari memakamkannya di pemakaman Penindi, Manokwari, berdampingan dengan makam istrinya.
Keselarasan Ajaran Islam dengan Ajaran?
Periode sesudah pembebasannya dari penjara Pekalongan sampai masa pembuangan ke Manokwari, Haji Misbach diingat sebagai seorang Muslim yang meyakini keselarasan ajaran Islam dengan ajaran komunis.
Tidak lama sesudah bebas dari penjara Pekalongan, Misbach memang berpisah dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Dia bergabung dengan SI Merah.
Dalam suatu rapat Partai Komunis Indonesia (PKI) di Bandung dan rapat SI Merah di Sukabumi pada awal Maret 1923, Misbach mengeritik HOS Tjokroaminoto secara terbuka. Kritik kerasnya itu membangkitkan kemarahan Ir Sukarno yang menganggap Misbach tidak fair, mengeritik orang yang tidak hadir dalam rapat. Mendapat kritik dari Sukarno, Misbach kemudian meminta maaf.
Setelah itu kemudian terjadi perpisahan antara Muhammadiyah dan SI. Peristiwa ini memang menandai kian dekatnya Misbach kepada kalangan komunis. Menurut Shiraishi, bergabungnya Misbach ke dalam barisan komunis dan SI Merah, bagi kaum komunis merupakan berkah sekaligus masalah. Di satu sisi kepiawaian Misbach berpropaganda dan kemampuan finansialnya sangat menguntungkan kaum komunis.
Di sisi lain, pemahaman Misbach tentang kapitalisme dan imperialisme sebagai usaha lain dari syetan untuk menjauhkan umat Islam dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan konsepsinya bahwa perjuangan komunis melawan kapitalisme sebagai ujian untuk membuktikan kesetiaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala menyulitkan Hoofdbestuur PKI, terutama bagi kaum internasionalis-doktriner.
Ketika dua pentolan PKI menyerukan agar 'PKI tidak menggunakan Islam, karena akan menjauhkan orang-orang dari agama lain', Misbach menjawab: “Jika petunjuk dan ajaran Islam benar-benar digerakkan, sudah tentu tidak akan ada antagonisme antara Muslim dan pemeluk agama lain.”
Dari tempat pembuangannya di Manokwari, mulai akhir 1924 Misbach mengirimkan serangkaian tulisan berjudul ” Islamisme dan Komunisme “. Artikel dimuat secara berseri oleh di Medan Moeslimin sepanjang tahun 1925
Salah satu ungkapan Misbach yang sangat terkenal, berbunyi sebagai berikut: “Begitu juga sekalian kawan kita yang mengakui dirinya sebagai seorang komunis, akan tetapi mereka misi suka mengeluarkan pikiran yang bermaksud akan 'melinyapkan' agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukannya komunis yang sejati atau mereka belum mengerti duduknya komunis, pun sebaliknya, orang yang suka mengaku dirinya Islam tetapi tidak setuju adanya komunisme, saya berani mengatakan bahwa ia bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam.”
Merujuk kepada dua keputusan mengenai ideologi komunis seperti dikutip di awal tulisan ini, pendirian Haji Misbach tentu saja terasa janggal dan menyebal. Akan tetapi pendirianya tidaklah unik.
Pada 1926, Ir. Sukarno mengumumkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Bung Karno yakin, sisi baik Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dapat memperkukuh negara-bangsa Indonesia. Kelak pendirian Bung Karno itu dia kukuhkan dengan nama Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Bung Karno kukuh pada pendiriannya itu. “Jika tidak setuju Nasakom, bisa diganti dengan Nasasos, atau Nasa-nasa yang lain,” kata Bung Karno pada pidato 17 Agustus 1966.
Pada pertengahan 1946 di Maninjau, Sumatera Barat, berdiri Partai Komunis Indonesia Lokal Islami yang dalam garis perjuangannya berkehendak untuk menyatukan ajaran Islam dengan Marxisme. Partai ini memiliki laskar bersenjata bernama Saifullah.
Usaha-usaha “mendamaikan” Islam dengan komunisme, ternyata bukan hal baru.
Dalam pada itu, mengenai bagaimana menyikapi komunisme, menarik menyimak pendapat Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958), Mohammad Natsir ketika menjawab pertanyaan bagaimana sikap Masyumi terhadap komunisme sekiranya menang dalam pemilihan umum (1955) ini. Natsir mengatakan bahwa dalam menghadapi komunis tidak perlu melarangnya dengan secara hukum, umpamanya mengeluarkannya dari hukum, tetapi cukup dengan perjuangan perlombaan dengan fair secara demokratis parlementer.
Ditegaskannya bahwa Masyumi menolak tiap-tiap cara yang tidak demokratis. “Negara bukanlah untuk Masyumi saja,” demikian Natsir (1957).
Bagaimana bangsa ini harus menempatkan H. M. Misbach?
Sebagai tokoh yang tidak bisa berbahasa asing, kecuali Bahasa Arab, Misbach memahami Marksime dan Komunisme, pastilah tidak dari sumber-sumber utama. Oleh karena itu, salah satu kritik kepada H Misbach ialah ketidaktuntasannya di dalam memahami komunis.
Kepiawaiannya di dalam berpidato, menyebabkan propaganda Misbach tentang komunisme memukau rakyat yang tertindas baik oleh kapitalisme asing maupun kapitalisme pribumi.
Bagaimanapun pejuang antikapitalisme dan antiimperialisme itu menghembuskan nafas terakhirnya di tempat pembuangannya. H Misbach meninggal dan dikubur jauh dari tanah kelahirannya.