REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Ridho, Mahasiswa S3 Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Trisakti
Pada Selasa, 8 November 2016, Presiden menandatangani Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016, tentang Komite Nasional Keuangan Syariah. Pada Bab I, Pasal 1 Ayat 1 disebutkan, “Komite Nasional Keuangan Syariah yang selanjutnya disingkat KNKS merupakan wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor keuangan syariah”.
Pada Bab II, Pasal 3, disebutkan juga tentang tugas KNKS, yang berbunyi, “KNKS mempunyai tugas mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan keuangan syariah dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional”.
Dengan adanya peraturan presiden tersebut, kami sebagai masyarakat awam sangat berharap, lembaga nonstruktural tersebut segera aktif sehingga dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan kepadanya.
Indonesia yang berpenduduk sekitar 258,7 juta jiwa dan 85 persennya adalah Muslim, sangat berpotensi mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Namun, perkembangan keuangan syariah belum sesuai harapan.
Ini tecermin dari pangsa pasar keuangan syariah yang masih relatif kecil. Hanya 5,3 persen terhadap industri perbankan nasional pada 2016. Capaian itu jauh di bawah Arab Saudi yang mencapai 51,1 persen, Malaysia 23,8 persen, dan Uni Emirat Arab 19,6 persen.
Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima sektor yang dapat meningkatkan peran ekonomi syariah di Indonesia. Pertama, perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah.
Data OJK dari 2011 hingga juli 2016 menunjukkan, setelah mampu tumbuh 47,6 persen dan 49,2 persen pada 2010 dan 2011, aset perbankan syariah turun menjadi 34,1 persen dan 24,2 persen pada 2012 dan 2013, dan 13 persen dan 9 persen pada 2014 dan 2015.
Penyebab penurunan pertumbuhan perbankan syariah, di antaranya pelayanan yang masih tertinggal, kemampuan ekspansi jaringan kantor serta infrastruktur lainnya, kurangnya pemahaman masyarakat, dan kurang optimalnya lembaga pengawas.
Sektor kedua, pengelolaan dan pendistribusian zakat, infak, serta sedekah (ZIS). Ada sekitar 82 ayat dalam Alquran yang berbicara zakat dan sebagian besar dikaitkan langsung dengan perintah shalat.
Beberapa literatur dan penelitian menunjukkan, zakat merupakan salah satu instrumen negara dalam mengurangi kemiskinan. Hal itu dibuktikan sejarah, seperti yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW bahkan pada zaman Khalifah Abu Bakar.
Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis, rakyatnya sudah tidak ada yang merasa miskin. Semua membayar zakat dan tidak mau menerima zakat. Hasil pungutan zakat dikirim ke perbatasan negara, untuk dibagikan kepada Muslim negara lain yang membutuhkan.
Menurut Baznas, potensi ZIS tahun 2015 di Indonesia sebesar Rp 286 triliun. Kenyataannya, penghimpunan ZIS nasional oleh OPZ resmi pada 2015, baru Rp 3,7 triliun atau kurang dari 1,3 persen dari potensinya.
Penyebabnya, antara lain, rendahnya kesadaran wajib zakat dan rendahnya kepercayaan terhadap lembaga zakat. Selain itu, basis zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat fitrah dan profesi dan penyebab lainnya adalah soal kemudahan dalam membayar zakat, masih rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat, khususnya terkait zakat pengurang pajak.
Sektor ketiga, wakaf. Wakaf merupakan instrumen dalam pembangunan dan investasi produktif, seperti yang dilakukan sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar yang mewakafkan tanah suburnya di Khaibar. Sampai saat ini, saudara kita di Aceh yang melaksanakan ibadah haji, berhak mendapatkan tambahan uang saku dari hasil wakaf produktif rakyat Aceh pada masa lalu, yang hingga saat ini dikelola dengan baik.
Di berbagai negara, telah banyak yang menggunakan instrumen wakaf sebagai lembaga untuk pembangunan infrastruktur yang bermanfaat untuk rakyat, seperti Malaysia, Arab Saudi, Turki, Kuwait, Mesir, Yordania, dan Srilanka. Bahkan di Turki, hasil wakaf sudah merambah ke bidang kesehatan dengan membangun rumah sakit berkelas internasional yang berkapasitas 1.425 tempat tidur.