Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Ke mana Ahok berlabuh setelah bebas? Pertanyaan ini tiba-tiba mengemuka seiring akan bebasnya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sekarang ini. Suasana politik jelas akan makin panas. Dan keseruan suasana politik makin ramai ketika ajang Pilpres 2019 mulai masuk ke babak kampanye yang telah berlangsung beberapa bulan ini.
Ahok yang segera akan menyelesaikan masa hukuman dan kembali menjadi orang biasa pasti akan tetap menjadi perhatian. Apalagi kini menjelang suasana Reuni 212 yang pada Ahad depan (2/12) akan digelar. Publik tentu masih ingat munculnya demonstrasi yang disebut diikuti lebih dari tujuh juta orang di Monas adalah akibat pidatonya di Jakarta Utara saat jelang pilkada DKI Jakarta.
Tensi suasana ini makin naik ketika ‘seterunya’ Buni Yani kemarin mengeluarkan sumpah ‘mubahalah’. Dia dengan yakin mengatakan bila tak mengedit atau mengurangi pidato Ahok yang membuatnya terkena hukuman pasal penodaan agama terkait soal kontroversi ayat Al Madiah ayat 51 itu.
"Demi Allah saya tidak pernah mengedit dan memotong video, kalau saya bohong biarlah Allah sekarang juga memberikan laknat dan azab kepada saya dan seterusnya kepada anak cucu saya," ujarnya menirukan pidatonya dalam video di konferensi pers, Kamis (29/11). Video tersebut, diunggah setelah Buni Yani mendapat putusan kasasi dari Mahkamah Agung bahwa dirinya terbukti melakukan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik.
"Saya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Saya sudah melakukan mubahalah biarlah saya masuk ke neraka jahanam kalau saya melakukan apa yang dituduhkan," ujar dia lagi.
Harus diakui, pilihan berlabuhnya Ahok menarik perhatian dalam ajang pilpres kali ini. Apalagi Ketua MUI zaman Ahok di sidang tersebut, yakni KH Ma’ruf Amien kini menjadi pasangan kandidat presiden petahana Joko Widodo ikut maju dalam kompetisi Pilpres 2019. Semua tahu Ma’ruf Amien adalah ulama yang menjadi saksi ahli yang memberatkan Ahok ketika dahulu terbelit soal kasus penodaan agama tersebut.
Menariknya lagi, publik pun sudah tahu di dalam persidangan Ahok pernah berseteru dengan kata-kata keras dengan KH Ma’ruf. Dari arsip berita pada persidangan kasus Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta tersimpan jejak begini. Berita itu tentang protes Ahok atas kesaksian KH Ma’ruf:
Terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan berbagai keberatannya atas kesaksian Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin. Salah satunya, Ahok merasa keberatan atas kesaksian Kiai Ma'ruf terkait menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Saya juga keberatan saksi membantah tanggal 7 Oktober 2016 bertemu pasangan calon nomor urut satu, jelas-jelas saudara saksi menutupi riwayat pernah menjadi Watimpres Susilo Bambang Yudoyono (di tengah persidangan)," ujarnya usai mendengarkan kesaksian Kiai Ma'ruf di Gedung Kementan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1).
Soal ini jelas jejak lain dari kasus sidang Ahok yang dahulu. Nah, uniknya pada masa kini suasana bisa berubah. Apabila lagi bila benar Ahok bergabung dengan PDI Perjuangan (partai ini jelas merupakan pendukung utama petahana yang kini maju bersama KH Ma’ruf Amien) dan benar Ahok akan mendukung Jokowi seperti banyak dimuat di laman berita media, maka hal ini akan jelas menjadi kajian arah politik yang menarik.
Mengapa demikian? Hal itu adalah karena kini antara bekas seteru yang sempat berpolemik keras di depan sidang pengadilan tersebut kini sudah akur. Para pendukung Kiai Ma’rif dan Ahok terkesan sudah siap berangkulan maju bersama dalam satu perahu menuju bahtera kepemimpinan politik. Mereka melupakan perbedaan yang dahulu dianggap prinsip soal tafsir penodaan agama yang telah membuat berkumpulnya jutaan masa di Monas yang kini peristiwa akbar itu dalam dua hari ke depan akan dijadikan ajang reuni.
Tak hanya di dalam negeri, kala itu soal Ahok dan pernyataan KH Ma’ruf yang saling berseberangan menjadi pusat perhatian publik dunia. Media internasional memberitakannya dan kesannya antara dua pihak ini adalah pihak yang tidak bisa bertemu. Tak cukup dengan itu, Ahok mereka dukung sebagai sosok yang berpaham demokratis dan toleran, sedangkan KH Ma’ruh dikesankan sebaliknya. Juga terkesan masuknya Ahok ke dalam penjara di media internasional digambarkan sebagai kemenangan serta kembalinya suasana Islam radikal di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan PDI Perjuangan terkait soal kebebasan Ahok dan peluang dia masuk ke dalam partai berlambang banteng dengan moncong putihnya ini? Jawabnya, sampai kini belum ada jawaban pasti atau sikap resmi dari partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. Namun tanda-tanda sikap ‘wellcome’ dari partai tersebut mulai terlihat dalam beberapa elitnya. Apalagi dahulu Ahok dalam pilkada DKI maju didukung partai ini.
Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Maruarar Sirait, misalnya menyatakan tidak mempersoalkan terkait rencana bergabungnya mantan wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke partainya. Menurutnya, hal tersebut adalah hak asasi bagi siapapun yang ingin bergabung ke partai berlambang kepala banteng tersebut.
Pria yang akrab disapa Ara tersebut berharap kasus hukum yang membelitnya tersebut menjadi pelajaran bagi Ahok."Semoga Ahok nanti kalau sudah keluar dia kerja bagus, ya mulutnya bisa dijaga aja jadi dia bisa lebih santun," kata Ara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (29/11).
Ara mengaku sampai saat ini dirinya belum berkomunikasi dengan mantan bupati Belitung Timur tersebut. Ia mengaku baru mendengar kabar tersebut dari media.
"Yang penting tadi saya sampaikan ya, Ahok belajar dari pengalaman yang ada. Kerja bagus itu penting tetapi juga bagaimana menjaga mulut menjaga omongan dengan santun dan menghormati semua itu menjadi penting juga," tuturnya.
Politikus PDIP lainnya, Masinton Pasaribu, juga ikut berkomentar terkait kabar gabungnya Ahok tersebut. Anggota komisi III tersebut juga menyambut baik kabar tersebut. Ia menyebut saat masih menjabat sebagai gubernur, Ahok kerap mengatakan bahwa PDI Perjuangan sebagai partai yang berpendirian tegas.
"Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat masih menjabat gubernur dalam sambutannya dihadapan kader-kader PDIP DKI Jakarta berkali-kali menegaskan bahwa PDIP adalah Partai politik yang berpendirian tegas dalam memperjuangkan ideologi Negara Pancasila dan mengayomi kemajemukan," kata Masinton mengulang ucapan Ahok kepada wartawan, Senin (26/11).
Sama dengan Ara dan Masinton, Sekertaris PDI Perjuanan, Hasto Kristianto, juga telah menanggapi wacana bergabungnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke partainya. Hasto membebaskan siapapun bergabung dengan PDIP asalkan berkomitmen bagi kemajuan bangsa. Syarat lainnya yaitu bersumpah setia terhadap Pancasila.
"Tiap WNI bebas masuk PDIP. Asal setia dengan Pancasila dan NKRI. Asal ada komitmen bagi bangsa ya kami buka," katanya pada wartawan di rumah pemenangan jalan Cemara, Kamis (29/11).
Hasto menyatakan PDIP hanya menolak WNI yang berkhianat pada bangsa. Selebihnya PDIP membebaskan WNI untuk bergabung tanpa pandang suku, ras dan agama. "Kami tutup bagi mereka yang pernah berkhianat ke bangsa," ucapnya.
Selanjutnya, bagi siapapun yang masuk PDIP wajib mengikuti pelatihan internal. "Mereka yang gabung (ke PDIP), kami ikutkan dikaderisasi partai," ujarnya.
Diketahui, Ahok disebut-sebut bakal bergabung ke PDIP usai bebas dari penjara. Wacana itu dilontarkan oleh Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat. Ahok menjadi terpidana kasus penistaan agama dan dihukum 2 tahun penjara. Ahok mendekam di balik jeruji besi sejak Mei 2017. Ahok diprediksi bebas murni pada akhir Januari 2019 bila kembali mendapat remisi pada Hari Raya Natal, 25 Desember 2018.
Alhasil, semua pihak ke depan akan menyaksikan drama baru dalam persaingan Pilpres 2019. Semua bisa melihat apakah benar bila tidak ada ‘musuh’ abadi dalam politik, sebab yang abadi adalah kepentingan?
Wallahu’alam.