Selasa 04 Dec 2018 07:55 WIB

Mengapa Kita Perlu Berterima Kasih pada Aksi 212?

Ada banyak upaya menurunkan nilai dan cita-cita aksi 212 ini.

Muhammad E Fuady, Dosen Fikom Unisba
Foto: Dokumen Pribadi
Muhammad E Fuady, Dosen Fikom Unisba

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Muhammad E Fuady, Pengajar Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba

Selama tiga kali perhelatan, aksi ini telah teruji mengangkat reputasi Indonesia sebagai negara dengan Muslim terbanyak di dunia. Aksi ini betul-betul damai. Jutaan Muslim berkumpul, tak menimbulkan kekhawatiran teman-teman non-Muslim.

Baca Juga

Sebagian malah turut hadir pada aksi ini. Kita masih mengingat indahnya peserta aksi "mengawal' sepasang pengantin Katolik menuju Katedral untuk melangsungkan pernikahan.

Narasi buruk, fitnah intoleransi, labeling gerakan radikal, makar, mengganti sistem pemerintahan, terlalu sering dialamatkan pada peserta aksi 212. Bila ada rongrongan terhadap negara ini, justru merekalah yang siap menjadi martir.

Mencintai agama dan negara bukanlah sebuah kontradiksi. Tak ada benturan dan pertentangan di sana. Para pendahulu, pahlawan, telah memberikan teladan yang nyata.

Pada perhelatan 212 setiap tahun, tak ada sampah berserakan, rumput tak diinjak, tak ada peserta yang buang air sembarangan, merusak tanaman, apalagi berebut makanan hingga saling caci seperti pada aksi kebhinekaan. Publik hanya bisa geleng kepala dan mengelus dada melihat aksi politik tersebut.

Setiap tahun dalam aksi ini, Muslim berlomba menebar kebaikan. Mulai air minum kemasan, snack, roti, kurma, penganan, hingga nasi bungkus, secara sukarela peserta bagikan kepada peserta lainnya. Semuanya tertib.

Pada pagi berlangsungnya aksi 212, satu keluarga berjalan membawa keresek berisikan beberapa dus brownies. Sang ibu berkata pada suaminya, "Yah, kasih ke itu saja", seraya menunjuk seorang kakek yang sedang duduk bersila mendengarkan tausiah.

Tanpa ba-bi-bu, anak laki-lakinya mengeluarkan satu dus brownies dari keresek dan memberikannya pada kakek itu. "Jazakallahu khairan katsiran", ucap kakek berbaju coklat pudar tersebut.

Di sini tak ada orang yang alergi bendera putih dan hitam dengan kalimat Tauhid. Banyak peserta yang membawa bendera ini, tampak riang mengibarkannya, bersanding dengan bendera Merah Putih.

Mengenai penolakan segelintir orang terhadap reuni 212, seorang peserta aksi dari Bandung, menanggapi. "Reuni urang nya kumaha urang. Ibarat jelema sakola, alumni na reunian, nya biasa-biasa weh wajar. Kunaon sakola batur kudu ribut ningali reuni sakola urang, rek dihalang-halang sagala", katanya dengan logat Sunda kental.

Maksudnya kurang lebih, aksi 212 ibarat sebuah sekolah, bila alumninya selenggarakan sebuah reuni itu adalah hak mereka. Tak perlu alumni sekolah lain permasalahkan apalagi menghalang-halangi penyelenggaraannya.

Beberapa peserta aksi asal Bogor di lokasi mengomentari pengerahan puluhan ribu TNI dan Polri untuk pengamanan reuni 212. "Rasanya sih nggak perlu TNI dan polisi sebanyak itu untuk pengamanan. Aksi kita setiap tahun sudah jelas damai. Kayaknya malah kita yang mengamankan mereka", kata Agus, setengah guyon.

Kita patut berterimakasih pada aksi ini bukan hanya karena aksinya damai, tapi hitung perputaran ekonominya. Berapa ratus ribu karton air mineral dibeli, berapa ratus ribu orang membeli gamis, berapa juta tiket bis, kereta, pesawat yang terjual PP, makan dan minum di perjalanan/pusat transportasi, donasi hamba Allah pada tukang makanan, bahkan tukang dagang pun menggratiskan jualannya.

Bila dulu ada tuduhan peserta aksi dibayar 500 ribu rupiah, pada reuni ini malah tuduhannya downgrade sekali, kisaran 100 ribu. Tuduhan yang sangat garing. Beli tiket Bandung -Jakarta PP, plus makan minum per orang saja, mencapai setengah juta rupiah. Itu yang "lokal".

Bayangkan berapa rupiah dihabiskan peserta dari luar Jawa untuk tiket dan penginapan. Bayangkan berapa puluh hingga ratus miliar bila di total perputaran ekonomi dari aksi ini.

Tak semua peserta aksi ini pernah minum di Starbucks. Usai aksi, gerai kopi di stasiun Gambir ini dipenuhi orang-orang berbaju putih. Di lantai atas pojok kafe ini, Hafid, seorang peserta asal Priok mengaku anaknya bekerja di Starbucks.

"Senang bisa ketemu anak saya yang kerja di sini sambil saya ikut reuni 212", katanya. Meski anaknya bekerja di Starbucks, baru kali itu ia masuk dan minum kopi di sana.

Dan siapa yang paling senang bila roda perekonomian di negara ini berjalan dengan baik? Tentunya pemerintah. Itu mendorong ekonomi negara semakin membaik.

Selain pemerintah, siapa lagi yang senang dengan reuni 212? Tentunya tukang kalender di sekitar Monas. Di bulan Desember, jualan kalender selalu laku keras.

"Ini jajanan paling murah meriah, pak. Kalender dengan foto 212 harga lima ribu perak bisa untuk satu tahun", selorohnya di depan pintu masuk Monas.

Reuni 212 memang layak diapresiasi. Reuni ini memadukan kesalehan ritual dan sosial. Saat dini hari, mereka shalat tahajud berjamaah dan doa bersama, dilanjut dengan shalat shubuh.

Pagi hingga siang hari mereka dapat mendengarkan tausiah dan saling berbagi kebaikan dengan sesama. Warga non muslim saja turut hadir melihat aksi ini dari dekat, jadi tak ada alasan bagi kita untuk alergi. Penyelenggaraan reuni 212 setiap tahun? Siapa takut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement