Oleh: Muhammad Cheng Ho – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sedari dulu, ulu hati kehormatan umat Islam telah ditekan lewat berbagai soal penistaan agama.Aksi nista mereka telah ciptakan keresahan dan benturan di tengah masyarakat.
Dahulu, di abad ke-18, hidup seorang haji yang pernah menggemparkan daerah Tuban, pesisir Jawa Timur. Namanya Ahmad Mutamakin. Ia telah mengabaikan syariat dan mengajarkan ilmu hakikat kepada orang-orang.
Diceritakan oleh seorang pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura I, bahwa“Ajarannya tentang ilmu mistik yang sesat/karena (ia meyebut dirinya) sama dengan kekuasaan kemauan Tuhan/yang menjadi perselisihan/dengan kukuh, keras dn kasar/ia menguraikan keyakinannya tanpa bisa dihentikan/yang berakibat adanya tuduh-menuduh/dan ini menjadi sunggh-sungguh dan luar biasa/pesisir timur (Jawa) ada dalam kekacauan/dan daerah Tuban Haji Ahmad Mutamakin/menjadi musuh banyak orang.”
Menyaksikan ulahnya itu, para ulama menasihatinya agar tidak melanggar hukum Islam. Namun ia tak berubah dan gentar dengan kemungkinan adanya hukuman raja. Bahkan gilanya, ia menamai anjing-anjingnya: Abdul Kahar (nama seorang penghulu) dan Kamarudin (nama seorang Ketib Tuban). Nasihat tak juga mempan, para ulama pesisir kemudian berkumpul dan memutuskan untuk melaporkannya kepada Raja Kartasura yang kala itu adalah Sunan Amangkurat IV. Lebih dari itu, para ulama pesisir juga mengedarkan surat undangan kepada ulama-ulama Pajang, Mataram, Kedu, Pagelan, dan mancanegara untuk bersama-sama melaporkan ulah Mutamakin kepada Raja.
Berangkatlah mereka menuju ibukota kerajaan dengan dipimpin oleh Ketib Anom Kudus. Namun sayangnya, bersamaan dengan itu, sang raja wafat. Penyelidikan kasus Mutamakin pun ditangguhkan sampai raja berikutnya yaitu Paku Buwana II. Semua ulama dari distrik-distrik pesisir utara: Pajang, Mataram, dan Pagelan datang ke ibukota Kartasura dan berkumpul di rumah Patih Kerajaan, Danureja. Bupati-bupati pesisir, mancanegara dan Kartasura sepakat bahwa Mutamakin harus dibakar pada tonggak.
Penyelidikan kemudian dilakukan oleh Bupati Jero, Raden Demang Urawan. Dipanggillah Mutamakin menghadap. Dalam perkembangannya, seperti dilaporkan oleh Demang Urawan kepada sang raja, bahwa Mutamakin tidak tidur setelah shalat isya, tapi membaca kitab Bhima Suci. Dalam perjalanan ke Kartasura pun, lanjutnya, Mutamakin telah membacakan kitab yang sama, diawali dengan cerita Bhima yang melompat ke samudera untuk mendapatkan air kehidupan.
Mendengar laporan itu, raja memutuskan tidak menyetujui keputusan yang telah diambil oleh patih dan ulama. Raja menganggap tidak tepat bila Mutamakin dijatuhi hukuman mati karena Mutamakin tidak menyebarkan ilmu mistik kepada orang lain dan tidak mengubah akidah seluruh masyarakat Jawa. Raja lalu memerintahkan Raden Demang Urawan untuk menyampaikan keputusan kerajaan dan ketidaksenangan raja kepada patih, ulama, dan bupati.
Esok harinya, Raden Demang Urawan menyampaikan hal itu kepada mereka. Selain itu, ia menuduh Ketib Anom Kudus telah menimbulkan keragu-raguan dan kegelisahan di antara para ulama dengan melaporkan sesuatu yang belum pasti kepada Patih.
Dituduh seperti itu, Ketib Anom Kudus menegaskan bukan maksud para ulama untuk mengganggu raja, melainkan melindungi dan membela raja. Ia menilai tindakan Mutamakin tidaklah pada tempatnya. Kalau pengaruh kegiatannya itu makin meluas, lanjutnya, maka akan menjadi tantangan terhadap kewibawaan raja.
“Raja sama bagi pembela agama, haruslah berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar Sunah Nabi. Bila raja perbuat demikian, maka cahaya kerajaan akan redup dan kedudukan raja di jagad ini akan menurun. Raja adalah jantung dunia, sebagaimana manusia harus menyelematkan raja dan semua karyanya. Bila raja berbuat salah, maka rakyatlah yang akan menderita.”
Mendengar itu, Raden Demang Urawan tertundukkan. Kemudian ia kembali ke Keraton untuk melaporkan hasil pembicaraannya kepada raja. Setelah mendengar laporannya, raja memerintahkannya untuk mengampuni kejahatan yang dilakukan Mutamakin dengan syarat Mutamakin harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya yang tidak patut.
Raden Demang Urawan lalu menyampaikan rasa terima kasih raja kepada para ulama yang telah melindungi raja dari ancaman ajaran mistik yang sesat. Selain itu, ia juga mengungkapkan, meski raja telah memaafkan Mutamakin, tapi raja menilai Mutamakin telah berdosa dan hampir saja berkhianat.
Ejekan Minor untuk Sang Mayor
Memasuki abad ke-20, umat Islam tak hanya berperang dengan kolonial Belanda, tapi juga dengan nostalgia seabad silam. Kali ini mereka ditembaki peluru penistaan agama yang berbeda-beda. Di masa itu, kota Surakarta pernah diguncang oleh surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 No.5. Surat kabar yang diterbitkan N.V.Mij. t/v d/z Albert Rusche&Co. dan dipimpin Martodarsono itu, memuat artikel Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”. Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Artikel Djojodikoro tersebut menuliskan antara lain,“Marto: ‘Ah, seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek ajam tjengoek brendel. Sebab Goesti Kangdjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjioe A.V.H. dan minum madat, kadang kadang kletet djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.’”
Karena artikel ini menghina umat Islam, maka timbul reaksi keras dan amarah terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hiswara. Peristiwa ini oleh sejarawan Deliar Noer dipandang sebangai pertarungan antara kaum santri dan abangan. Sebab sejak beberapa tahun sebelumnya dan setelah peristiwa tersebut, kaum nasionalis Jawa yang abangan selalu melihat Islam sebagai tandingan yang berasal “dari luar”, yang hendak menekan “kepercayaan Jawa”. Mereka kemudian mendirikan Comite Voor Het Javaansch Nationalism (Panitia Kebangsaan Jawa) untuk menyalurkan aspirasi ideologis mereka.
Guncangan di Surakarta turut dirasa saudara seiman di Surabaya. Mengetahui Nabi-nya dinista, api tauhid dalam dada umat Islam Surabaya berkobar-kobar. Maka pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit-seorang pemimpin Al-Irsyad Surabaya dan juga komisaris Centraal Sarekat Islam- mengadakan pertemuan maraton Sarekat Islam (SI) secara besar-besaran di Surabaya, untuk membahas penistaan agama a la Djawi Hiswara.
Sementara itu, Abikoesno Tjokrosoejoso, adik dari Tjokroaminoto yang juga sekretaris SI Surabaya, lewat tulisannya di majalah Medan Moeslimin, mengecam ulah Martodarsono dan Djodjodikoro, mendorong sunan agar menghukum keduanya, serta menggerakkan kaum muslimin untuk membela Islam.
“Soenggoeh si Marto,teroetama sekali penoelis si Djojodikoro (laanahoellahoe) soenggoeh berniat dan segadja menghina Nabi kita (s.a.w) dan djoega menghina koerang lebih 300.000.000 orang menoesia jang memeloek igama Mohammadiah.
Dan Hoofd redacteur (Sie!) Martodarsono (laanahoellahoe) sama djahatnja djoega dengan si Djojodikoro (laanahoellahoe). Soenggoehpoen “Hred” (Martodarsono) soedah menerangkan dalam nootnja, bahwa perkataan jang demikian itoe tiada boleh dimuat dalam soerat kabar, sebab mesti mendjadikan marahnja orang-orang jang sama “tidak mengerti”, tetapi “Hred” (Martodarsono) soedah koerang-adjar sekali soeka memoeatkan toelisan itoe djoega.
Bagaimana djoega si Djojodikoro dan si Martodarsono akan boleh mendjawab dan membantah, tetapi kita telah ketahoei dengan sendjata-sendjatanja: di Djawi Hisworo ada termoeat toelisan, jang sangat menghina djoendjoengan Nabi kita (s.a.w) dan menghina djoega kita sekalian kaoem Islam!
Kami ta’dapat perkata’an boeat menjeboetkan kedjahatannja doea orang ini, karena soedah menulis dan memoeat perkata’an jang sangat kedji itoe.
Hal ini kami serahkan kepada fikiranja semoea kaoem kita (kaoem Islam). Teroetama boeat sekarang ini kami mempersembahkan perkataan pendek ke bawah doeli Seri Soesoehoenan di Soerakarta:
‘Baginda ketahoeilah, di dalam dairah negeri baginda (Solo) ada terbit satoe soerat kabar, jang memoeat perkata’an perkata’an amat kedji dan sangat menghina djoendjoengan Nabi dan menghina kita kaoem Islam semoea itoe. Betapakah fikiran baginda?
Patik mengetahoei baginda, bahwa baginda seboetkan diri baginda: Abdurrachman Sajiddin Panotogomo. Patik pertjaja dengan jakin, bahwa baginda akan mendapat alasan dan sebab-sebab, boeat memberi pembahasan kepada kedjahatan, jang menghina Nabi dan kita sekalian kaoem Islam itoe. Pergoenakanlah baginda ampoenja kekoesa’an!’
Lain daripada itoe maka pengharapan kami kepada sekalian saudara kaoem Moeslimin, lebih doeloe saudara-saudara kaoem Moeslimin jang tinggal di Soerabaja gerakkanlah dirimoe masing-masing gerakkanlah bestuurnja perhimpoenanmoe masing-masing, boeat mengoempoelkan daja-oepaja akan memberi pembalasan sepatoetnja kepada orang-orang jang telah menghina Nabi dan menghina kita sekalian kaoem Moeslimin itoe. Boekannja pembalasan dengan kekoeatan tangan-kaki dan lain-lain sebagainja, tetapi pembalasan jang memboektikan keroekoenan dan persatoean kita.
Di dalam vergadering-vergadering, jang kami harap lekas kedjadian di Soerabaja, kami akan memboeka bitjara pandjang-lebar tentang perkara djahat terseboet di atas. Ketjoeali perkara-perkara jang lain, haroeslah vergadering-vergadering itoe mempersembahkan satoe motie ke bawah doeli Seri Soesoehoenan di Soerakarta dan Pemerintah Agoeng di Hindia.
Hai, saudara-saudarakoe kaoem Islam, toendjoekkanlah, kamoe boleh berbuat apa dalam perkara ini!”[9]
Kemudian pada awal Februari , Tjokroaminoto mendirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya, untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim.” Diketuai oleh Tjokroaminoto sendiri, Sosrokardono sebagai sekretaris, dan Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib, seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya, menjadi bendahara.
Pengaruh seruan TKNM untuk membela Islam tampak sangat memukau.Tjokroaminoto dan kawan-kawan berhasil membangun opini publik dan membuat isu Surakarta itu menasional. Ketika Vergadering(rapat umum) di Surabaya pada 6 Februari, TNKM berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Aksi protes yang diadakan serentak pada 24 Februari di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari 10.000 gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Yogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali di bawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM. [10]
Dukungan TKNM juga datang dari H. Misbach, seorang muballigh yang juga pimpinan majalah Medan Moeslimin. Ia menyebarkan pamflet yang mengecam ulah Martodarsono dan Djojodikoro, serta meminta diorganisirnya vergadering protes dan dibentuknya subkomite TNKM.[11] Lebih dari itu, ia bersama pedagang batik muslim menyumbang paling banyak kepada TNKM dan juga mempercayakan kepemimpinan TKNM pada pegawai keagamaan, kiai, dan guru ngaji.[12]
Permintaan H. Misbach dikabulkan. Vergadering lalu diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta, dan dihadiri oleh lebih dari 20.000 umat Islam. Sumbangan kemudian dikumpulkan, dan pendirian subkomite TKNM diputuskan. Hisamzainijnie terpilih sebagai ketua, Poerwodihardjo menjadi sekretaris, dan orang Arab, Kiai, serta pegawai keagamaan kesunanan menjadi bendahara, komisaris dan penasihat.
Darmogandul Tafsirkan Ayat Al-Qur’an Cabul
Di abad 20 , umat Islam tak hanya berperang dengan kolonial Belanda, tapi juga dengan nostalgia seabad silam. Tumbuh suburnya aliran kebatinan di Jawa tak lepas dari pengaruh kitab-kitab Jawa, termasuk diantaranya kitab Darmogandul. Kitab yang ditulis pada masa kolonial Belanda itu sebagian besar menceritakan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Parahnya, kitab itu banyak melecehkan Islam, seperti menafsirkan ayat suci Al-Qur’an dengan kata-kata porno.
“Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba, fihi, hudan lilmuttaqin artinya menurut Darmogandul ialah Alif adalah huruf, hidup tak kena mati. Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit). Kitabu la: kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa. Raiba fihi: perempuan yang pakai kain. Hudan:telanjang. Lil muttaqin: sesudah telanjang kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita.”
Mengetahui adanya pelecehan Islam dalam kitab itu, maka pada pertengahan Maret tahun 1925, Muhammadiyah di Yogyakarta memrotes kitab Darmogandul yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie (penerbit Tionghoa yang berada di Kediri, Jawa Timur).
Mencaci Ibadah Haji
Masih di masa kolonial Belanda, kembali terjadi penistaan agama lewat media massa. Sekitar bulan Desember tahun 1930, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia dan dipimpin oleh Dr Soetomo, memuat berbagai tulisan yang menghina ibadah haji. Dalam tulisan-tulisan itu, penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya “menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam untuk pergi keDemak saja daripada ke Mekah.
Maka gegerlah umat Islam. Ormas Islam yang bergerak di bidang politik, sosial, dan keagamaan lalu mengadakan rapat-rapat umum yang menyerang penulis, Dr. Soetomo, dan Studieclub Indonesia. Di berbagai kota dibentuklah panitia-panitia untuk membentuk opini publik dalam menghadapi serangan orang-orang “kebangsaan”.
Setelah melihat reaksi umat Islam, Dr Soetomo berusaha berdandan dengan mengatakan kepada pers bahwa ia dan ayahnya juga seorang muslim dan sering menyumbang kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Pernyataan itu oleh Tokoh Persis, M.Natsir, dalam Majalah Pembela Islam disebut sebagai ‘sahadat model baru’.
Kehebohan Soeara Oemom habis terbenam, terbitlah tulisan nista lainnya yang dikarang oleh seorang berinisial Tj. W. di surat kabar Soeara Indonesia. Dalam tulisan itu, ia menghina rukun dan perintah agama Islam. Salah satu rukun Islam yang dihina, masih sama dengan yang sebelumnya, yaitu ibadah haji. Tulisan itu lalu dikritisi oleh M. Natsir dengan tulisannya di Majalah Pembela Islam.
“Tuan Tj. W. yang katanya mementingkan ‘Ichonomie’ amat pandai menghitung ‘beberapa kerugian’ Indonesia karena ada orang naik haji tiap-tiap tahun, tidak pernah berlaku jujur dan mempertimbangkan keluar uang itu dengan kemanfaatan yang diterima oleh orang Indonesia, dalam penghidupan politik dan ekonomi, yang nyata-nyata kelihatan tiap-tiap hari.
Apakah ini karena kebenciannya kepada Islam? Tuan Tj. W. c.s. yang amat pandai dan rajin menghitung dengan jarinya ‘kekayaan Indonesia’ yang katanya ‘hanyut’ ke tanah Arab itu, tapi tak pernah mau menghitung berapa kekayaan Indonesia yang hanyut ke tanah Eropa karena pemuda-pemuda Indonesia yang pergi ke sana beberapa tahun supaya sesudah kembalinya jadi buruh pemerintah atau kapital asing.”
Dua tulisan yang merendahkan haji ituseperti mendukung kebijakan haji pada masa Hindia Belanda. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan bermacam-macam aturan yang membatasi dan menghambat pelaksanaan ibadah haji. Alasannya karena pemerintah Belanda trauma dengan perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda banyak digerakkan oleh para haji dan ulama.