Kamis 13 Dec 2018 05:01 WIB

Dari Mana dan Siapa Penyebar Utama Islam di Nusantara

sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam

   Ribuan umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Kamis (8/8).
Foto: dokrep
Ribuan umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Kamis (8/8).

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina Jakarta

Agama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.

Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai (1270-1524) dan Malaka (1400-1511), serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual.  Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.

Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya (Braginsky 1998). Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka (M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984).

Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.

 Islam dan Kegiatan Perdagangan

Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette (1912). Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman  yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh  M. Naquib al-Attas (1972:33-4) yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.

Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel  dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.

Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa  bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.

Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnya Rihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” (Gibb 1957:273-6).

Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M.  Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia (Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991).

Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan.  Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy (1935), Kern (1937), Bonsquet (1938), Gonda (1952), dan terutama sekali oleh van Leur (1955:100-6) dan Schrieke (1955). Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement