Rabu 02 Jan 2019 09:15 WIB

Tsunami Politik

Saat ini nasionalisme SARA pun sedang dibangun.

 Ilustrasi Politik Uang
Foto: Foto : MgRol_94
Ilustrasi Politik Uang

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Sumaryana, Kepala Departemen Administrasi Publik Fisip Unpad

Tahun 2018 diwarnai dengan sejumlah bencana tsunami. Bukan hanya Palu, Banten dan Lampung pun terkena juga di penghujung tahun lalu.

Konon istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti ombak besar di pelabuhan. Bila diidentikan dalam dunia politik, maka tahun ini rentan pula dengan hal tersebut.

Pusat kekuasaan sedang diincar oleh dua kekuatan yang sedang menuju ke sana. Sayangnya, tidak bisa keduanya singgah selama lima tahun untuk menguasai pelabuhan tersebut.

Beragam upaya dilakukan untuk bisa mengusai lini penting dalam kekuasaan, mulai dari saling klaim prestasi, mencari simpati dengan beragam momen penting bangsa, sampai sejumlah bencana pun dijambanginya agar dianggap peduli dengan keprihatinan warga yang terkena musibah.

Yang menarik lagi, jika meminjam pandangan Snyder (2003), agaknya nasionalisme SARA sedang dibangun pula. Bila kesamaan budaya, agama, suku, sejarah yang sama serta bahasa menjadi simbol pentingnya, maka bagaimana hal tersebut dicoba diikatkan agar orang lain menjadi in-group atau out-group-nya.

Telinga

Konon tsunami bisa diwaspadai dengan early warning system. Dengan cara itu orang mengenal dan paham bagaimana menyikapinya. Bisa jadi puncak penentuan pasangan capres pun patut diingatkan agar tidak membangun potensi tsunami.

Dengan pakta integritas sebenarnya menjadi jaminan agar pilpres dilaksanakan secara damai, jujur, adil, bebas, dan rahasia. Untuk itu, pengimplementasiannya memerlukan upaya komunikasi antarpihak supaya dapat dikawal bersama.

Aspek komunikasi antarorganisasi Meter (1975) agaknya patut dicermati. Menurut dia, organisasi pelaksana patut melakukan koordinasi agar dapat meminimalkan penyimpangan.

Oleh sebab itu, KPU,  Bawaslu, organisasi peserta pemilu serta pasangan capres serta timsesnya menjadi utama untuk paling depan merealisasikan agar aturan main tidak ada yang dilanggar.

Dengan kawalan elemen masyarakat seperti pers, teve, tokoh masyarakat, agamawan, LSM, dan akademisi, pelaksanaan pesta demokrasi tersebut tidak boleh membiarkan menjadi tsunami politik.

Komunikasi antarpihak di atas pastilah tidak boleh melandaskan pada kepentingan sekelompok pihak yang memiliki kepentingan dengan kemenangan salah satunya. Tanggung jawab sosial seperti Mintzberg (1989) pastilah utama di mana kepentingan bangsa dan negara menjadi utama dan harus mengalahkan kepentingan pihak-pihak yang bertarung.

Ketika kepentingan petarung menjadi prioritas, maka tanggung jawab sosial akan dikorbankan. Hal tersebut bisa berwujud kecurangan, money politics, atau mungkin politik hitam.

Bila yang terakhir berkembang, maka kekuasaan juga akan menjadi alat untuk menzalimi pihak yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Melalui kekuasaan pula kerakusan akan berkembang mengingat biaya meraih kekuasaan harus dikembalikan plus untuk mempertahankannya.

Mismanagement pastilah berkembang sejalan dengan penyusutan kreativitas untuk memakmurkan rakyat serta meningkatkan pendapatan negara. Dalam kondisi seperti itu, korupsi tidak semakin surut, tetapi menjadi kebiasaan yang melibatkan lebih banyak pihak yang sama-sama ingin menghimpun kekayaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement