Oleh Fahmi Mada, Pebisnis asal Aceh tinggal di Jakarta.
Tak syak lagi, orang - orang Aceh atau orang Belanda menyebutnya "De Atjehers" bagi mereka yg menetap di provinsi ujung utara Indonesia merupakan warga negara pemegang buku paspor yang paling tinggi di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa rakyat Aceh mencintai negeri ini yang dahulu oleh nenek moyangnya dan pendiri bangsa Indonesia disebut daerah modal. Artinya, sampai kini Aceh adalah modal utama dari eksistensi bangsa ini.
Namun, karena sebuah kebijakan masa kini, entah mengapa kesan akrab dan dekat dengan Jakarta yang menjadi ibu kota negara tiba-tiba terasa jauh. Bentangan jarak yang mencapai lebih dari 1000 km terasa begitu memisahkan. Padahal di hari-hari sebelumnya tidak begitu terasa. Apa sebab? Jawabnya karena tiba-tiba harga tiket pesawat naik setinggi mingkin hngga terasa mencekik leher.
Akibatnya, untuk mengatasi hal itu, warga asal Aceh atau mereka yang biasa bolak balik ke sana kini mulai berhitung diri. Mereka yang hendak terbang lewat Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Aceh Besar menuju Jakarta, kini seolah harus punya wajib memiliki paspor untuk menyiasati harga tiket pesawat terbang yang kini tiba-tiba melambung tinggi.
Mengapa paspor harus mereka punya? Pasalnya untuk ke Jakarta mereka harus berputar dan transit lewat Kula Lumpur. Tujuannya hanya satu menghemat biaya karea ogkos penerbangan Kula Lumpur-Jakarta hanya sepertiga bila terbangsung langsung dari Aceh ke Jakarta. Maka pilihan transit di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), Malaysia, adalah yang terbaik dari pada kantong jebol.
Maka situai ini berakibat dalam tiga hari terakhir ini, Kantor Imigrasi Banda Aceh lebih ramai dari biasa. Suasana terlihat padat dan berjubel. Mereka datang memohon paspor bukan untuk menunaikan ibadah umroh atau haji seperti kebanyakan keperluan orang Aceh mengurus paspor, melainkan hanya untuk berangkat ke Ibukota Negara atau kota lain di luar Pulau Sumatra. Berbekal paspor jelas adalah kini menjadi cara unik baru untuk mengunjung sanak saudara, berwisata, bisnis, atau berbagai keperluan lainnya meski masih dalam satu negara.
Tak hanya itu, syahdan sejak maskapai penerbangan di republik ini memasang tarif harga tertingginya, hampir semua warga di Aceh lebih memilih maskapai Air Asia untuk mengangkutnya. Sebagai contoh, pesawat low cost carrier (LCC) Lion Air kini mematok harga sekali jalan Banda Aceh - Jakarta atau sebaliknya dikisaran Rp. 1.900.000. Sedangkan Citilink pada rute yang sama memasang harga Rp. 2.2000.000, sedang Batik Air di jalur tersebut membanderol diangka Rp. 2.600.000. Maskapai plat merah Garuda Indonesia merilis tarif Banda Aceh - Jakarta atau sebaliknya di angka 3.100.000.
Situasi ini membuat pengguna jasa udara dari kalangan warga Aceh dalam strata ekonomi yang biasa saja terpaksa menyiasati, mereka memilih Air Asia dengan ongkos hanya Rp. 800.000 untuk rute Banda Aceh - Jakarta. Ini tentu harga yang fantastis. Hanya saja syaratnya, pesawat ini tidak transit di Kuala Namu, Sumatra Utara, melainkan dari Banda Aceh langsung ke Kuala Lumpur. Dan sesudah transit di Ibukota Negara Malaysia baru terbang ke Ibukota Negara kita di Jakarta.
Jadi setiap kali akan ke Jakarta, warga Aceh memilih penerbangan di rute internasional wajib memiliki paspor sebagai identitasnya karena harus singgar di negeri jiran. Meski rute tersebut hanya tujuan transit semata.
Nah, begitulah nasib terkini yang dialami orang-orang dari Aceh , mereka lebih memilih transit di Sepang KL karena bajet murah sambil berselfie-selfie dan memasang status di sosial medianya ketika sedang berada di KL. Dan ini jelas makin asyik karena mereka dapat sekalian berwisata ke Kuala Lumpur sebelum melanjutkan terbang ke Jakarta. Berbiaya murah sekaligus bisa ke Malaysia.
Harap semua tahu, untuk tukar pesawat dari Kuala Lumpur ke Jakarta selama ini tak bisa langsung. Minal perlu butuh waktu tiga jam hanya sekedar untuk ganti pesawat yang menuju Jakarta. Ini makin menarik, karena banyak sekali orang Aceh tinggal di Malaysia dan sudah menjadi warga negara di sana. Keturunan Aceh banyak sekali di negeri Jiran. Salah satu contohnya ya aktor legendaris Malaysia, P (Puteh) Ramli.
Jadi KLIA sembari menunggu pertukaran pesawat ke Jakartam orang Aceh bisa menjenguk keluarga, atau berwisata. Lumayan juga karena berkenyang-kenyang menikmati teh tarik, nasi lemak atau nasi kandar yang banyak dijajakan di bandara tersebut. Apalagi, semahal-mahal makanan yang saya sebutkan itu tak akan menguras Rp. 200.000 isi dompet Anda.
Di sinilah saya melihat ‘anugerah melinjaknya harga tiket pesawat terbang domsestik yang mendadak tinggi. ini. Ternayat ada "cara" baru bagi orang-orang dari Aceh untu menikmati tamasyanya dan memanjangkan silaturahim dengan kerabat dan sanak suadara serumpun Melayu yang berserakan di Asia Tenggara ini.
Apalagi, selama ini Jakarta memang sudah bukan terlanjur sebagai pilihan utama warga Aceh. Sudah lama memang orang-orang Aceh memilih Negara Malaysia sebagai kebutuhan untuk berobat, kebutuhan liburan dan kebutuhan untuk menempuh pendidikan.
Bagi saya prubadi, warga Aceh yang tinggal di Jakarta, pergi ke Aceh akan menjadi hal yang semakin jarang. Kalau sekedar berwisata, mending saya pergi ke Jepang, Bangkok, Kuala Lumpurm atau Sydney yang ongkos pesawatnya sebanding atau lebih murah bila menggunakan maskapai tertentu. Saya tak lagi pergi ke Bali atau Lombok, kami pilih liburan ke Bangkok atau Vietnam karena ongkos penerbangannya murah.
Meski begitu, dari sisi lain saya melihat akibat ongkos penerbangan yang melangit ini, makin membuat "jarak" antara Aceh dan Jakarta makin jauh. Aceh terkesan tidak perlu dihitung atau dibarkan terasing. Seolah ada yang berkata: Biarkanlah Aceh menyendiri di sudut barat Indonesia. Hiruk pikuk Jakarta menjadi barang mahal bagi orang Jakarta.
Kalau begini akhirnya, entah ini salah siapa dan akan ada peristiwa apa lagi ke depan? Yang pasti suara da lagu legendaris penyanyi Malaysia ’Sheila Madjid’ bagi orang Aceh terasa sangat nyaring dan penuh ilusi: Antara Anyer dan Jakarta. Untuk mewujudkan impian lagu ini bagi orang Aceh butuh perenungan bermalam-malam, atau tidak hanya menjadi kisah yang terpikirkan di batin selama tiga malam saja.
Jadi bagaimana kalau kita ganti syair lagu itu menjadi: Antara Aceh dan Jakarta dan berkisah soal kisah cinta yang semakin mahal? Atau memang 'orang Jakarta' lagi keranjingan lagu P Ramlee yang hits: Madu tiga?