REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudi Iskandar, Ketua Pusat Kajian Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta/Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung
Salah satu aktivitas politik yang senantiasa menggeliat menjelang kontestasi politik adalah survei, khususnya berkaitan dengan popularitas dan elektabilitas kandidat. Kegiatan ini untuk menghasilkan deskripsi kandidat yang akan bertarung.
Berbasis data survei itulah, tim pemenangan kemudian menyusun strategi, mengevaluasi pencapaian, dan membuat alternasi langkah selanjutnya. Secara saintifik, survei dilakukan untuk memprediksi perolehan suara kandidat yang bersaing. Namun, tujuan itu kemudian bergeser ke arah pembentukan opini publik bahwa kandidat tertentu dipastikan memenangkan pemilihan.
Hadirnya vested interest atau masuknya kapital ke pelaksana survei adalah beberapa faktor yang menjadikan survei berbelok dari misi dan tujuan mulianya. Survei kemudian dijadikan alat pemukul lawan, penumpas harapan, dan pemulus agenda politik tersembunyi.
Inilah survei yang menjadi berbahaya. Bukan hanya bagi kelangsungan demokrasi melainkan juga kelanjutan atau keajekan keilmuan. Dalam konteks Pemilihan Presiden 2019 ada tiga lembaga yang sudah melansir hasil survei.
Pertama, survei yang dilakukan Indikator Indonesia (Periode 16-26 Desember 2018) menghasilkan Jokowi-Ma'ruf Amin 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga 34,8 persen. Kedua, survei LSI Denny JA (Periode 5-12 Desember 2018) mengungkapkan, Jokowi-Ma'ruf Amin berada di kisaran 54,2 persen dan Prabowo-Sandiaga angkanya mencapai 30,6 persen. Sisanya 15,2 persen rahasia/tidak menjawab.
Ketiga, survei Median (Periode 4-16 November 2018) menunjukkan, Joko Widodo-Ma'ruf Amin 47,7 persen dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 35,5 persen. Sebanyak 16,8 persen belum memutuskan.
Keruntuhan teori
Perkembangan teknologi komunikasi kontemporer menandaskan satu hal, lalu lintas komunikasi dan informasi melebihi puncak; melampaui kapasitas dan melewati kenormalannya. Isu, wacana, fakta, peristiwa datang silih berganti dalam kecepatan di luar kemampuan manusia menyerapnya. Realitas komunikasi dan informasi kini kian tumpang tindih, semakin berkelindan, saling silang tak beraturan.
Tidak ada komunikasi dan informasi yang ajek, berdiri sendiri, apalagi tuntas. Bahasa, baik verbal maupun nonverbal kehilangan fungsi vitalnya. Ia yang merupakan representasi manusia terdestruksi sehingga kehilangan makna asasinya. Kecuali ada kepentingan tertentu, mewadahi masa kini saja manusia tak mampu. Overload. Manusia, kini, berada dalam 'ekstasi komunikasi'.
Kelimpahruahan informasi dan komunikasi inilah yang menyebabkan kita harus meninjau ulang teori konstruksi realitas sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann (1979).
Menurut keduanya, individu dalam masyarakat sebagai pihak yang membangun masyarakat, pengalaman individu tidak bisa dipisahkan dengan gerak dan dinamika masyarakatnya. Dalam teori ini ada tiga konsep penting Berger dan Luckmann, yaitu internalisasi, objektivikasi, dan eksternalisasi.
Teori konstruksi realitas sosial itu tercipta puluhan tahun silam ketika semuanya masih sederhana. Perkembangan teknologi, khususnya, internet belum masif seperti saat ini. Padahal, internetlah yang mengubah secara drastis dan dramatis perkembangan kehidupan manusia. Pun, dalam penciptaan realitas.
Akibatnya kini realitas (sosial, ekonomi, politik, budaya) semakin kompleks, plural, dan majemuk. Tidak ada lagi realitas tunggal, universal, dan objektif. Dinamika manusia dan kemanusiaan pun kian sulit ditebak; unpredictable bahkan cenderung liar.
Manusia terjebak dalam paradoks dan kontradiksi dalam realitas yang dibuat dan melingkupinya. Ilmu pengetahuan atau sains dalam pengertian positivistik ditolak. Begitu juga, pendekatan konstruktivis yang tuna kepentingan.
Semuanya menjadi serbamungkin; penuh kecurigaan. Tidak ada ukuran baku dan final tentang realitas, di satu sisi, dan penciptaan serta pengembangbiakan realitas yang terus-menerus, pada pihak yang berlawanan.
Definisi tentang sesuatu pun kabur; semua serbablur; tidak ada kejelasan tentang apa itu realitas. Semua ini terjadi dan berlalu dalam hitungan sepersekian detik; sangat cepat bahkan sangat cepat: realitas datang datang silih berganti.
Manusia tidak kuasa lagi menangkapnya. Jangankan realitas utuh, potongan-potongan kecil saja teramat susah. Dalam konteks ini dan realitas kekinian, hasil, proses, dan kebenaran survei politik diragukan, dipertanyakan, dan diperdebatkan.
Paradigma positivistik yang bertitik tolak sebab akibat harus ditolak. Pun, paradigma konstruktivisme yang mengabaikan kepentingan tertentu mesti dipertanyakan. Artinya, paradigma kritis yang kini berlaku. Survei dalam pandangan paradigma kritis selalu menyimpan beragam kepentingan, baik kepentingan kekuasaan, ideologi, kapital, maupun sebagainya.
Bagaimana mungkin manusia yang makhluk amat kompleks, dinamis, dan senantiasa berubah bisa diprediksi? Manusia berubah dalam hitungan sepersekian detik, bukan hitungan tahun, bulan, hari, jam, atau menit.
Realitas politik kemenangan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta adalah bukti sahih bahwa realitas hasil survei politik sangat berbeda dengan realitas politik yang sebenarnya.
Survei adalah konstruksi realitas politik, bukan realitas politik yang sebenarnya. Oleh sebab itu, semua survei politik harus diragukan, wajib diperdebatkan, dan fardhu’ain hukumnya dipertanyakan. Kalau perlu ditolak! Wallahu’alam bishowab.