Sabtu 19 Jan 2019 04:07 WIB

Kebaikan yang mengundang tanya: Hukum ada Dimana?

Ustadz Abu Bakar Baasyir tak pernah mau mengajukan grasi atau mengaku bersalah.

Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

Oleh: DR Maiyasyak Johan*

Kabar tentang Ustadz Abu Bakar Ba'asyir akan dilepaskan oleh Pemerintah menyebar dengan cepat. Berita itu, jika benar, tentu menggembirakan. Namun, secara substansial empiris dan juridis apakah harus disyukuri atau tidak - ini yang menjadi menjadi pertanyaan kita dan sebahagian besar umat Islam.

Mengapa? Karena hingga hari ini, posisi hukum Ustadz Abu Bakar bisa dilihat dari dua sisi. Secara substansial dan juridis beliau merasa yakin tidak memiliki kesalahan - dengan kata lain ia merasa dianiaya. Sebaliknya, secara formal, aparat dan pemerintah merasa mereka menjalankan "Putusan Pengadilan" yang menghukum beliau 15 tahun penjara dan karena itu merasa berhak untuk terus melanjutkan penahanannya dengan perubahan status dari semula adalah seorang tahanan kini menjadi nara pidana kasus yg dituduhkan padanya.

Agar kita bisa menentukan apakah harus bersyukur serta berterima kasih sehubungan dengan berita tersebut, maka kita harus melihat "Pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir" dari dua perspektif yang disebutkan di atas - sebab Indonesia adalah sebuah negara hukum, dan dalam negara hukum, penahanan dan pengeluaran seseorang termasuk Ustadz Abu Bakar Baasyir harus diletakkan dalam perspektif hukum - karena jika tidak, maka selain itu bagaikan mengulang kisah lama, yaitu kisah Penahanan (alm) Prof. Dr. Hamka dan lain-lain dimasa Orla, yang telah mengundang tanda tanya : Hukum ada Dimana?

Apabila kita melihat masalahnya dari perspektif ustadz Abu Bakar Baasyir yang meyakini bahwa dirinya tidak bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan, maka Pembebasan itu menjadi berarti dan memiliki nilai kemanusiaan yang sempurna serta sesuai dengan ketentuan konstitusi jika disertai dengan Permintaan maaf Pemerintah.

Ini mungkin dianggap mustahil alias muskil, sebab Pemerintah akan berlindung pada Putusan Pengadilan. Namun Pemerintah juga harus menjawab, jika demikian apa alasan "Pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir?". Sebab, Ustadz Abu Bakar Baasyir tak pernah mau mengajukan "grasi" - dan bersikukuh, ia lebih baik ditahan ketimbang memohon ampunan lewat grasi yang artinya secara implisit mengaku bersalah. Selain itu, untuk grasi juga memerlukan pertimbangan dari MA dan DPR, begitu mekanismenya. tak bisa ujug-ujug.

Jika demikian, apa alasan dan dasar hukum yang akan digunakan Pemerintah untuk pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir? Jika dipergunakan term pembebasan bersyarat, maka itu seharusnya sudah dilakukan Desember 2019 kemarin, bukan Januari 2019.

Jika Pembebasan itu tidak berdiri di atas suatu landasan hukum yang jelas, selain kekuasaan Pemerintah semata, maka artinya kita mengulang kisah lama - menahan dan membebaskan seseorang dalam kaitannya dengan islamphobia secara semena-mena saja. Sehingga akibatnya Pemerintah akan kesulitan membantah tudingan bahwa pembebasan ini berkaitan dengan kepentingan politik untuk mengundang simpati umat Islam pada tahun politik ini?.

Jakarta

18 Januari 2019

*DR Maiyasyak Johan. Advokad, Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2004 - 2009dan Komisi XI serta Komisi I periode 2009 - 2014.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement