REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsul Arifin, Ketua Majelis Kerja Sama PWM Jawa Timur/Guru Besar dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang
Apresiasi patut diberikan kepada Muahammadiyah yang menggelar permusyawaratan tertinggi setelah muktamar pada 15-17 Februari 2019. Pemberian apresiasi karena pilihan nama permusyawaratan menggugah spirit dan inspirasi, yaitu tanwir.
Berasal dari bahasa Arab, nawwara, yunawwiru, tanwiran, tanwir setara dengan arti enlightenment, yaitu pencerahan. Sidang tanwir di Bengkulu, memiliki makna strategis jika mempertimbangkan konteks sosial di Indonesia belakangan ini dan memiliki makna historis karena di Bengkulu, Sukarno, presiden pertama Indonesia, bertaut dengan Muhammadiyah.
Di Bengkulu, setelah mengalami pengasingan di Ende mulai 1934 hingga 1939, Sukarno seperti menemukan ranah praksis paham dan semangat keberagamaannya. Di Ende, Sukarno bahkan berkorespondensi dengan pimpinan Persatuan Islam Bandung, A Hassan sebagaimana bisa dibaca pada halaman 365-389 dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, jilid pertama.
Di sisi lain, tidak sedikit yang meragukan kemelekatan Sukarno dengan Islam. Namun, sejak di Surabaya saat tinggal di kediaman HOS Tjokroaminoto, Sukarno sebenarnya memiliki literasi kuat tentang Islam.
Bisa jadi keraguan itu disebabkan dua hal. Pertama karena genealogi keluarga Sukarno dari pihak ayah yang merupakan penganut theosofi Jawa, sementara dari jalur ibu penganut Hindu Bali (Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, 1985)
Kedua, sebagaimana diungkap M Ridwan Lubis dalam Soekarno dan Modernisme Islam (2010), bagi Sukarno alih-alih Islam, justru nasionalisme yang dijadikan bingkai dalam melembagakan pemikiran dan ideologinya dalam partai politik.
Namun, tidak sedikit pula yang menemukan pertautan Sukarno dengan Islam sehingga Sukarno, dikatakan dengan tegas oleh Dawam Rahardjo sebagai pemikir Islam.
Di Bengkulu, pertautan Sukarno dengan Islam kian rapat. Seperti penuturan Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2011), Sukarno ditemui tokoh Muhammadiyah setempat Hassan Din, ayah Fatmawati.
Sukarno diminta menjadi guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Rupanya, Hassan Din mengajak Sukarno karena mengetahui rekam jejak Sukarno sejak di Ende yang berkorespondensi dengan A Hassan.
Bagi Hassan Din, korespondensi itu menunjukkan ada kesepahaman antara paham keagamaan Sukarno dan A Hassan yang disebut di beberapa laporan penelitian, misalnya dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942 yang ditulis Deliar Noer, sebagai tokoh Islam modern sebagaimana Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Itu artinya, Sukarno memiliki pandangan modernis sebagaimana Muhammadiyah. Di Bengkulu, pemikiran modernis Sukarno, antara lain, terlihat pada kritiknya terhadap tradisi penggunaan tabir sebagai pemisah jamaah laki-laki dan perempuan dalam upacara keagamaan.
Di Bengkulu, Sukarno tidak hanya menaruh harapan pada Muhammadiyah, tetapi juga semakin tertantang mewujudkan harapannya itu karena kemudian menjadi anggota resmi dan pengurus Muhammadiyah.
Selepas pengasingan di Bengkulu lalu menjadi presiden, Sukarno merawat identitas kemuhammadiyahannya. Bisa dikatakan, Sukarno dengan Muhammadiyah dipertemukan dengan visi keislaman yang sama, yaitu Islam berkemajuan.
Dalam tulisan Sukarno bertajuk Islam Sontoloyo yang dimuat Panji Islam pada 1940, ia mengkritik paham dan praktik keberagamaan yang terbelenggu fikih yang mengutamakan tampilan lahiriah, mementingkan kulit, melupakan substansi isi atau jiwa.
Spirit dan kritik Soekarno terhadap kondisi keberagamaan umat Islam pada saat itu, masih memiliki relevansi dengan realitas kekinian di Tanah Air, terutama menjelang perhelatan politik akbar pada 17 April 2019.
Tema yang diusung pada tanwir di Bengkulu, “Beragama yang Mencerahkan”, didasari pada hasil pembacaan terhadap kondisi keberagamaan yang terseret sedemikian jauh dalam hiruk-pikuk politik elektoral.
Politik elektoral di berbagai tempat, terbukti menciptakan keterbelahan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, agama seharusnya dihadirkan untuk memberikan pencerahan (tanwir) kepada publik. Terutama pada dimensi etika perilaku politik sehingga baik perilaku politik elite maupun massa lebih mengutamakan keadaban. Misalnya, menjauhkan buruk sangka dan memberikan citra negatif kepada pasangan calon tertentu dengan pertimbangan keagamaan.
Sebagaimana kritik Sukarno terhadap orientasi keberagamaan yang lebih mementingkan bentuk luar, penilaian berikutnya adalah pencitraan kepada pasangan tertentu karena didasarkan tampilan lahiriahnya bukan pada substansinya.