REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pizaro Gozali*
Kasus kekerasan terhadap etnis Uighur menjadi perbincangan dunia internasional akhir-akhir ini. Respons internasional ini tak lepas dari tindakan represif Cina terhadap etnis Uighur di kamp tahanan massal di Xinjiang.
PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017. Lembaga HAM internasional seperti Amnesty International menegaskan pemerintah Cina dalam setahun terakhir meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan, indoktrinasi politik, asimilasi paksa terhadap etnis Uighur, Kazakhs dan kelompok etnis lainnya.
Amnesty mewawancarai lebih dari 100 orang di luar Cina yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di Xinjiang, dan orang-orang yang disiksa di kamp-kamp penahanan di Cina. Kasus-kasus ini hanyalah menggenapi penderitaan etnis Uighur yang telah sejak lama mengalami target kekerasan Cina.
Gladney menyampaikan upaya intervensi dan integrase besar-besaran Cina kepada Xinjiang meningkat secara dramatis sejak akhir 1990-an. Tak pelak kondisi telah memicu kemarahan masyarakat internasional, khususnya umat Islam. Dalam beberapa pekan terakhir, para aktivis HAM di Swedia, Australia, Belanda, Inggris, Amerika Serikat menggelar demonstrasi.
Posisi Indonesia
Yang menarik adalah bagaimana kita membaca posisi Indonesia dalam persoalan Uighur. Sebab per 1 Januari 2019, Indonesia resmi menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Presiden Joko Widodo menjelaskan empat prioritas Indonesia saat memegang posisi anggota tidak tetap DK PBB. Prioritas pertama adalah memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas dunia dengan memperkuat budaya penyelesaian konflik secara damai.
Selain itu, Jokowi juga berjanji berupaya menyinergikan langkah-langkah tercapainya perdamaian dengan pencapaian agenda pembangunan 2030. Visi misi Indonesia dalam menjabat anggota DK PBB perlu diapresiasi. Sudah seharusnya Indonesia terlibat dalam upaya perdamaian dan advokasi kemanusian global sebagaimana ditunjukkan Presiden Sukarno.
Problematikanya adalah bagaimana mewujudkan ide-ide ini dan sejauh mana keseriusan Indonesia menjalankannya dalam konteks diplomasi global? Perlu dicatat, salah satu agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 pada tujuan 16 adalah terciptanya keadilan, perdamaian dan kelembagaan yang tangguh dengan mendorong masyarakat yang adil dan damai.
Tujuan 16 ini sangat jauh dari ideal jika melihat kondisi di Xinjiang. Mereka kesulitan menjalankan kebebasan beragamanya. Upaya protes dari masyarakat Uighur pun direspons oleh kekerasan oleh pemerintah Cina.
Anak muslim Uighur
Menurut Amnesty, kebebasan beragama menjadi kekhawatiran serius masyarakat internasional di Xinjiang. Amnesty mencatat menumbuhkan jenggot, menggunakan hijab, melaksanakan ibadah, berpuasa, atau memiliki buku Islam ataupun budaya Uighur dapat bisa dianggap sebagai ekstremisme oleh pemerintah Cina.
Dalam kasus Uighur, Indonesia sendiri belum menunjukkan sikap yang jelas. Indonesia masih sangat hati-hati mengomentari persoalan Uighur.
Visi Indonesia dalam keanggotaan tidak tetap PBB nampaknya masih jauh dari ideal jika kita menengok apa yang sudah dilakukan Indonesia. Meskipun menolak bentuk pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Indonesia tidak bisa ikut campur dalam persoalan etnis Uighur di Cina.
Padahal sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa memainkan peran lebih banyak dalam isu pelanggaran HAM di Xinjiang. Kasus di Xinjiang adalah persoalan HAM yang seharusnya menembus batas-batas hubungan diplomatik karena ini menyangkut jiwa manusia.
Hal inilah yang digarisbawahi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Prancis. Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia secara internasional haruslah dilindungi.
Pendekatan multilateral
Penulis menyadari upaya bilateral Indonesia sangat sulit dilakukan kepada Cina. Posisi Indonesia yang bergantung kepada ekonomi Cina menjadi barrier yang membuat Indonesia kesulitan untuk berbicara kepada Cina.
Berdasarkan data ANP-INSIGHT, Cina juga menempati posisi global player pada level diplomacy in global perspective. Cina juga memiliki internal security dan external security seimbang yang mencapai poin 1. Policy vitality Cina juga mencapai 0.89. Sedangkan Indonesia hanya menempati posisi internal player yang lebih menekankan kepada kebijakan inward looking dengan policy vitality 0.33.
Kondisi ini membuat Indonesia tidak memiliki daya tawar diplomasi yang kuat atas Cina, jika ingin menyelesaikan masalah secara bilateral. Namun pendekatan bilateral bukan satu-satunya jalan menyelesaikan konflik Uighur.
Muslim Uighur
Jika memiliki tekad serius, Indonesia bisa bergerak secara multilateral dengan melibatkan negara-negara lainnya dalam membahas problematika HAM di Uighur. Baik melalui forum PBB, ASEAN, dan OKI.
Indonesia, sebagai kakak tua di ASEAN, dapat menggunakan ASEAN untuk memperjuangkan Uighur. Meskipun, ASEAN hanya wadah kecil yang mustahil dapat efektif 100 persen.
Sekurang-kurangnya, pergerakan Indonesia dengan menggunakan ASEAN sebagai kendaraannya, menjadi legitimasi peran Indonesia dalam ASEAN itu sendiri. Indonesia juga dapat mendorong Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk dapat menekan Cina.
Upaya ini memang dalam waktu dekat tidak segera membuahkan hasil karena banyak negara Muslim terlibat proyek One Belt One Road (OBOR). Namun ke depan Cina akan berhitung jika tekanan itu berasal dari segala kawasan.
Menteri Retno L Marsudi telah menyatakan Indonesia akan memanfaatkan posisinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk berdialog dengan anggota DK PBB –di mana China menjadi anggota tetapnya- tentang sejumlah persoalan kemanusiaan. Kasus Uyghur adalah momentum yang tepat untuk membuktikannya.
*) Penulis adalah mahasiswa Magister Diplomacy and International Policies di Paramadina Graduate School of Diplomacy. Jurnalis pada kantor berita Turki.
Referensi:
Amnesty International, China: “Where Are They?” Time for Answers About Mass Detentions in The Xinjiang Uighur Autonomous Region, September 2018.
Dru C. Gladney, The Chinnese Program of Development and Control 1978-2001 dalam S. Frederick Starr Xinjiang: China's Muslim Borderland: China's Muslim Borderland, (New York: Routledge, 2015)
CNN Indonesia, JK Tolak Penindasan terhadap Muslim Uighur di China, 17 Desember 2018.