REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronny P Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Di hadapan delegasi negara-negara Asia Afrika tahun 1955, Sukarno berkata, "Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation”.
Memang, pada tataran kekinian, wajah kolonial tentu ikut menyesuaikan diri. Mereka berubah menjadi lebih modern dan shopisticated, sebagaimana yang pernah diperingatkan Bung Karno ketika itu.
Selain era penguasaan SDA dan dominasi jalur distribusi penawaran dan permintaan, era pengontrolan yang mirip penjajahan secara halus via pinjaman atau iming-iming modal juga bukan hal baru. Korbannya sudah banyak, termasuk yang mutakhir Yunani, Venezuela, dan Italia, misalnya. Fakta tersebut layak dijadikan bahan renungan mendalam untuk semua pihak di Indonesia, berutang pun harus menggunakan 'moral' dan 'nasionalisme'.
Tentu jika kita tak mau digiring ke dalam kepentingan pemberi utang dan dibuat tak nyaman secara ekonomi saat mencoba mengambil jalan berbeda. Apalagi jika parameter 'kebaikan ekonomi' yang dipakai milik Bank Dunia atau lembaga keuangan internasional lain.
Penulis teringat pemenang nobel bidang ekonomi, Angus Deaton, yang mengkritik tajam Bank Dunia. Saat ekonomi global semakin terintegrasi, negara berkembang dalam perumusan kebijakan ekonomi makro yang memadai dan tepat akhirnya sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global.
Padahal, ekonomi global sangat dipengaruhi perkembangan dan kebijakan negara maju, seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Cina. Terkait peran Bank Dunia dalam mempromosikan suatu kebijakan yang sehat untuk negara yang menjadi kliennya, tulis Deaton, rasa-rasanya Bank Dunia semakin kurang kredibel, yang ditunjukkan oleh beberapa 'dosa pengabaian utama' yang telah dilakukannya.
Salah satu dosa besar itu terkait peran Bank Dunia dalam krisis utang di Amerika Latin pada awal 1980-an. Sebagaimana ditunjukkan fakta sejarah bahwa Bank Dunia telah membatasi riset mengenai implikasi pinjaman yang berlebihan selama krisis di kawasan tersebut.
Di samping itu, Bank Dunia hampir tidak melakukan langkah berarti untuk meringankan utang atau bahkan menghapus utang negara-negara tersebut, walaupun sebenarnya krisis dipicu peningkatan pinjaman yang ceroboh oleh para bankir internasional.
Bahkan, melalui program restrukturisasi pinjaman, Bank Dunia bersama Dana Moneter Internasional (IMF), malah menjadi debt collector bagi para kreditur. Akibatnya, tragedi tersebut menjadi sangat dekonstruktif bagi perkembangan ekonomi Amerika Latin.
Yang terjadi kemudian, berkembang dan tumbuhnya moral hazard yang memicu pinjaman berlebihan ke negara berkembang lainnya, yang akhirnya memantik krisis lagi di negara berkembang di belahan dunia lain seperti di Asia pada akhir 1990-an.
Dosa besar lainnya, selama era 1980 dan 1990, Bank Dunia menjadi inisiator sekaligus pengawas program penyesuaian ekonomi secara struktural di negara berkembang yang memfokuskan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi, khususnya perdagangan bebas.
Semua itu diproyeksikan berujung pada lahirnya globalisasi. Globalisasi yang dipaksakan untuk semua negara dikenal dengan sebutan mentereng the Washington Consensus, yakni menekankan liberalisasi perdagangan dan liberalisasi arus dana.
Dampaknya, negara-negara miskin dan setengah miskin yang mampu beradaptasi memang semakin berkembang sehingga perekonomiannya tumbuh pesat yang berkonvergensi dengan negara-negara maju.
Namun saat ini, melalui Presiden Donald Trump, AS menolak perdagangan bebas dengan pengenaan tarif unilateral dan skema pembatasan impor kepada mitra dagangnya, serta renegosiasi pakta perdagangan lainnya yang mengarah pada deglobalisasi.