Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Menginjakkan kaki di kota Bukhara membuat saya tak henti-hentinya tercengang. Pada masa kejayaannya, Bukhara adalah negeri yang paling modern di tengah padang Turkestan. Ibarat magnet yang menarik apa saja yang ada di sekitarnya.
Bukhara, di abad ke-15, tak ubahnya Silicon Valley saat ini. Tak heran kalau julukan Buxoro I-Syarif, kota suci Bukhara disematkan padanya.
Sebelum melakukan perjalanan ini, saya sudah membayangkan seperti apa tempat-tempat yang akan dikunjungi. Tapi sungguh, yang saya saksikan beyond imagination. Keindahan kota ini, subhanallah... Pantaslah kalau namanya masih disebut dari generasi ke generasi.
Di Maroko, saya melihat beberapa bangunan indah peninggalan daulah Islam. Di Andalusia, saya takjub dengan rumitnya dekorasi dan presisinya arsitektur Istana Alhambra.
Tapi, semua itu hanya berupa satu-dua bangunan saja. Sementara di Bukhara, bangunan-bangunan bermozaik indah dalam ukuran masif bertebaran di seluruh sudut kota.
Masjid, madrasah, pasar, semuanya. Ini adalah visualisasi negeri 1001 malam dalam bentuk nyata! Pantaslah kalau UNESCO menetapkan situs bersejarah di kota tua Bukhara sebagai World Heritage Site.
Masih bisa dimengerti kalau bangunan tersebut difungsikan sebagai masjid. Hampir setiap daulah Islam berusaha meninggalkan jejak sejarahnya dalam bentuk masjid yang luar biasa, baik dalam skala luas maupun kemegahannya.
Tapi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana sekian abad silam ada madrasah yang dibangun semegah ini. Untuk ukuran sekarang pun rasanya tak akan ada sekolah atau universitas yang dibangun se-mencengangkan ini.
Tempat pertama yang kita kunjungi adalah Madrasah Mir-e-Arab. Saking takjubnya, dada saya sampai terasa sesak. Saya tak lagi bisa berkata-kata. Tak terasa sudut mata menghangat.
"Saya pengin menangis saking takjubnya melihat bangunan ini," kata saya pada Sanjar, kandidat doctor bahasa Indonesia sekaligus local guide yang menemani selama di Uzbekistan.
Madrasah Mir el Arab
Bangunan yang didirikan pada 1535 oleh Sultan Ubaidillah Khan, sampai sekarang masih difungsikan sebagai madrasah. Makam Sang Sultan dan penasihatnya yang berjuluk Mir-e-Arab atau Tuan dari Arab berada di dalam madrasah.
Tepat di depan Madrasah Mir-e-Arab berdiri kokoh Masjid Kalyan atau sering juga disebut Masjid Kalon, yang berarti “besar” dalam bahasa Tajik.
Bentuknya serupa dengan Madrasah Mir-e-Arab. Keduanya bagaikan bayangan satu sama lain. Masjid yang saat ini masih berdiri tegak adalah bangunan “baru” yang dibangun pada abad ke-16. Masjid aslinya telah luluh lantak pada saat invasi bangsa Mongol.
Bangunan yang paling fenomenal di kompleks ini adalah Menara Kalyan yang hampir 1.000 tahun umurnya. Menara ini menjulang setinggi 47 meter, berhias detail indah yang dikerjakan tangan-tangan terampil di masa lampau.
Kekokohan dan keindahannya menyiratkan tingginya peradaban yang dimiliki negeri ini. Menara atau minaret ini merupakan salah satu bukti kehebatan para arsitek Bukhara.
Bukan hal mudah membuat bangunan setinggi itu: berdiri dengan tegak tanpa miring sedikit pun dan kokoh selama berabad-abad. Padahal, teknologi yang digunakan pada masa itu tentu masih sangat sederhana.
Menara Kalyan didirikan Daulah Karakhaniyah pada 1127. Pada masanya, menara ini merupakan bangunan tertinggi di dunia.
Sejarah mencatat, keindahan menara ini mampu meluluhkan hati Genghis Khan. Ketika seluruh Bukhara dibumihanguskan, ia menyisakan menara ini. Menahbiskan rasa hormat dan takzimnya.
Senja mulai temaram, karena langit di musim dingin lebih cepat gelap. Saya membayangkan selama berabad-abad di senja seperti ini ribuan tholabul ilmi hilir-mudik di depan madrasah.
Bersiap menuju masjid untuk jamaah salat Maghrib dan membawa kitab sambil berdiskusi di sepanjang plaza tempat saya berdiri sekarang ini.
Ah, Subhanallah
Follow me on IG @uttiek.herlambang
Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti