Oleh: Beggy Rizkiansyah, pemerhati sejarah
Kampanye LBGT di Indonesia yang merupakan sebuah negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia memang satu tantangan tersendiri . Di Indonesia, catatan sejarah seringkali dijadikan legitimasi untuk eksistensi mereka. Namun hal ini perlu dicermati kembali. Munculnya satu-dua kasus homoseksual di tanah air bukanlah pembenaran untuk eksistensi mereka. Yang lebih penting adalah melihat reaksi masyarakat terhadap perilaku keji ini.
Di tanah air, jejak homoseksual lebih banyak terekspos pada masa kolonial. Pada masa kolonial, praktek homoseksual telah tumbuh subur. Homoseksual bukanlah pelanggaran hukum di Hindia Belanda, kecuali jika melibatkan tindak pedofilia, yaitu kegiatan homoseksual dengan pemuda di bawah usia 21 tahun. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 292. (Marieke Blombergen: 2011)
Kenyataannya perbuatan tersebut banyak terjadi pada pria kulit putih dewasa dengan pemuda pribumi. Hal ini merupakan bagian dari relasi penjajah dan terjajah yang tak seimbang. Sosok kulit putih yang hegemonik menjadi sosok yang lebih dominan. Hingga kemudian terjadi ledakan skandal yang memalukan. Praktek homoseksual justru menghinggapi para pejabat kolonial dan seringkali menjerat para pemuda atau anak laki-kali bangsa pribumi dan menjadi skandal besar yang memalukan pemerintahan kolonial Belanda.
Seorang Residen Batavia, yang juga kepala polisi Batavia, Fievez de Malines, diduga berhubungan seks dengan anak-anak laki di bawah umur. (Marieke Blombergen: 2011) Asisten Residen Coolhas juga ditahan. Hal ini menimbulkan kegemparan di Hindia Belanda pada saat itu dan mencoreng wajah pemerintah kolonial yang melarang praktek homoseksual terhadap pemuda di bawah usia 21 tahun.
Di Hindia belanda praktek homoseksual memang sudah mewabah. Di pulau Bali misalnya, pada tahun 1930-1940-an dikenal sebagai surga kaum homoseksual. Bahkan menimbulkan praktek prostitusi kaum homoseksual yang melayani bangsa asing yang berlibur ke Bali. (Geofrey Corbet Green : 2002)
Di Jawa, tepatnya di Bandung. Seorang pelajar pribumi diperkosa oleh gurunya. Di Batavia, polisi disebutkan menangkapi anak-anak jalanan dan membariskan mereka di depan barisan laki-laki Eropa yang dicurigai; bila anak-anak remaja tersebut menunjuk salah satu laki-laki Eropa tersebut, itu dianggap mengindikasikan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan hubungan seksual dengan mereka, dan orang-orang Eropa tersebut kemudian ditahan. (Tom Boellstorff : 2005)
Di Medan, terdapat sebuah rumah dikenal sebagai tempat berkumpul dan berpestanya kaum homoseksual. Pemilik rumah tersebut memiliki pasangan, soerang pribumi bernama Oesman. (Marieke Blombergen: 2011)
Pada tahun 1938-1939, pemerintah melakukan pembersihan terhadap kaum homoseksual. Pembersihan ini dilakukan setelah pada November 1938 seorang pengidap homoseksual, W.G van Eyndthoven diketahui menerima tamu seorang pemuda di bawah umur, di kamar hotelnya. Dari dokumen Eyndthoven ditemukan berbagai surat-surat yang menyeret jaringan kaum homoseksual. (Marieke Blombergen: 2011)
Kala itu, pada pertengahan Desember, Jaksa Penuntut Umum, H. Marcella menyimpulkan perbuatan kriminal homoseksual perlu perhatian serius. Sebanyak 225 pria ditangkap di seluruh Hindia Belanda pada periode Desember 1938 hingga Mei 1939.
Tindakan pemerintah kolonial ini dianggap tidak cukup. Pada bulan Januari 1939, Moh. Husni Thamrin, tokoh politik asal Betawi, di dewan rakyat Volksraad, mempertanyakan kelambanan pemerintah kolonial mengatasi kejadian ini. Mengapa intervensi pemerintah kolonial baru terjadi di bulan Desember 1938, padahal telah ada skandal sejak pertengahan tahun 1938?
Moh. Thamrin juga mempertanyakan ada berapa aparat pemerintah kolonial, kepolisian, dan guru yang terlibat dalam skandal ini? Tindakan apa yang akan dilakukan terhadap pemuda yang terlibat dalam skandal ini? Akhirnya secara tajam, Moh. Husni Thamrin juga mempertanyakan apakah perilaku orang asing akan dipantau? (Bataviaaach Nieuwsblaad, 21 Januari 1939).
Praktek homoseksual nyatanya memang sudah menjadi kekhawatiran masyarakat pribumi di Hindia Belanda (Indonesia) sejak lama. Bukan saja protes Moh. Husni Thamrin yang menandakan hal tersebut, tetapi juga misalnya dari terbitnya buku Maisir Thaib, yang berjudul “Bahaja Homo-sexualiteit dan bagaimana membasminja” pada tahun 1939.
Hal ini menjadi menarik karena Maisir Thaib menyuarakan kekhawatirannya dari Sumatera Barat. Artinya fenomena nista homoseksual bukan hanya dominasi wacana di pusat kekuasaan kolonial di Batavia saja. Thaib dalam buku tersebut menyatakan bagaimana fenomena tersebut bisa menjangkiti masyarakat Minangkabau,
“Dengan teroes-terang kita njatakan—sebab dalam koepasan wetenschap [ilmiah] ta’ haroes semboenisemboenian—bahwa homo-sexualiteit ini tersiar loeas ditempat-tempat jang banjak berkoempoel djenis laki-laki sadja, atau perempoean sadja jang nafsoe berahinja soedah timboel, seperti disoerau-soerau, tangsi2 [barak], internaat2 [asrama], dan sebagainja.” (Jeffrey Hadler : 2010)
Ia pun melanjutkan, bahwa penting bagi orang tua untuk memperingatkan akan bahaya homoseksual.
“Kepada iboe bapa jang mengirimkan anak-anaknja kesoerau-soerau atau internaat2, dengan tidak diberi adjaran lebih dahoeloe, tentang bahajanja perboeatan mesoem ini, adalah seperti menjerahkan anaknja keliang singa.” (Jeffrey Hadler : 2010)
Kekhawatiran Maisir Thaib nampaknya beralasan. Mengingat praktek homoseksual bukan saja melanda masyarakat umum ‘orang barat.’ Bahkan masyarakat pribumi itu sendiri. Namun yang lebih mengerikan lagi, praktek homoseksual juga terjadi di institusi yang di bawah pengawasan pemerintah kolonial, yaitu penjara. Di dalam penjara, perbuatan keji ini terjadi sejak lama.