Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Pilaf atau pilav, adalah penamaan yang populer di Asia Tengah dan Turki. Di Afghanistan dan India Utara masakan ini disebut pulao atau pillaw, sedangkan di Timur Tengah dilafalkan sebagai plov.
Dalam cerita Mahabharata, makanan serupa pilaf ini pun muncul dengan nama pallo atau pulao yang berasal dari bahasa Sansekerta kuno.
“Menu makan siang kita hari ini istimewa… nasi goreng Uzbekistan, namanya nasi Pilaf,” seru Sanjar. Wah, tentu saja saya senang bukan kepalang.
Bukannya tidak menyukai masakan Uzbekistan yang kita nikmati selama seminggu ini. Tapi sebagai penyuka masakan pedas, masakan Uzbekistan terasa hambar karena tidak ada jejak rasa cabai yang menyengat.
Lebih senang lagi, Sanjar memenuhi permintaan saya untuk mengajak Linara, istrinya, makan siang dengan kita di hari terakhir ini.
Restoran Pilaf yang kita tuju adalah restoran terbesar di Tashkent. Mereka hanya menyediakan satu menu istimewa: Pilaf. itu saja.
Turun dari mobil, wangi daging dan aneka bumbu yang dimasak langsung menguar. Saya agak terkejut karena melihat di depan restoran ada lima tungku besar berdiameter sekitar 1 meter dengan wajan besar tertumpang di atasnya.
Wajan besar ini disebut kazan atau deghi. Rupanya dapur yang digunakan untuk memasak sengaja diletakkan di depan restoran, sehingga pelanggan bisa melihat bagaimana koki-koki yang berbadan besar itu memasak, sekaligus menjadi atraksi untuk para pelancong.
Setiap harinya, tak kurang mereka menyiapkan ribuan porsi nasi pilaf dan selalu ludes. Hari ini restoran lebih ramai, karena hari ini adalah hari Kamis alias hari pilaf.
Setiap Kamis masyarakat Uzbekistan bertradisi menghidangkan nasi pilaf untuk dimakan bersama keluarga.
Tidak semua orang punya waktu untuk memasak sendiri di rumah sehingga banyak yang membelinya di restoran semacam ini.
Nasi berwarna kekuningan terlihat masih panas mengepul. Daging sapi yang dipotong kecil terlihat menyembul di sana-sini, berpadu dengan kismis.
Saya sendok sedikit untuk mencicipi rasanya. Hhhmmm… gurih! Potongan dagingnya benar-benar empuk. Bagian yang ada uratnya pun lembut membuai lidah. Sebagai penyuka daging, saya langsung jatuh cinta dengan kelembutannya.
Tak terasa, setengah piring tandas. Saya mulai terengah-engah melanjutkannya. Saya sangat menyukai hidangan itu, tapi porsinya terlalu besar. Kalau di Indonesia bisa untuk tiga orang!
Sesendok nasi yang rasanya gurih, berpadu dengan kismis yang manis dan daging empuk juicy, seperti menari-nari di dalam mulut.
Hanya ada satu kata: luar biasa!
Follow me on IG @uttiek.herlambang |FB @uttiek_mpanjiastuti |www.uttiek.blogspot.com
[selengkapnya di buku: JOURNEY TO SAMARKAND]