Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Jurnalistik Fikom Unisba dan mantan Jurnalis Republika
Perdebatan antara dua kubu pendukung calon presiden (capres) yang pada 17 Februari 2019 lalu mengikuti debat capres kedua, belum juga berakhir. Saling serang dari materi debat tersebut masih terus berlanjut, terutama, di media sosial. Di luar ingar bingar tersebut, ada yang terlewat dari perhatian publik. Yaitu, berkumpulnya para jurnalis dari sejumlah media online untuk melakukan fact check atau cek fakta terkait pernyataan-pernyataan dan data yang diungkapkan para capres dalam debat tersebut.
Seperti diberitakan Tempo.co pada 19 Februari 2019 dalam berita berjudul Kawal Debat Capres, Begini Cek Fakta Media Bekerja, kegiatan tersebut diikuti oleh 17 media. Pemrakarsa kegiatan tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Google News Initiative, dan FirstDraft.
Kegiatan cek fakta ini juga melibatkan delapan ahli yang sesuai dengan tema debat capres malam itu, yaitu soal energi, pangan, infrastruktur, lingkungan, dan sumber daya alam. Mereka berasal dari lembaga swadaya masyarakat non-pemerintah seperti Yayasan Auriga Nusantara, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Center for Energy Research Asia, Yayasan Indonesia Cerah, dan Institute for Energy Economics & Financial Analysis.
Masih menurut Tempo.co, saat capres Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo mulai memaparkan visi-misinya, peserta kegiatan cek fakta segera mencatat poin-poin yang disampaikan, lalu melakukan verifikasi. Hasil verifikasi itu kemudian diberikan kepada delapan ahli. Selanjutnya, para ahli menilai keakuratan dari hasil verifikasi tersebut.
Hasilnya lantas dimasukkan dalam kertas kerja online yang bisa diakses seluruh peserta. Selanjutnya, pengecek fakta –-dalam hal ini para wartawan-- menulis berita atau artikel yang kemudian dipublikaskan di media mereka masing-masing. Kegiatan cek fakta ini merupakan angin segar bagi dunia jurnalistik di Indonesia. Pasalnya, sejak adanya dua kubu capres yang akan “bertarung” dalam pemilu 17 April 2019 mendatang, media seolah terbelah menjadi dua kubu juga.
Sebagian mendukung pasangan capres-cawapres nomor 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sebagian yang lain mendukung capres-cawapres nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Semua hal yang terkait publikasi kedua capres-cawapres tersebut menjadi bahan pemberitaan yang ramai di media massa, dan diviralkan oleh media sosial oleh para pendukungnya. Tak pelak, media massa dan media sosial di negeri ini pun hiruk-pikuk dengan aksi dukung-mendukung.
Di sisi lain, konglomerasi media yang terjadi Indonesia juga telah mengerucutkan kepemilikan media pada segelintir orang saja. Mau tidak mau, para pemilik media ini mempengaruhi kebijakan media yang dimilikinya. Sebagian pemilik media tersebut juga aktif di partai politik atau menjadi pendukung aktif capres-cawapres secara terbuka.
Akibatnya, media massa yang dimilikinya pun tak bisa netral dalam pemberitaan yang dilakukannya. Saling dukung dan saling klaim menjadi praktik di media massa Indonesia akhir-akhir ini. Objektivitas pemberitaan menjadi kabur.
Masyarakat pun menilai media massa seperti “pingsan” karena memberitakan hanya yang ingin mereka beritakan dan bukan memberitakan yang mereka nilai bermanfaat bagi masyarakat. Semakin hari, kecenderungan ini semakin meningkat seiring dengan asemakin dekatnya saat pemilihan.