Senin 25 Feb 2019 09:32 WIB

Dampak Sosial Pembagian Sertifikat Lahan

Kejelasan sertifikat tanah atas kepemilihan lahan menjadi sangat penting.

Red: Elba Damhuri
Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Dalam debat kedua pada pekan yang lalu, calon presiden Joko Widodo menampilkan dua cerita sukses dalam reformasi agraria, yakni pembagian hak pengusahaan lahan dalam bentuk konsesi kecil-kecil di hutan milik negara dan bagi-bagi sertifikat tanah di atas 7 juta bidang tanah milik rakyat. Sayangnya, calon presiden Prabowo Subianto memilih untuk mengkritisi kebijakan Jokowi yang pertama. Dan sebagai akibatnya, ia membuka peluang serangan balik terhadap dirinya.

Publik pun menjadi heran, kok bisa seseorang yang menguasai lahan seluas lima kali Jakarta tidak setuju dengan distribusi penguasaan aset yang lebih berkeadilan. Empati terhadap rakyat kecil seakan sirna seketika. Seakan Prabowo hanya setuju dengan pembagian lahan dalam skala besar seperti yang dia nikmati.

Publik pun ingar bingar dengan debat kepemilikan lahan Prabowo, keluarga Cendana, dan beberapa orang terdekat Jokowi. Pembagian 7 juta bidang sertifikat tanah hampir tidak mendapatkan perhatian. Padahal, kebijakan ini lebih nendang di mata rakyat biasa. Mengapa?

Pertama, program ini lebih masif dalam jumlah penerimanya. Jadi, isu ini jauh lebih populis. Rakyat yang memiliki ratusan atau ribuan meter persegi memperoleh kejelasan tentang hak kepemilikan tanah yang dia kuasai puluhan tahun.

Bukan karena tidak mau mengurus sertifikat, tetapi prosesnya tidak transparan, lama, dan mahal. Sebelumnya, mereka berada dalam situasi di mana mendapatkan sertifikat hanyalah sebuah impian kosong.

Kedua, kita sekarang menjadi yakin bahwa reformasi tata kelola birokrasi dapat dilakukan dengan cepat. Kementerian ATR/BPN seakan menjadi contoh terdepan. Padahal, dulunya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) lebih terkenal dengan pelayanan yang lamban, tidak transparan, dan mahal. Bahkan, birokratnya sering diisukan bekerja sama dengan mafia tanah.

Itu dulu. Sekarang, rakyat biasa secara sendiri-sendiri ataupun kolektif mulai berani datang mengurus sertifikat tanah. Ini adalah turn-around yang sangat signifikan.

Pertanyaannya adalah apakah reformasi tata kelola seperti yang terjadi di BPN akan dapat dipertahankan dan malah terus diperbaiki.

Tentu saja mengubah kultur birokrasi bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sekejap. Hanya waktu saja yang dapat menjawabnya. Semoga reformasi tata kelola ini akan permanen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement