Selasa 26 Feb 2019 05:29 WIB

Landreform, Bagi Tanah: Sedumuk Bathuk Senyari Bumi

Kepemilikan tanah adalah terkait dengan kehormatan seorang anak manusia.

Petani membajak sawah di persawahan.(Ilustrasi).
Foto: Yusran Uccang/Antara
Petani membajak sawah di persawahan.(Ilustrasi).

Oleh: Benny Ohorella, Penikmat Sejarah

Persoalan lahan memang pelik serta menjadi sumber masalah sosial dari dulu. Bahkan, sering memicu pertumpahan darah akibat konflik dan menimbulkan trauma yang panjang.

Namun, tak hanya di Indonesia, misalnya, di Filipina pun sama ribetnya. Serupa dengan di Indonesia, urusan tanah di negeri Presiden Duterte itu selalu beririsan dengan kekuasaan.

Semua tahu, misalnya, mendiang Presiden Filipina Corazon Aquino adalah anak tuan tanah. Di sana, bahkan seorang tuan tanah bisa punya pasukan bersenjata sendiri, sehingga tentara resmi negara itu pun kadang ketakutan. Istilahnya di sini, persis peran mereka mirip sepak terjang para ‘centeng’ seperti dalam kisah Jagoan Betawi Bang Pitung yang legendaris itu.

Lalu, bagaimana dengan kisah Indonesia? Dalam soal ini, ingatan orang akan berputar dan langsung kembali para Peristiwa Bandar Betsy sebagai salah satu contohnya.  Herannya, sampai hari ini pun masih tetap ada saja suara-suara yang membenarkan tindakan brutal oleh massa pada saat itu. Tak cukup hanya itu, suara tersebut pun menuduh bila tragedi Bandar Betsy dipicu oleh kesewenang-wenangan aparat.

Alasannya pun klasik. Mereka yang membenarkan ini rata-rata menuduh bahwa perkebunan telah menguasai tanah itu secara tidak sah, sehingga para petani berhak untuk menggunakan tanah itu tanpa izin.

Namun, lebih baik dilihat saja seperti apa kilas baliknya. Kala itu, yakni di pertengahan 1964, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsy, Kecamatan Bandar Huluan, di kabupaten Simalungun, Sumatra Utara (sekarang PTPN III) merencanakan perluasan. Pihak perkebunan lalu meminta tanah kosong milik perkebunan di sekitarnya yang sedang digarap penduduk untuk diserahkan dengan ganti rugi. Para penggarap rata-rata adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi kepada Partai Komuninis Indonesia.

Pada 28 Juli 1964, Sukardi, selaku Ketua BTI setempat memimpin penyerahan tanah di blok 325 seluas 20 hektare kepada PPN. Penyerahan ini diikuti oleh para penggarap di blok 326, 327, dan 329. Semua berjalan mulus.

Namun, pada Februari 1965, entah mengapa, rencana perluasan lahan terhenti. PKI, sebagai organisasi tempat BTI bernaung beralih sikap dengan menentang penyerahan lahan garapan. Alasannya, PPN menyalahi perjanjian, sehingga merugikan para penggarap.

Tentu saja, akibat persoalan ini, suasanya makin panas dan ini ditambah dengan berubahnya kepengurusan BTI Simalungun. Sukardi diganti oleh Asli dan Asli bertekad menjalankan kebijakan organisasi payungnya dengan sebaik mungkin.

Nah, dalam rapat yang diselenggarakan PKI dan dihadiri juga oleh unsur Pemuda Rakyat, Gerwani, Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan RI), dan Lekra, mengenai masalah lahan garapan ini disepakati untuk bukan saja menolak rencana perluasan, melainkan juga menanami secara paksa lahan-lahan PPN yang masih kosong.

Maka, pada 6 Mei 1965 penanaman paksa dilakukan oleh massa BTI. Perbuatan ini dilaporkan kepada Kepolisian. Pihak kepolisian pun turun-tangan berusaha menengahi, tapi massa BTI tidak mau mundur.

Akhirnya, PPN mengalah dan mempersilakan massa BTI untuk menanami lahan-lahan yang masih kosong, asalkan bukan di lahan-lahan yang sudah diserahkan kepada PPN (blok 325, 326, 327, dan 329) dan pekerjaan mentraktor lahan 325 tidak diganggu. Semua pihak sepakat dan kekacauan mereda.

Tanggal 11 Mei 1965, traktor yang sedang bekerja di lahan 325 terperosok, sehingga pekerjaan berhenti. Massa PKI/BTI kembali membuat ulah, mereka mencoba menanami lagi secara paksa lahan-lahan yang beberapa waktu lalu disepakati untuk tidak lagi ditanami karena akan dipakai oleh PPN.

Nah, karena sudah melanggar kesepakatan maka kepolisian pun bertindak keras, para pelaku tanam paksa itu dikejar dan dua orang berhasil ditangkap.

Namun, pada 14 Mei 1865 pihak BTI tak terima. Mereka kemudian datang dengan membawa massa yang lebih besar (sekitar 200 orang), gabungan dari massa BTI, PKI, dan Pemuda Rakyat. Ketika itu, Pelda Sudjono dan Peltu A Purba dan dua orang hansip sedang membantu pegawai PPN menarik traktor yang terperosok.

Untuk mengatasi kisruh itu, Pelda Sudjono berusaha memperingatkan masa yang datang bahwa sesuai kesepakatan maka pekerjaan PPN tidak boleh diganggu. Tapi, massa malah menjadi beringas. Mereka bukan lagi melakukan tanam paksa, melainkan mulai mengarahkan aksi kepada orang-orang ini. Mereka mengepung.

Pelda Sudjono sekali lagi berusaha memperingat massa, bahkan dengan memukul mereka dengan sebatang kayu. Tapi, tindakan Pelda Sudjono ini malah membuat beliau dikeroyok. Peltu A Purba, kedua hansip, dan pegawai-pegawai PPN berusaha melindungi Pelda Sudjono. Tapi, percuma saja karena massa terlalu banyak.

Tak ayal lagi, Pelda Sudjono pun jatuh tersungkur dianiaya dan tubuhnya pun menjadi bulan-bulanan pukulan, tendangan, dan hantaman linggis, kampak, dan cangkul. Satu ayunan cangkul, misalnya, sempat mendarat di kepala Pelda Sudjono. Maka, gugurlah petugas dari Kepolisian Distrik Serbelawan ini. Melihat hal ini, Pelda A Purba, kedua hansip, dan para pegawai PPN mau tidak mau melarikan diri.

Peristiwa ini akhirnya juga terdengar sampai Jakarta. Jenderal Ahmad Yani adalah salah satu petinggi negara yang kala itu marah besar. Dalam HUT RPKAD pada 15 Juli 1965, Jenderal A Yani meradang, memerintahkan agar kasus itu diusut tuntas dan semua yang bertanggung jawab ditangkap.

Namun, sebenarnya kasus Bandar Betsy dalam catatan sejarah di tahun-tahun itu juga tak tunggal atau hanya tejadi di Bandar Betsy semata. Di beberapa daerah di Jawa Tengah, misalnya, kasus serupa terjadi. Di sini, terbukti soal landreform yang bagi rakyat biasa diartikan sebagai bagi-bagi tanah menjadi, isu sangat sensitif. Selain itu, pada sisi lain juga menjadi isu sekaligus jaring politik yang ajaib untuk menarik massa demi kepentingan target politik kekuasaan.

Bagi orang Jawa, misalnya, pun memberlakukan kepemilikan tanah sebagai sebuah mahkota kehormatan bagi seseorang. Istilahnya: sedumuk bathuk senyari bumi di gowo mati’ (Walau hanya sebatas dahi dan hanya selebar jari, taruhannya nyawa sampai mati). Jadi, terbukti penguasaan tanah itu merupakan eksistensi kehidupan seorang anak manusia yang tak bisa ditawar-tawar. 

Namun, kini terkait landreform, makin sulit dilakukan karena kata ini sudah telanjur punya beban sejarah dan tragedi yang berdarah-darah. Padahal, sejatinya maknanya punya tujuan mulai. Meski begitu, meminjam istilah pakar ekonomi Rizal Ramli, landreform hari-hari sekarang ini masih bisa dilakukan apabila ada elite negara yang progesif.

Nah, sekarang siapa berani melakukannya lagi?

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement