Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Saya tersenyum di depan meja kasir. Untuk kesekian kalinya saya melihat tulisan seperti ini di hijab store.
Gaya hidup non ribawi kian tumbuh seiring pemahaman tentang besarnya dosa riba.
Alhamdulillah, sejak tahun 2006 menjelang pergi haji, saya sudah menutup semua kartu kredit yang saya miliki. Waktu itu pikirannya sesimpel, saya mau berangkat haji sehingga tidak mau ada hutang apapun.
Ternyata, hidup tanpa kartu kredit tidak masalah sama sekali. Sewaktu pilihan pembayaran belanja online masih terbatas, saya malah merasa terbantu. Tidak sering jajan online, karena repot kalau mau membayar.
Saya mengenal beberapa orang yang bersungguh-sungguh hijrah meninggalkan riba. Melego aset-aset yang dimiliki dengan prinsip riba dan memulai semuanya dari awal lagi.
Susah? Ternyata tidak.
Dalam satu kesempatan saya pernah diminta menjadi narasumber sebuah majalah nasional yang mengangkat isu ini. Bersama beberapa orang lainnya.
Pengalaman yang diceritakan senada. Meski kita diwawancara di tempat yang terpisah dan tidak saling kenal.
Hidup menjadi lebih berkah. Tidak pernah merasa kurang. Justru selalu turah (berlebih).
Berikutnya, menjamurnya hijab store serta distro muslim adalah fenomena menarik di Indonesia. Saya ingat obrolan dengan pemilik salah satu pioneer hijab store di mal besar di Jakarta yang sekarang dikenal sebagai mal hijab.
Lima belas tahun lalu, saat akan memulai usahanya, pengelola mal menegaskan: boleh membuka toko hijab, tapi pegawai tokonya dilarang berhijab.
“Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ada toko hijab, tapi karyawan saya dilarang berhijab,” ceritanya berapi-api waktu itu.
Setelah melalui negosiasi, akhirnya disepakati, ia diberikan space nyempil di pojok mal. Sekalipun biaya sewa yang dikeluarkannya tidak murah. Semata karena ia ngotot karyawannya harus tetap berhijab.
Itu dulu. Lima belas tahun lalu. Kini di semua mal pasti ada toko hijab. Sampai ke kota-kota kecil di daerah.
Bahkan, hijab store di salah satu mal di Jl. Sudirman, Jakarta, mengizinkan karyawannya bercadar. Usai transaksi di kasir, yang diucapkan, “Barakallahu. Semoga berkah ya, Bu.” Waktu pertama mendengar, hati saya gerimis. Sampai sekarang pun masih.
Padahal lima belas tahun lalu, sebagai gambaran, sulit sekali mencari ibu berhijab di sekolah anak. Sekarang, lebih sulit mencari ibu yang tidak berhijab di sekolah anak.
Gaya hidup Islami yang kian diminati ini juga tercermin dengan maraknya ta’lim perkantoran. Secara rutin mereka menggelar kajian-kajian berbobot dengan menghadirkan ustadz-ustadz lulusan Madinah atau Al-Azhar, Kairo.
Sepuluh menit menjelang adzan, para karyawan ini sudah berbondong-bondong ke masjid atau mushala di sekitar kantor.
Saya pernah takjub. Di salah satu PMA-Jepang, saya menjumpai karyawatinya banyak yang bergamis longgar dan berhijab lebar saat jamaah shalat Ashar.
Kalau itu di Kemetrian atau Departemen, saya tidak heran. Tapi ini di sebuah perusahaan Jepang yang sangat besar.
Tak hanya ta’lim-nya yang marak. Pengumpulan zakat, infaq, shadaqahnya pun luar biasa. Salah satu ta’lim perkantoran bahkan bisa membuat klinik berobat semacam rumah sakit kecil.
Jadi, benarlah yang disebutkan Yuswohady dalam bukunya “Marketing to The Middle Class Muslim”.
Makin kaya, makin mudah berderma.
Potensi zakat di Indonesia tak kurang dari 270 triliun. Yang terkumpul saat ini baru sekitar 1%. Namun, angkanya terus naik tiap tahunnya. Ini adalah sebuah harapan.
Gerai fesyen Muslim milenial.
Gelagat positif ini sudah ditunjukkan oleh para milenial muslim. Mereka dengan mudah akan memberikan ZIS-nya pada lembaga amil zakat yang amanah dan punya program menarik.
Para muzakki (pemberi zakat) ini tak merasa perlu berjumpa dengan mustahiq (penerima zakat). Mereka percaya dengan kredibilitas lembaga amil zakat. Berkat kemajuan teknologi, ratusan juta rupiah bisa didermakan dengan sekali klik.
Kejadian ini baru beberapa hari lalu. Kajian Humaira yang dimotori sahabat saya Joice Sitawati membutuhkan LCD seharga belasan juta. Dalam waktu singkat setelah diposting di sosial media, dana itu langsung terkumpul. Bahkan beberapa orang sampai “berebut” menutup kekurangannya.
Meningkatnya minat gaya hidup Islami ini juga dibuktikan oleh salah satu brand pionir kosmetik halal di Indonesia. Beberapa hari lalu Harvard Business Review (7/2) menjadikan Wardah menjadi salah satu bahasannya.
Seperti dikutip dari tulisan Dahlan Iskan di disway.id, “Sebetulnya Wardah hanya sedikit mengambil pasar mereka," ujar Bu Nurhayati. Pemilik Wardah itu memang sangat rendah hati. "Kami memang tumbuh pesat. Tapi sebenarnya kami ini membuat pasar baru," tambah Pak Subakat, suaminya.
Maka, mari kita sambut dunia baru. Dunia milik young muslim Indonesia. Ahlan!
Jakarta, 27/2/2019
Semua artikel dan foto telah dipublikasikan. Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com