Senin 04 Mar 2019 09:06 WIB

Masyumi, Kebebasan Beragama, Khitah Umat Islam Dalam NKRI

Natsir dan Masyumi telah bahas kebebasan beragama dalam NKRI sejak dulu.

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

Hubungan antarumat beragama di Indonesia ternyata sudah menjadi isu dan kepedulian bersama sejak tahun-tahun pertama kemerdekaan, misalnya kata itu sudah menjadi sikap Partai Masyumi yang dipimpin M Natsir. Dan bahkan dalam perjalanan sejarah isu ini semakin hari menjadi kian ramai dibicarakan serta menjadi isu penting karena ada sebagian pihak yang 'nekad' mengklaim diri sebagai paling NKRI.

Namun, bila mengacu pada sejarah, tatkala dibicarakan Pasal 18 Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tentang jaminan kemerdekaan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ternyata saudara-saudara sebangsa yang beragama Kristen merasa belum cukup terjamin dengan pasal tersebut.

Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsafan batin, dan pikiran.”

Perdana Menteri NKRI  (1950-1951) Mohammad Natsir dalam salah satu tulisannya di Capita Selecta 2 mengingatkan, jika kita tidak sama-sama awas, ketakutan itu mungkin akan menjadi salah satu pendorong dari pikiran dan langkah-langkah selanjutnya.

Menurut Natsir, keraguan di kalangan anggota parlemen yang beragama Nasrani itu terutama mengenai sikap umat Islam terhadap kebebasan beragama.

Syukurlah keraguan di kalangan anggota parlemen ini dapat dihilangkan sesudah diadakan rapat yang secara khusus meminta Ketua Fraksi Masyumi membentangkan pendirian Masyumi khususnya, dan umat Islam umumnya, mengenai pasal 18 dalam kaitannya dengan kemerdekaan beragama.

Hilangnya keraguan di kalangan anggota parlemen tidak berarti hapusnya keraguan di tengah-tengah masyarakat terhadap sikap umat Islam mengenai kemerdekaan beragama. Selama keraguan dan ketakutan itu masih ada, menurut Natsir, menjadi kewajiban umat Islam untuk menghilangkan kekuatiran tersebut. Usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu atau dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing kita.

Dalam pandangan Natsir, ini adalah mengenai satu segi dari ideologi kita yang harus didukung, ditumbuhsuburkan dalam masyarakat seluruh bangsa kita. “Sudah ada satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang dihadapi oleh negara kita, yakni: menjaga keragaman hidup di dalam lingkungan Republik Indonesia ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya,” ujar Natsir.

Untuk memelihara keragaman hidup antaragama, kepada umat Islam Natsir mengajukan enam formula sebagai berikut:

Pertama, perlu ditegaskan bahwa tauhid pada hakikatnya adalah suatu revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwa dengan arti yang seluas-luasnya. Tauhid membebaskan manusia dari segala macam ketakutan terhadap benda, dan takhayul dalam bentuk apa pun. Tauhid membawa orang beriman kepada Tuhan, terhadap Siapa dia menundukkan jiwanya. Keimanan kepada Tuhan itu diperoleh dengan jalan yang bersih dari segala macam paksaan. Adalah sunatullah bahwa sesuatu keyakinan yang sebenar-benarnya keyakinan, tidak dapat diperoleh dengan paksaan.

Kedua, maka agama yang sebenar-benarnya agama menurut Islam ialah agama yang sesuai dengan sunatullah ini. Yakni tidaklah bernama agama jika agama itu hanya berupa buah bibir, sekadar pemeliharaan diri dari bahaya luar, tidak tumbuh subur di dalam jiwa yang bersangkutan. Berkenaan dengan ini, tegas Islam mengemukakan: “Tidak ada paksaan dalam agama.” Ini pokok pandangan Islam terhadap agama umumnya.

Ketiga, keimanan adalah karunia Ilahi yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran dan pendidikan yang baik, dengan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. Umat Islam memegang khitah memanggil orang ke jalan Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran: “Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pendidikan yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik.” Orang Islam hanya disuruh memanggil. Sekali lagi: memanggil! Memanggil dengan cara yang bersih dari segala yang bersifat paksaan.

Keempat, di dalam pergaulan hidup sehari-hari, di mana perbedaan tidak dapat dipertemukan--perbedaan tentang paham, amal, agama, dan sebagainya--maka seorang Islam tidak boleh tinggal pasif dan tenggelam serta lumpuh hatinya melihat persimpangsiuran perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim di dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agama-agama itu. Seorang Muslim itu diwajibkan untuk mengambil inisiatif, menjernihkan kehidupan antaragama dengan memanggil orang-orang yang beragama lain, yang mempunyai Kitab, berpedoman kepada wahyu Ilahi:

“Ya Ahli Kitab, marilah bersama-sama berpegang kepada Kalimah yang bersamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak akan sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu jua.” (Alquran surah Ali Imran ayat 64).

Kelima, umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu, walau dari mana pun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam menegakkan kejernihan hidup antaragama itu. Dengan penuh keyakinan akan kebenaran yang ada pada sisinya, dan keluasan dada yang ditimbulkan oleh kalimat tauhidnya–kalimat tauhid yang membawa keyakinan kepadanya bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia—maka seorang Muslim harus memencarkan ke sekelilingnya jiwa tasamuh dan toleransi dalam menghadapi agama lain. Ajaran Islam menghadapi orang yang berlainan agama, adalah sebagai berikut:

“Katakanlah: aku diperintah untuk berlaku adil di antara kamu, Allah adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami; bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu, dan tidaklah ada perselisihan antara kamu dan kami. Dan kepada-Nya tempat kita semua kembali.” (Alquran surah al-Syura ayat 15).

Keenam, toleransi yang diajarkan oleh Islam itu dalam kehidupan antaragama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. Ia aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja. Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri.

Natsir menegaskan, apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan beragama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.

Alquran mengajarkan: “Seorang Muslim diperintah untuk berjuang mempertahankan orang yang kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya lantaran mereka bertuhankan Allah. Ia harus berjuang mempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyang, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah.”

Adakah yang Lebih Tegas dari Islam?

Demikian tegasnya ajaran Islam di dalam peri kehidupan antaragama. Ini pula khitah yang hendak ditegakkan dan dilaksanakan oleh umat Islam di dalam Negara Republik Indonesia ini. Semata-mata lantaran mengharapkan keridhaan Ilahi.

Kita bertanya sekarang: kalau tidaklah ajaran Islam yang menjamin kemerdekaan beragama dan menyuburkan kehidupan beragama dengan cara yang positif, tunjukkanlah ideologi manakah lagi selain daripada Islam yang mampu mengemukakan konsepsi yang lebih tegas lagi dari yang diajarkan oleh Islam?

Jawab pertanyaan di atas adalah: kalau orang memang hendak menjamin kemerdekaan beragama, dan hendak menegakkan kejernihan hidup antaragama di tengah-tengah penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini sebagai dasar dari kesatuan negara, maka tidak ada lain pemecahan melainkan memesrakan paham tersebut dan meluaskan paham itu ke seluruh kepulauan Indonesia yang watak rakyatnya pada dasarnya bersifat tasamuh itu.

“Tiap-tiap orang yang berpikiran sehat, seorang patriot tanah air, ataupun seorang ahli negara yang hendak menegakkan kesatuan negara,” ujar Natsir, “tak dapat tidak apabila berani bersikap jujur, pasti akan mendapat dalam pelaksanaan ajaran Islam jawaban atas pertanyaan yang dihadapi pertumbuhan negara, yakni: dengan toleransi yang dikemukakan itu memelihara dan menyuburkan keragaman dan perdamaian antaragama dalam negara ini.”

Lebih lanjut Natsir menjelaskan bahwa apa yang dibawa oleh ajaran Islam itu bukanlah monopoli umat Islam, akan tetapi milik yang akan menyelamatkan kesejahteraan pribadi seluruh masyarakat di dunia ini. Maka, adalah kewajiban dari tiap-tiap umat Islam:

Memahami ajaran Islam bagi diri masing-masing dengan sungguh-sungguh. Menjadikan ajaran Islam sebagai pakaian hidup: dalam berkata, bertindak, dan berlaku terhadap masyarakat di sekelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut.

Memancarkan pengertian ini ke sekelilingnya dengan tidak membelakangkan agama dan kepercayaan mana pun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan.

Dengan demikian, apa yang merupakan ketakutan dan kekhawatiran di kalangan bangsa kita yang beragama bukan Islam, pasti akan lenyap, dan akan timbullah pengertian baru yang lebih segar, sebagai dasar yang subur untuk pembangunan lahir dan batin bagi negara dan isinya.

“Itulah negara yang berkebajikan yang diliputi oleh kesempurnaan Ilahi,” pungkas Natsir.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement