REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Fahmi M Nasir, Mahasiswa S3 Konsentrasi Tata Kelola dan Hukum Wakaf, Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia
Hidayatul Ihsan, Dosen Politeknik Negeri Padang
Pemberitaan Republika pada 8 Maret mengenai perhelatan Indonesia Wakaf Summit (IWS) 2019 yang menekankan pentingnya literasi sebagai upaya memaksimalkan potensi wakaf, sangat menarik untuk dicermati.
Hal senada juga diungkapkan Imam Rulyawan, direktur umum Dompet Dhuafa yang menyatakan, salah satu target IWS adalah menekankan pengembangan, penyebarluasan, dan pengarusutamaan literasi wakaf produktif.
Literasi wakaf ini tentunya sangat erat kaitannya dengan studi wakaf itu sendiri. Karena itu, tulisan ini mencoba melihat bagaimana tahapan perkembangan studi wakaf di luar negeri beserta posisi studi wakaf Indonesia selama ini.
Tulisan ini diakhiri pemaparan mengenai urgensi memperbanyak kajian wakaf di Indonesia, baik untuk memperkaya literasi wakaf maupun mengisi kekosongan studi wakaf Indonesia yang selama ini belum banyak dikenal di mancanegara.
Melalui berbagai literatur, kita melihat studi wakaf mengalami perkembangan eksponensial pascaseminar internasional pada Juni 1979 di Yerusalem.
Seminar yang menghadirkan 27 pakar dari berbagai disiplin ilmu yang meneliti wakaf sesuai aspek keilmuannya tersebut, dianggap sebagai landmark yang signifikan. Sebab, forum itulah yang pertama kali mengangkat wakaf sebagai fokus utama kajiannya.
Bahkan, seminar ini dianggap telah memperkenalkan studi wakaf sebagai cabang ilmu baru sekaligus menetapkan agenda masa depan untuk kajian wakaf. Dalam perkembangan selanjutnya, Hoexter (1998) mengklasifikasikan studi wakaf dalam tiga tahapan.
Pertama, kajian-kajian yang memberikan penekanan pada aspek legalitas wakaf semata. Tahapan kedua, cakupan kajian wakaf sudah lebih luas dari sekadar aspek hukum.
Hal ini ditandai dengan adanya pembahasan wakaf dari berbagai aspek, seperti ekonomi, implikasi wakaf terhadap sektor agraria, dampak wakaf terhadap sistem sosial, sampai kepada relasi wakaf dan negara.
Sementara itu, dalam tahapan ketiga, kajian-kajian mengenai wakaf ditandai dengan upaya menginkorporasikan wakaf ke dalam konsepsi kultural, ideologi, ataupun sosiologi.
Ini terlihat dengan adanya kajian-kajian wakaf yang dipadukan dengan tema-tema, seperti karitas, masyarakat sipil, dan komparasi institusi wakaf dengan lembaga serupa yang terdapat dalam masyarakat non-Muslim.
Pandangan di atas disempurnakan lagi oleh Nada Moumtaz (2018) ketika dia mengatakan, studi wakaf sekarang ini berada dalam gelombang ketiga di mana kajian wakaf akan diintegrasikan ke dalam pembahasan antardisiplin ilmu yang lebih luas.
Ini berarti, wakaf akan dilihat secara integral sebagai institusi yang memiliki beragam aspek, baik ekonomi, politik, agama, moral, diaspora, hukum, maupun negara serta banyak lagi.
Satu hal lagi yang menarik dari pandangan Nada Moumtaz adalah ketika dia berkesimpulan, kawasan Asia Tenggara sekarang ini telah menjadi pusat studi wakaf. Pandangan tersebut diperkuat oleh Amelia Fauzia dkk (2018).
Mereka menegaskan, studi wakaf di Asia Tenggara sekarang ini bukan sekadar menjadi pusat studi wakaf, melainkan kawasan ini juga sudah menjadi tempat berdomisilinya para peneliti dalam kajian-kajian baru di bidang wakaf.
Perkembangan ini tentu menarik kita cermati dalam konteks studi wakaf di negara kita. Ini disebabkan oleh pengaruh, secara langsung atau tidak langsung, tahapan-tahapan ataupun gelombang studi mengenai wakaf yang disebutkan di atas terhadap studi wakaf di sini.
Sayangnya, karena satu dan lain hal, perkembangan studi wakaf di Indonesia selama ini tidak banyak diketahui para peneliti luar. Buktinya, ketika ada studi bibliografi mengenai wakaf, jarang sekali terdapat karya-karya peneliti dari Indonesia.
Kita mencatat, dalam studi bibliografi yang dilakukan Hoexter (1998) dan Abdul Azim Islahi (2003), sama sekali tidak ada karya dari Indonesia. Karya peneliti Indonesia baru mulai disebutkan dalam studi yang dilakukan Syed Khalid Rashid (2010) ketika dia melakukan kompilasi dan mengomentari literatur wakaf di lima negara, yaitu India, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.
Syed Khalid Rashid bahkan memberikan catatan sangat positif mengenai studi wakaf di Indonesia. Dia mengatakan, sebenarnya kajian-kajian wakaf di Indonesia memiliki pandangan progresif dalam membahas isu-isu seputar wakaf.
Baik dari tataran tata kelola dan pengembangan wakaf maupun ketika membahas wakaf dalam konteks filantropi Islam secara keseluruhan. Tren ini diteruskan dalam karya Nada Moumtaz (2018) yang mencatat, ada peneliti dari Indonesia yang mulai melakukan studi secara mendalam mengenai wakaf di sana.
Hal ini merupakan momentum sekaligus tantangan besar untuk penggiat dan peneliti wakaf kita agar dapat memperkenalkan studi wakaf di Indonesia ke mata dunia secara lebih luas. Mengapa demikian?
Pertama, sebagai negara yang berada dalam kawasan di mana wakaf semakin berkembang pesat bahkan sudah menjadi pusat studi wakaf, tentu para peneliti wakaf di Indonesia harus berada di garda terdepan melakukan berbagai kajian mengenai wakaf.
Para peneliti dari Indonesia harus mampu melahirkan literatur wakaf yang menjadi rujukan utama dalam mempelajari perkembangan wakaf di kawasan Asia Tenggara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Kedua, dari kajian-kajian literatur yang ada selama ini, ternyata sektor wakaf Indonesia memiliki kebijakan lokal yang perlu diperkenalkan untuk dunia luar.
Rekam jejak lembaga seperti huma serang di Banten, tanah pareman di Lombok, pusako tinggi di Minang, dan wakeueh di Aceh sudah waktunya diperkenalkan oleh peneliti Indonesia kepada peminat kajian wakaf.