Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Pada sebuah bulan Desember, saya melihat di kejauhan terlihat Blue Mosque (Masjid Biru) Istanbul yang putih tertutup salju. Dari luar, masjid ini tidak berwarna biru. Namun, mozaik yang ada di dalamnya terbuat dari keramik Iznik, yang semuanya berwarna biru. Inilah yang membuat masjid yang aslinya bernama Masjid Sultan Ahmed atau Sultan Ahmed Camii ini dikenal dengan nama Blue Mosque.
Mozaik yang terpasang tidak terhitung jumlahnya dan terlihat rapi sekali. Pastilah hasil karya tangan-tangan terampil. Masjid yang menjadi landmark Turki ini dibangun Sultan Ahmet I (1603–1617).
Arsiteknya bernama Sedefkar Mehmet Aga. Sedefkar Mehmet Aga adalah murid Mimar Sinan, seorang arsitek paling masyhur dari Daulah Utsmani.
Desain bangunan diilhami oleh Aya Sofya yang waktu itu juga masih difungsikan sebagai masjid. Posisi kedua bangunan indah ini tepat berseberangan.
Di depan pintu masjid, terlihat antrean wudhu untuk laki-laki. Saya melirik suami saya, Lambang, sekilas. Dia menoleh dan langsung berkata, “Aku tayamum ya. Enggak kuat dinginnya,” jawabnya. Hari ini salju mengguyur deras kota Istanbul.
Masyarakat Turki tidak mengenal wudhu dengan air hangat. Mereka tetap berwudhu menggunakan air dingin. Sekalipun suhu di bawah nol derajat. Di bawah guyuran salju. Serta terpaan angin dingin yang kencang.
Kepungan salju di Masjid Biru Istanbul. (foto Uttiek M Panjiastuti)
Ingin tahu seperti apa rasanya wudhu dengan air dingin di tengah guyuran salju?
Saat membasuh wajah, muka rasanya seperti ditampar-tampar air dingin. Sedikit pedih. Pipi seperti dikerubuti ribuan semut dan beberapa di antaranya menggigit, hingga terasa perih!
Begitu air dingin mengenai tangan dan kaki, langsung terasa kebas. Seperti habis menggenggam balok es.
Selesai wudhu, tubuh langsung menggigil kedinginan. Sebagai orang yang tinggal di daerah tropis, berwudhu di bawah guyuran salju itu PR banget. Dinginnya betul-betul tak terbayangkan.
Namun, subhanallah, kondisi itu tidak menghalangi mereka. Ini terlihat dari antrean wudhu yang tetap mengular.
Beberapa masjid besar di Turki, di pintu gerbangnya tersedia container yang menyediakan plastik, seperti plastik untuk menimbang buah di supermarket.
Plastik ini bisa diambil gratis untuk membungkus sepatu. Kita harus meletakkan sepatu di rak penyimpanan di dalam ruangan.
Selesai shalat, plastik itu harus dimasukkan ke tempat yang telah disediakan untuk didaur ulang.
Di musim dingin seperti ini, semua orang ke masjid menggunakan sepatu boots, karena harus berjalan menembus salju.
Umumnya, gerbang masjid di Turki ditutup semacam kerai dari kulit dan terpal berwarna hijau yang sangat tebal.
Fungsinya untuk menghalau angin dingin dari luar, sekaligus penanda bahwa itu adalah pintu menuju tempat shalat.
Berbeda dengan di Indonesia, masjid di Turki umumnya boleh dimasuki turis. Namun mereka harus masuk menggunakan pintu yang berbeda.
Pintu berwarna hijau khusus bagi mereka yang akan shalat. Saat adzan berkumandang, semua masjid tertutup untuk turis hingga selesai waktu salat.
Bagi penduduk daerah tropis, tantangan cuaca “hanya” hujan lebat yang mungkin menyebabkan perjalanan ke masjid terhambat.
Tapi di negara 4 musim, guyuran salju yang deras adalah problem. Seperti siang itu, salju menumpuk hingga setinggi lutut. Untuk sekadar melangkahpun berat dan licin. Belum lagi udara dingin yang menusuk tulang.
Saya bayangkan, mereka yang tetap berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah pastilah orang-orang yang hatinya selalu hangat oleh Cahaya Allah.
Hati yang telah terpaut dengan masjid tak akan surut langkah. Meski harus menembus pekatnya malam, dinginnya salju, bahkan teror keji sekalipun.
Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti