Ajaran agama dapat didekati dengan berbagai metode pendekatan, seperti pendekatan tekstual, kontekstual, hermeneutik, sejarah, fenomenologi, dan lain sebagainya. Pada tataran norma keagamaan, ajaran agama dapat didekati dari dimensi eksoterik dan esoteriknya.
Pendekatan esoterik merupakan upaya dalam melihat agama secara mendasar dengan mengkaji hakikat yang dikandung oleh ajaran agama tersebut. Sedangkan pendekatan eksoterik lebih banyak menyoroti dimensi formalitas ajaran agama, maka pendekatan esoterik lebih banyak menyoroti makna dan inti suatu ajaran agama. Seumpama ajaran tentang shalat dalam agama Islam, pendekatan eksoterik lebih terfokus untuk melihat sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah shalat.
Dalam hal ini, yang menjadi fokus perhatian adalah syarat dan rukun (elemen-elemen) yang menjadi bangunan ibadah shalat secara lahir. Sehingga dengan terpenuhinya syarat dan rukun itu, maka ibadah shalat disebut sempurna dan dipandang sah secara formal. Dengan demikian, kewajiban Muslim sudah dipandang telah tertunaikan.
Akan tetapi, apakah shalat yang secara formal telah diselesaikan itu telah mencapai tujuan pokok perintah shalat? Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku/Tuhan (QS Thaha: 14). Apakah mungkin hanya dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun shalat itu saja shalat telah dapat mengantarkan seseorang terbebas dari segala bentuk perbuatan keji dan munkar -- sebagaimana diungkapkan dalam kitab suci? Bukankah banyak kita saksikan orang yang melakukan shalat juga melakukan perbuatan tercela? korupsi misalnya.
Pertanyaan-pertanyaan di atas mestinya menggelitik kita untuk merenung kembali bahwa pendekatan ajaran-ajaran agama yang hanya melalui pendekatan eksoterik semata ternyata tidak sepenuhnya bisa mengantarkan kita kepada inti Keberagamaan yang mendalam.
Pendekatan esoterik adalah dimensi lain dari pendekatan Keberagamaan. Yang menjadi fokus pendekatan esoterik adalah menyangkut hakikat, makna, dan tujuan pokok ajaran agama, atau apa yang menjadi substansi ajaran agama. Dalam Alquran, Tuhan menerangkan dalam (QS. Al-Hadid ayat 3) bahwa diri-Nya adalah al-Zhahir (Yang Lahir dan Nyata) dan al-Bathin (Yang Bathin). Karena itu, Jika alam semesta yang menjadi alamat dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka alam ini pun terdiri atas lahir dan bathin.
Dengan demikian, hidup lahiriah berarti memperoleh eksistensi, yang dengan itu benda-benda memiliki wujud. Akan tetapi, memfokuskan diri pada wujud lahir semata berarti pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sesungguhnya, karena pada yang batinlah tersimpan makna-makna dan prinsip-prinsip kehidupan yang sebenarnya.
Karena itu, ketika kita hanya memfokuskan diri kepada yang lahir, maka tidak ada yang kita dapatkan kecuali dunia keberagaman yang tak habis-habisnya. Sebaliknya, ketika kita masuk ke dalam relung batin, niscaya kita akan mendapatkan inti dari dunia yang serba aneka dalam satu hakikat.
Pengetahuan esoterik membawa kita ke arah yang maknawi dan sekaligus ke prinsip dan Pusat segala sesuatu, sehingga mencapai Pusat Yang Transenden sekaligus Imanen. Yang Agung sekaligus Anggun. Jamaliyah - Jalaliyah, the Beauty and Majesty.
Melihat ajaran agama pada dimensi eksoteriknya yang beragam berarti kita melihat eksistensi keberagamaan dalam penampilannya yang warna-warni. Bahkan, semakin jauh kita memasuki relung-relung keragaman itu, niscaya kita akan mendapatkan aneka ragam yang lebih banyak lagi, dan itulah realitas keberagamaan yang kita saksikan. Tanpa realitas demikian, keberagamaan tidak memiliki wujud sama sekali. Dan jika keberagaman tanpa wujud, itu adalah sesuatu yang absurd.
Sebaliknya, Jika kita melihat dimensi esoterik, maka yang kita rasakan adalah makna beragamaan yang demikian luas dan kaya. Di dalamnya tak terukur dan luasnya tak bertepi.
Lantas, bagaimana mengungkap misteri peristiwa agung perjalanan Isra Mi'raj Nabi Muhammad? Dialami atau sekedar diteladani?
Apakah peristiwa Isra Mi'raj benar-benar terjadi? Apa makna penting peristiwa tersebut bagi umat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin? Dan mengapa Nabi Muhammad harus di Isra dan Mi'raj kan?
Ketika Rasulullah bersabda mengenai shalat "shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku (Muhammad) shalat", dan sabdanya yang lain "shalat itu Mi'raj-nya orang beriman" menunjukkan kedua sabdanya ini merupakan pengalaman hidup yang wajib diamalkan bagi siapa pun mereka yang mau mengikuti uswatun hasanah meneladani junjungan Nabi Muhammad.
Sebelum manusia mengalami kematian, manusia semestinya mampu mencapai 'Terang Sejati' tanpa tersentuh api, yang dapat menerangi pandangan kalbunya untuk berjalan kembali ke 'Negeri Asalnya' (home sweet home, baitii jannatii, rumahku surga-ku). Pencapaian Terang Sejati itu adalah di "Sidratul Muntaha" (QS 53:14), di puncak kesadarannya yang tertinggi inilai Nabi Muhammad mengalami Isra dan Mi'raj yang merupakan peristiwa paling fenomenal dalam sejarah hidupnya. Di mana Rasulullah menempuh Perjalanan fisik dan spiritualnya untuk bertemu langsung dengan Allah.
Karena itu ia melewati langit-langit kesadarannya. Langit kesadaran Adam, langit kesadaran Yahya dan Isa, langit kesadaran Yusuf, langit kesadaran Idris, langit kesadaran Harun, langit kesadaran Musa dan langit kesadaran Ibrahim. Dengan demikian hidupnya akan selamat baik di dunia dan akhirat kelak.