Jumat 05 Apr 2019 08:01 WIB

Kabar Bohong = Terorisme, Benarkah?

Menko Polhukam juga gagal memahami perbedaan teror dan terorisme.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR (Pernah menjadi anggota Pansus Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme)

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto kembali mengundang polemik publik. Beberapa waktu lalu, Wiranto membuka diskursus publik tentang fenomena kabar bohong ( hoaks ) dan terorisme. Menurut Wiranto, kabar bohong  itu sebanding dan sama dengan aksi terorisme, sehingga untuk penanganannya harus menggunakan pendekatan antiteror.

 

Boleh jadi, Wiranto kehabisan akal untuk menangani berjibunnya kabar bohong dalam tahun politik ini. Sehingga  menginginkan pelaku kabar bohong dijerat sebagai kejahatan terorisme. Fakta ini tentu saja memunculkan opini publik bahwa Wiranto ternyata gagal  membaca ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Tak hanya itu, Menko Polhukam juga gagal memahami perbedaan teror dan terorisme. Teror dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sementara terorisme sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU 5/2018) adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

 

Dari sini terlihat jelas tidak semua teror adalah terorisme, namun terorisme adalah salah satu bentuk dari teror. Namun demikian, UU 5/2018 menegaskan dalam Pasal 1 angka 1 tentang definisi Tindak Pidana Terorisme yakni segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Artinya, tidak semua teror masuk kategori tindak pidana terorisme.

 

Grusah Grusuh

Boleh dikatakan Menko Polhukam grusah grusuh, seolah tak punya waktu membaca dulu ketentuan undang-undang sebelum menyebarkan wacana aneh tak mendasar itu. Padahal, masih belum lekang dalam ingatan, bagaimana Menko Polhukam pernah menyatakan Presiden Jokowi itu grusah grusuh saat ingin  memberi pembebasan bersyarat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir Januari lalu. Kini, Menko Polhukam pun setali tiga uang dengan Presiden Jokowi. Pernyataannya untuk menerapkan kejahatan terorisme terhadap beritan bohong  justru menimbulkan teror baru bagi masyarakat. Bayangan publik, jika berita bohong dengan terorisme diterapkan maka akan ada penangkapan besar-besaran  dalam kontestasi pemilu 2019 ini.

 

Betapa rumit dan dilemanya jika keinginan Wiranto itu direalisasikan. Sebab berita bohong dalam kontestasi politik saat ini seolah telah menjadi "menu wajib" yang harus disajikan kepada khalayak.

 

Berita bohong

Berita bohong  menjadi persoalan serius bangsa saat ini, terutama dalam kontestasi Pemilu 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan 81 kabar bohong soal pemilu dan 19 disinformasi politik pada Januari-Februari lalu. Sementara lembaga swadaya masyarakat seperti Masyarakat Anti fitnah Indonesia menemukan sepanjang Januari-Maret 2019 ada sedikitnya 47 kabar bohong soal Jokowi dan 17 berita yang menyerang Prabowo Subianto. Masifnya berita bohong  dapat menghancurkan sebuah bangsa. Siapapun yang suka menyebarkannya  memang harus ditindak hukum secara tegas tanpa pandang bulu.

 

Apalagi Badan Pengawas Pemilu menyatakan penyebaran berita bohong dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tak hanya menyudutkan kandidat presiden, berita palsu juga bertujuan mendeligitimasi pemilihan umum. Bagaimanapun politik selama ini dilakukan dengan menghalalkan segala cara dan memicu konflik jika salah satu kandidat kalah. Namun,  menyamakan persoalan bahaya berita bohonh dengan kejahatan terorisme jelas merupakan asumsi yang “offside". Berita bohong  adalah persoalan kesadaran dan tanggung jawab besar pengguna media sosial tatkala berkomunikasi sebelum ikut menyebarluaskannya. Hal ini jelas berbeda terminologi dengan tindak pidana terorisme.

 

Jika mau cermat, sebetulnya Menko Polhukam bisa mengkaji dulu sebelum berwacana. Selama ini, penindakan hukum terhadap pelaku berita bohong kebanyakan menggunakan Pasal 27 dan 45 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) selain itu dapat juga menerapkan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP. Tak tanggung-tanggung, ancaman hukumnya pun bisa mencapai 10 tahun.

 

Kegeraman Menko Polhukam menindak pelaku berita bohong yang dapat merusak tatanan demokrasi di Indonesia, dapat dimaklumi. Namun upaya penanganannya tak bisa grusah grusuh asal wacana, harus ditangani dengan akal sehat. Salah satunya dengan menggiatkan edukasi yang masif dan tanpa henti menjangkau lapisan masyarakat di tengah intensitas peredaran berita bohong yang masih sangat tinggi. Permainan kotor ini menciderai demokrasi dan membodohi masyarakat lewat propaganda dan disinformasi. Para pelaku terkesan memanfaatkan kelemahan masyarakat yang mudah mempercayai, bahkan cenderung memilih kabar yang mendukung keyakinan politiknya.

 

Dalam masyarakat yang belum tercerahkan, berita bohong akan mudah dipercayai. Terkadang, untuk memenuhi ambisinya, penguasa pun ikut memproduksi berita bohong. Karena itu, sebagai penyelenggara negara, sudah sewajarnya jika Menko Polhukam tidak menyajikan informasi  yang berpotensi  menyesatkan publik. Jika seorang Wiranto dinilai gagal paham menafsirkan hukum, lalu bagaimana ia mengkoordinasikan aparat penegak hukum di bawah koordinatornya dalam menyelesaikan persoalan politik, hukum dan kemanan dalam negeri? Semoga Pak Wiranto menyadari kekeliruannya dan segera meralat ucapannya. Wallahu 'alam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement