Ahad 07 Apr 2019 05:04 WIB

Pilpres Liberal, Segeralah Berlalu

Model pilples yang liberal diharapkan segera berlalu.

Petugas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperlihatkan surat suara Pilpres yang rusak ketika menyortir dan melipat surat suara di gudang penyimpanan logistik KPU Kota Bandar Lampung, Lampung, Jumat (8/3/2019).
Foto: Antara/Ardiansyah
Petugas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperlihatkan surat suara Pilpres yang rusak ketika menyortir dan melipat surat suara di gudang penyimpanan logistik KPU Kota Bandar Lampung, Lampung, Jumat (8/3/2019).

Oleh: Margarito Kamis, Pengamat Hukum Tata Negara dan Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate

Alam baru, gairah baru, itulah gambaran alam reformasi menyusul berhentinya Pak Harto. Entah ikut bermain atau tidak, sebagian kekuatan politik formal di MPR terlihat menari bersama dengan gairah reformasi, yang kala itu sedang mencari bentuk institusionalnya. Harus baru, harus berbeda dengan yang lama, itulah aura demokrasi baru kala itu.

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, dalam nafas dan aura itu, tersaji begitu saja di panggung politik. Cara baru itu teridentifikasi sebagai cara memberi kebebasan rakyat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gagasan ini bergelora ditengah arus antusiaisme berbagai kekuataan politik yang terorganisir maupun berserakan kala MPR, 18 tahun lalu mengubah UUD 1945. Ada nuansa MPR menyerah pada arus besar, berlanggam liberalistik ini. Arus itu adalah pengisian jabatan presiden dilakukan dengan cara dipilih secara langsung oleh rakyat. Laksana ombak yang tidak pernah tak menuju pantai, pemilihan presiden melalui MPR, sebuah model orisinil temuan bangsa sendiri kalah memukau dan dianggap kehilangan signifikansi demokratisnya.

Populisme

Pak Harto memang berkuasa puluhan tahun, dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Kelemahannya, dalam perdebatan di BP MPR teridentifikasi sebagai energi politik tak terhingga. Itulah energi yang digunakan dalam menggempur kebaikan-kebaikan alami yang tersedia pada model pemilihan melalui MPR itu. Pemilihan model ini diangap tidak populis.

Harus diakui terdapat fraksi yang pada awalnya menampilkan pandangan penantang yang cukup energik dalam nada idiologis Pancasila, pada waktunya harus berkompromi. Romantisasi, betapapun kata itu tak disematkan secara nyata dan terverifikasi kepadanya, tetapi nuansa itu terlihat dari kejauhan. Mereka, akhirnya hanya bisa melihat satu pilihan; berkompromi menerima pandangan dominan, populis.

Permintaan berkelas dari salah satu eksponennya agar MPR tidak

tenggelam dalam arus besar yang mengkristal di luar MPR, dalam

kenyataannya tak mendapat sambutan semestinya. Keyakinannya bahwa MPR

dapat memandu perubahan berdasarkan keyakinannya sendiri, tidak mesti

senafas dengan arus yang berkembang di luar, dalam kenyataannya terlempar

jauh.

Kesediaan berkompromi, selalu begitu dalam urusan musyawarah, akhirnya mengantarkan fraksi ini pada pilihan pilpres langsung. Hak-hak rakyat dalam perdebatan itu, tentu untuk memberi bobot legitimasi, dibalut dengan

gagasan yang dikenal dalam ilmu politik dan tata negara sebagai kedaulatan

rakyat. Gemuruh hasrat itu terus bergerak naik, merontokan semua argumen

legitim yang bisa dipakai dibalik model pemilihan melalui MPR.

Itu sebabnya gagasan jalan tengah - pemilihan bertahap- rakyat

menominasi figur capres- cawapres dan MPR yang fraksi itu untuk memastikan

MPR tak habis, tetap tak cukup mampu memukau partai-partai lain. Gagasan

ini dipukul dengan argumen legitimasi. Legitimasi presiden dalam model pemilihan bertahap itu, begitu yang diidentifikasi dalam perdebatan di BP MPR

tahun 2001 itu, diragukan bobotnya.

Kuatnya isu legitimasi itulah yang mengakibatkan sifat anggota MPR yang disebut oleh salah satu anggota fraksi lain sebagai wise man, tak mampu menggairahkan rekan-rekannya berlabuh pada pemilihan model MPR. Legitimasi, entah bagaimana, ditunjuk dan dikaitkan sepenuhnya pada kehendak masyarakat, bukan pada apa yang ditulis dalam hukum. Padahal apa yang ditulis dan menjadi huruf-huruf hukum, dalam sifat dan esensinya,legitim.

Konsekuensi-konsekuensi pemilihan langsung, dihubungkan dan dinilai dalam nada yang sepenuhnya praktis. Salah satu konsekuensinya adalah MPR, karena tak lagi memilih presiden, maka tak legitim lagi membentuk GBHN. Presiden telah menyebarkan ide-idenya ke masyakarat, sehingga tidak legitim bila MPR masih diberi kewenangan membentuk GBHN. Pandangan ini beradadibalik melayangnya kewenangan MPR membentuk GBHN, sesuatu yang kini kembali dirindukan untuk dihidupkan.

Presiden, dalam konsep yang dianut dalam UUD saat ini, suka atau tidak, tertahbis sebagai figur tunggal yang mendefenisikan kehidupan bernegara. Apa yang hendak dilakukan adalah apa yang dalam sifat konstitusionalnya dikehendaki dan menjadi hasrat presiden. Arah bangsa ini didefenisikan, sekali lagi, dalam batas alur konstitusional oleh presiden.

Tak Terlihat

Caci maki, tuduhan asal jadi, terbelahnya masyarakat dalam satu komunitas, bahkan agama, pemberian hadiah, uang, dan lainnya termasuk netralitas aparatur pemerintah, yang semuanya tertandai sebagai bahaya dalam setiap tahapannya, sama sekali tak diidentifikasi, apalagi diperdebatkan secara mendalam di BP MPR. Tidak dibicarakan, apalagi dipetakan, tentu melalui simulasi yang masuk akal. Sama sekali tidak.

Tidak dimunculkan, misalnya pemilu langsung sama dengan menyediakan panggung terbuka bagi siapa saja, persis seperti saat ini, menyerang personal calon presiden dan wakil presiden. Memfitnah personal calon presiden dan calon wakil presiden pada setiap kesempatan dalam setiap tahapan tahap pemilihan, sebagaimana terjadi dan menggema saat ini, tidak mungkin tidak disebut sebagai bahaya buat bangsa ini. Sayangnya soal-soal ini tak terlihat dalam lautan gagasan di BP MPR.

Seperti soal di atas, tak terlihat pula gagasan yang darinya memperlihatkan adanya pemahaman berkelas atas bahaya lainnya dalamtahap tertentu pilpres langsung itu. Tak ada perhitungan terukur, misalnya masyarakat memiliki kebiasaan memberi penilaian terhadap seseorang berdasarkan pendapat umum. Karena tak diperhitungkan, maka tak terperhitungkan pula bagaimana pendapat umum direncanakan untuk mengesankan dalam nada mengelabui dan menyesatkan orang banyak atas sosok calon presiden itu.

Tampak mereka - anggota MPR - yang sebagian merupakan anggota baru melupakan betapa mereka memiliki kebesaran sebagai orang besar. Semestinya mereka tak perlu merasa terpukul malu atas kegagakan, bila ada, pada masa lalu, dan tak mesti bergelimang tawa kala menggenggam kesuksesan. Ini membuat, sejauh yang bisa dikatakan, mereka mengabaikan betapa MPR masih cukup legitim untuk dipertahankan kewenangan memilih presdien dan wakil presiden. Ini pula yang menjadi sebab lain, mengapa semua bahaya dalam setiap tahap pilpres, tak diidentifikasi.

Bahaya uang yang telah menjelma dalam pemilihan konsul, sebuah jabatan yang hanya bisa dipangku seorang konsul selama setahun dalam tradisi Republik Romawi, sejak tahun 68 Masehi, luput dari potret mereka. Caci maki atas agama calon presiden yang dialamatkan dan menimpa Thomas Jefferson dalam pilpres tahun 1801 terabaikan begitu saja. Tak banyak orang tahu tentang mutu, bobot capres dan cawapres, hal yang mewarnai perdebatan gagasan pemilihan langsung sejak tahun 1787, seperti yang lainnya, juga tak teridenitikasi oleh MPR kala itu.

Berapa besar berkah ekonomi, misalnya terciptanya lapangan kerja musiman, saya tak perlu menyebut jenisnya disini dalam proses pelembagaan pilpres langsung ini, sejauh yang dapat dikenali tak diperdebatkan di BP MPR. Seberapa baiknya berkah ekonomi yang menyertai pilihan itu dibandingkan keburukan yang terkandung didalamnya, jadinya juga tak diperhitungkan. Perancang pilpres, karena semua keburukan di atas tak diidentifikasi, terlihat dari hari ke hari dalam perdebatan itu sebagai orang baik, sangat baik. Sedemikian baiknya mereka, sehingga tak terlintas sekalipun hanya semenitbahwa setiap orang memiliki potensi tak baik, jadi jahat.

Mestinya kecenderungan manusia itu diasumsikan, bukan dihipotesakan dalam

merancang pelembagaan gagasan pilpres langsung ini. Sejarah yang kebenarannya tak tersanggah, sedari dulu telah membicarakan bekerjanya potensi dan kecenderungan itu.

Boleh saja dalam diamnya orang-orang hukum yang mengetahui betapa imperatifnya penggunaan asumsi itu, menyatakan asumsi itu tak bakal ampuh menghentikan bekerjanya potensi jahat pada setiap orang itu. Boleh saja orang hukum menyatakan bahwa yang terjadi ditengah masyarakat pada pilpres saat ini merupakan konsekuensi tak terbayangkan atau konsekuensi yang tak teridentifikasi. Masalahnya konsekuensi-konsekuensi ini, kalau mau disebut demikian tak memberi manfaat, sekecil apapun, bagi usaha bangsa ini memperkuat dirinya.

Merancang ulang model pilpres tentu butuh waktu. Yang paling mungkin saat ini adalah segeralah berlalu pilpres liberal ini, agar segera berlalu pula caci maki khas semangat partisan. Berlalulah segera agar agama tak teraduk-aduk, kredibilitas aparatur institusi pemerintah tak terus terluka, dan kehidupan kembali harmoni.

Pilpres liberal berharga 25 trilyun rupiah ini, tidak hanya mahal dalam hal angka, tetapi mahal, bahkan sangat mahal dalam timbangan sosial dan budaya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement