Kamis 11 Apr 2019 14:28 WIB

Agama Politik

Agama yang sekedar menjadi lipstik politik kekuasaan hanya akan menuai celaan

Sejumlah massa simpatisan memadati area kampanye akbar calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (7/4).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah massa simpatisan memadati area kampanye akbar calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (7/4).

Kampanye akbar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Ahad (7/4/2019) di stadion utama GBK dipenuhi sesak peserta bak lautan manusia, meluber di luar stadion hingga ke jalan-jalan utama seputar Senayan. Mereka berdatangan dari pelbagai daerah sejak malam hari lalu shalat malam dan Shalat Subuh berjamaah.

Saya memantau kegiatan kampanye politik tersebut melalui media daring dan siaran langsung salah satu media tv nasional di tengah jelajah perjalanan saya di utara Kalimantan. Di salah satu warung kopi bersama masyarakat menyaksikan perhelatan akbar capres 02 itu menyampaikan orasi politiknya dengan gaya bahasa khasnya; agitatif, propagandis dan menggugah massa.

Pernyataan retoriknya berupaya memancing emosi massa di depannya menyentil lautan manusia akan hidup semakin susah, korupsi pejabat, ketiadaan lapangan pekerjaan dan kemiskinan yang menurun. Menurun ke anak cucu dan cicit katanya. Sungguh dan benar-benar upaya membangkitkan emosi jiwa raga, menyudutkan kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat kebanyakan.

Saya bahkan berupaya merekam pidato sang capres melalui tape recorder yang selalu di tangan saat bepergian ke mana saja supaya bisa diputar ulang dan menyimaknya secara seksama pesan-pesan politik bersejarah itu. Saya kira sang capres juga kali pertama berpidato politik di depan luberan manusia yang memenuhi Stadion GBK.

Bayangan saya, seperti pidato-pidato para pesohor masyhur dunia lainnya menyampaikan orasi dengan suara lantang, memesona, dengan retorika tingkat tinggi yang mampu menggerakkan massa dan menggugah batiniah pendukungnya. Seperti Bung Karno berpidato pada rapat raksasa dilapangan Ikada 19 September 1945 ditengah tekanan penjajah Jepang. Suaranya menggelegar bak halilintar menyambar sukma rakyat berlawan koloni bercap sahabat, orasinya menyihir lautan manusia melalui kata-kata dan diksi yang menggerakkan. Ungkapannya apik tertata dengan kalimat padat penuh makna, narasi tersampaikan sistematis dan sesekali canda menghibur mengusir rasa jenuh.

Sayangnya, pidato Prabowo di kampanye akbar itu saya tidak menemukan pesan kuat kepada rakyat ke arah mana negara ini akan dibawa jika terpilih nantinya sebagai Presiden. Di atas panggung justru terlihat sang jenderal memarahi seorang peserta kampanye yang memintanya diam dengan nada suara agak keras. Struktur materi pidatonya kurang terarah, mengambang dan kehilangan pesan substantif.

Klaim peserta kampanye akbar dihadiri sekitar satu juta buat saya bukan masalah dan tak perlu diperdebatkan. Yang pasti dipenuhi lautan manusia dan meluber keluar stadion dan jalan-jalan utama. Sepanjang pengetahuan saya, hanya PKS, partai politik berbasis dakwah itu yang mampu memenuhi isi stadion GBK selama ini. Parpol lainnya belum mampu kecuali menggelontorkan duit milyaran membayar massa untuk hadir.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement