Senin 15 Apr 2019 10:39 WIB

The Great Indonesia: 2019-2034

Pembangunan ekonomi Indonesia tetap menjadi prioritas untuk kesejahteraan rakyat.

Adiwarman Karim
Foto: Republika/Da'an Yahya
Adiwarman Karim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwarman A Karim

Ini saatnya kita memulai lembaran baru rencana pembangunan jangka panjang 15 tahun. Kita songsong bonus demografi Indonesia pada 2030 dengan tiga tahapan lima tahunan. Melibatkan semua anak bangsa tanpa membedakan orientasi politiknya.

Talenta terbaik harus diberikan kesempatan yang sama. Bahu-membahu layaknya satu bangunan yang saling menguatkan menuju negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia.

The winner takes all, pemenang pemilu menguasai semuanya, tidak akan pernah dapat membawa kemajuan berarti bagi bangsa ini. Kegaduhan sosial ekonomi akan menjadi bagian kehidupan berbangsa, anak bangsa yang merasa tersingkirkan tidak akan nyaman, sejumlah besar talenta terbaik bangsa akan terpinggirkan sia-sia.

Merangkul semua anak bangsa menatap bonus demografi dan menyiapkan tahapan menuju negara adidaya dunia merupakan tanggung jawab kita semua. Transformasi budaya menjadi negara adidaya dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa, akan menjadikan Indonesia kiblat baru dunia, the great Indonesia.

Prioritas pertama adalah menjaga tidak larinya dana asing dalam jumlah besar menjelang pemilu ini. Karena dampaknya akan langsung memukul nilai tukar rupiah dan indeks harga saham, yang keduanya mempunyai dampak luas terhadap indikator makro ekonomi Indonesia.

Defisit transaksi berjalan adalah hal lain. Atish Ghosh dan Uma Ramakrishnan, peneliti IMF, dalam artikel mereka “Current Account Deficits: Is There a Problem?” menjelaskan defisit transaksi berjalan dalam perspektif jangka panjang.

Menggunakan teori intertemporal trade, mereka berargumen bila impor barang saat ini lebih besar, sehingga terjad idefisit transaksi berjalan, dan impor tersebut diberi nilai tambah untuk kemudian diekspor kembali, sehingga terjadi surplus transaksi berjalan, hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebagai politisi, rujukan batasan utang adalah UU Keuangan Negara yang membatasi rasio utang terhadap PDB maksimal enampuluh persen. Sebagai ekonom, kita harus melihat dua hal yang saling berhubungan.

Pertama, kemampuan negara membayar. Kedua, ketersediaan kreditur asing yang mau memberikan utang. Bila yang pertama menurun kemampuannya, maka yang kedua akan tidak bersedia memberikan utang.

Dalam kerangka piker inilah Gosh dan Ramakrishnan mengingatkan, negara yang intertemporally solvent, yaitu utang yang jatuh tempo dapat terpenuhi oleh pendapatan yang akan datang, negara ini tetap terpapar risiko gagal bayar defisittransaksi berjalan, bila tidak mendapatkan kreditur asing yang mau memberikan utang.

Australia dan New Zealand dapat menjaga defisit transaksi berjalan mereka pada kisaran 4,5 dampai 5 persen selama beberapa dekade. Negara berkembang seperti Mexico tahun 1995, Thailand tahun 1997 mengalami krisis defisit transaksi berjalan karena kreditur asing menghentikan utangnya saat terjadi krisis keuangan.

Bila defisit itu disebabkan impor lebih besar daripada ekspor, ia dapat menjadi indikator lemahnya daya saing produk ekspor. Bila defisit itu disebabkan investasi asing lebih besar daripada tabungan domestik, ia dapat menjadi indikator produktivitas tinggi dan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, bila defisit itu disebabkan tabungan domestik rendah, ia mengindikasikan kebijakan fiskal yang kurang tepat atau insentif konsumsi yang salah arah.

Dalam perspektif intertemporal trade, juga harus dilihat apakah sifatnya temporer karena economic shock atau malah sifatnya permanen karena terjadinya pergeseran demografi yang mengbah pola tabungan dan konsumsi domestik. Analisis ekonomi untuk kepentingan kampanye selayaknya tetap menjunjung tinggi kejernihan dan kejujuran akademik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement