Selasa 23 Apr 2019 17:02 WIB

Ketegangan Psikologis Masyarakat di Pemilu 2019

Ketegangan psikologis selama Pemilu meningkat.

Pekerja mengeluarkan kotak suara Pemilu 2014 di Gudang KPU Sumenep, Jawa Timur, Ahad (21/4/2019).
Foto: Antara/Saiful Bahri
Pekerja mengeluarkan kotak suara Pemilu 2014 di Gudang KPU Sumenep, Jawa Timur, Ahad (21/4/2019).

Ratusan juta pasang retina tertuju pada Pemilu 17 April 2019. Melalui mata itulah ketegangan psikologis juga ikut meningkat. Antusiasme masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri untuk berpartisipasi pada pemilu kali ini juga naik secara tajam.

Orang-orang yang biasanya tidak peduli dengan pemilu atau memilih golput, kini ikut memberikan pilihannya. Ketegangan itu memang semakin terasa menjelang detik-detik pencoblosan. Namun, eskalasi politik rupanya semakin meroket setelah pemilu berlangsung.

Hal ini memberikan efek sangat kompleks bagi kehidupan personal ataupun relasi antarindividu. Banyak orang keluar dari grup di media sosial karena perdebatan politik yang amat sengit di dalamnya. Ada juga hubungan keluarga yang menjadi dingin, bahkan retak disebabkan perbedaan pilihan calon presiden.

Hal yang sangat jelas adalah tingkat stres pada seseorang menanjak karena suhu politik semakin meningkat. Baik orang itu terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Dengan membaca berita di dunia maya, kondisi psikologis bisa berubah secara cepat.

Sebuah kasus nyata yang penulis temukan, karena begitu panasnya pilpres kali ini, seorang warga biasa mengalami stres yang sangat signifikan hingga mengalami gangguan pada pendengaran yang bersifat permanen.

Dia tidak terlibat secara langsung dalam percaturan politik pilpres, tetapi ingar bingar politik membuat dirinya mengalami tekanan cukup hebat hingga berdampak pada pendengaran yang membuat ia sulit tidur pada malam hari.

Profesor Abdul Rashid Moten mengatakan, ''Anda tidak bisa menghindar dari politik." Awalnya, penulis anggap itu klise karena penulis dididik jalur psikologi secara formal bukan politik. Beberapa tahun kemudian, penulis baru menyadari sepenuhnya dari sudut pandang psikologi bahwa yang ia katakan benar.

Melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, penulis kembali teringat pertemuan dengan Profesor Abdul Rashid Moten lebih dari 10 tahun lalu. Politik memengaruhi seluruh sendi psikologi masyarakat. Ada baiknya, tim psikologi segera diterjunkan.

Tujuannya, memulihkan kondisi masyarakat yang terombang-ambing dalam kancah politik yang semakin membara. Memulihkan sepenuhnya mungkin sulit, tetapi setidaknya berusaha menahan agar tidak terperosok terlalu dalam pada titik stres yang membahayakan kesehatan mental masyakarat secara luas.

Masyarakat dipertontonkan adanya kecurangan tanpa respons positif, baik dari pemerintah, KPU, maupun aparat. Tak sedikit dari me reka merasa frustrasi melihat keadaan tersebut, dirasakan seperti sedang menelanjangi demokrasi, lalu menertawai hingga menunggunya mati.

Sebuah konsep masyhur dalam psikologi dikenal frustration leads to aggression, rasa frustrasi menuntun kepada perilaku agresif. Sebodoh apa pun masyarakat ketika mereka tahu sedang atau telah dibohongi, pasti timbul rasa kesal dan benci di dalam relung hatinya.

Apalagi di budaya Timur, Indonesia khususnya, di mana orang-orang lebih banyak memendam perasaan dan apa yang ada di dalam pikiran mereka ketimbang mengung kapkannya secara langsung. Berbeda dengan budaya Barat yang lebih ekspresif mengung kapkan perasaan dan pikirannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement