Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle
Ketika kaki saya mendarat di Belanda September 1993, pemilu di sana tinggal beberapa bulan lagi (Mei, 1994). Partai utama koalisi yang berkuasa, CDA (Christian Democrat) yang dipimpin Ruud Lubbers mempromosikan Brinkman untuk menggantikan dia sebagai Perdana Menteri. Cornelis Elco Brinkman adalah politisi yang paling popular saat itu dan partai mereka merupakan "single majority" dengan suara 35,3%. Brinkman adalah manusia ambisius yang dimusuhi dan disegani banyak kawan dan lawan, termasuk dari partainya.
Pada 8 April 1994, persis tinggal sebulan pemilihan, sebuah perusahan yang dimiliki paman dari istri Brinkman terbongkar di media dalam investigasi "corporate fraud" (Skandal kejahatan perusahan). Terbongkar pula Brinkman tercatat sebagai pejabat/board di perusahan itu.
Rakyat Belanda marah kepada Brinkman. Merasa tertipu. Karena seorang pemimpin harusnya melaporkan semua hal secara jujur. Kenapa dia menyembunyikan bahwa dia mempunyai perusahan atau berafiliasi dengan sebuah perusahaan itu?
Akhirnya pada pemilu itu, CDA kehilangan 30% lebih kursi mereka di parlemen, Brinkman gagal menjadi Perdana Menteri dan bahkan dalam pemerintahan koalisi yang dipimpin Wim Kok, mereka dibuang menjadi oposisi, pertama sekali sejak tahun 1918.
A SOCIETY OF TRUST
The Trust Society adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan kepercayaan (trust). Berbagai ahli membagi The Trust Society ini ke dalam dua kelas, yakni, High Trust Society dan Low Trust Society. Negara2 maju dan beradab, seperti di Belanda dan barat diklasifikasikan High Trust society. Masa itu, kepercayaan ditandai dengan keterbukaan, memenuhi janji, tepat waktu dan menghormati hak hak orang lain. Keterbukaan seperti kita singgung di atas, jangan menjadi pemimpin yang menyembunyikan sesuatu. Memenuhi janji itu artinya "delivered" memenuhi apa yang dikatakan. Apa yang dibibir itulah yang di hati. Tepat waktu itu seperti "time is money", jangan " Jam karet ". Menghormati orang lain itu seperti jangan duduk dibangku bus/kereta api khusus orangtua/ibu hamil, jika itu bukan hakmu.
Orang-orang Belanda/barat, misalnya, bahkan tidak membuang plastik dipinggir sungai atau jalan, meskipun tidak ada yang lihat. Itu sudah mereka adopsi sejak Taman kanak-kanak. (Suatu hari pernah saya kaget ketika berjalan dengan ketua ormas pemuda Islam kita alumni Doktor dari Amerika, dia membuang botol aqua disembarang jalan Mega Kuningan).
Sebaliknya, Low Trust Society dilabelkan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Masyarakat ini ditandai dengan berbagai sifat sebaliknya, yang dianggap sebuah kelemahan, seperti, tidak terbuka, suka berbohong dan ingkar janji, lain dimulut lain dihati, curang, mengambil kesempatan jika tidak diawasi, mengambil hak orang lain, tidak tepat waktu alias "jam karet", memotong antrian, dan lain sebagainya.
Jika di Belanda dengan High Trust society, seorang pemimpin curang seperti Cornelis Brinkman langsung dimarahi dan mendapat balasan masyarakatnya dengan hancurnya popularitas dia dan partainya. Sebaliknya, di negara2 miskin seperti kita, rakyat yang " Low trust society, dengan ciri-ciri di atas, " biasanya kurang sensitif, bahkan cenderung permissif. Budaya masyarakat ini bahkan menikmati kerusakan-kerusakan moral yang terjadi.
Masa Depan Kita
Tetesan air yang terus menerus mengalir ke batu karang pasti akan dapat menghancurkan karang itu. Itu adalah prinsip kerja keras jika ingin mengubah sebuah budaya bangsa dari masyarakat yang tidak dapat dipercaya menjadi High Trust Society.
Budaya yang baik akan menciptakan "social trust". "Social Trust", yang saat ini sering dikaitkan sebagai " Social capital" sangat terkait pula dengan "political trust". Karena value atau nilai yang jadi standar acuan masyarakat akan mengontrol aktifitas politik elit2 mereka.
Namun, tetesan air itu datangnya dari atas. Artinya teladan itu harus dimulai dari elit2 bangsa, lebih khusus lagi presiden. Namun, jika kecurangan, seperti dalam pemilu saat ini, korupsi yang semakin ganas, ingkar janji politik terus memburuk, dan menghalalkan segala cara dalam sosial/politik, maka masa depan Indonesia akan jauh lebih buruk lagi.
Kita dengan pemilu penuh persoalan terindikasi bukan sedang membangun masyarakat beradab, melainkan kita akan hancur dalam masyarakat yang saling mencurigai, bermusuhan, saling menipu dan akhirnya lumpuh (Anomy).