Oleh: DR Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle
Calon Cawapres Jokowi yang batal, Professor Mahfud Md mengatakan bahwa tempat di mana Prabowo menang, di situ tempat Islam radikal. Saya tidak faham maksud dan tujuan dia yang berisiko bisa membelah bangsa ini.
Prabowo menang telak dari Sumatra bagian utara, sampai ke Sumatra bagian Selatan. Apakah mereka semua mempunyai faham Islam radikal?
Suatu hari guru ngaji saya almarhum Dr Mohammad Imaduddin Abdurrahim mengatakan bahwa penjajahan 350 tahun terhadap Indonesia sebenarnya tidak terjadi di Sumatra. Hanya Jawa yang di jajah Belanda 350 tahun. Kenapa? Karena Islam di Sumatra yang berkembang adalah Islam perlawanan. Bukan Islam Nusantara.
Apa beda Islam perlawanan vs Islam Nusantara? Secara sederhana Islam perlawanan mengajarkan kesetaraan, anti penindasan, dan kasih sayang. Dalam Islam perlawanan tidak ada tradisi cium tangan berlebihan sama kyai. Mengajarkan lebih baik mati dari pada di tindas atau di jajah. Tidak membolehkan kyai alias ustaz menjadi tuan tanah (dalam istilah PKI satu dari 7 setan desa).
Maka itulah yang menyebabkan rakyat Sumatra dari dulu mengutamakan egalitarian atau equal atau persamaan derajat sesama manusia. Dan keras melawan penindasan, seperti perang Aceh dan perang Padri melawan kolonial Belanda.
Islam ala Sumatra tidak mungkin dipaksa-paksa menjadi Islam Nusantara, yang kini dipopulerkan banyak orang seperti Romahurmuzy (Romi), menteri Agama Lukman Syaifuddin, Nusron Wahid, Cak Imin dan Said Aqil Siradj.
Dan meski Islam perlawanan ala Sumatra tidak merasa berlebih seperti Islam Nusantara, namun, jika stigma ini terus dibangun terus menerus, bahwa pendukung Prabowo adalah Islam radikal, garis keras, atau Khilafah, tentu rakyat sepanjang Sumatra akan merasa terganggu secara serius.
Ingat, Sumatra punya sejarahnya sendiri yang panjang, termasuk Aceh yang menyumbangkan pesawat terbang pertama bagi bangsa kita, sehingga presiden Sukarno di awal kemerdekaan bisa terbang leluasa menjelajahi pulau-pulau. Lalu untuk apa ada pihak yang ini memanasi kita? Apakah mereka sudah mempertimbangkan resikonya bagi keutuhan bangsa?