Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Denny JA dalam tulisannya di Republika pada Ahad (28/4) bikin analisis begini, bahwa kian mengentalnya paham keagamaan masyarakat punya peran dalam pergeseran suara pada Pilpres 2019 kali ini. Ia membayangkan, bahwa kemenangan telak Prabowo-Sandi di Aceh dan Sumatra Barat, dan keunggulan di Jawa Barat; erat kaitannya dengan "Islam garis FPI, 212, dan HTI serta konservatisme" di daerah-daerah tersebut.
Ia melihat, hal itu gambaran tren terbaru soal rekahan internal dalam Islam di Indonesia kian nampak dan harus segera dicari solusinya. Hal senada disampaikan juga oleh Prof Mahfud MD, senior jauh saya di Universitas Islam Indonesia.
Yang ingin saya pertanyakan, apakah tren tersebut memang barang mutakhir di Indonesia? Apakah kebangkitan FPI dan semangat 212 serta pembubaran HTI semata yang jadi pemicu rekahan itu, atau ada sesuatu yang lain?
Mari menengok sejarah. Aceh, kita pahami bersama, sedianya sudah sejak lama seperti itu. Salah satu alasan provinsi itu bersedia bergabung dengan republik adalah harapan bahwa negara ini akan dibangun dengan pondasi syariat Islam. Saat mengetahui bahwa ternyata bukan demikian, provinsi itu meradang. Kian dipanas-panasi kesan tak adil pusat terhadap kewenangan daerah, Daud Beureueh, pada 1953, sempat memproklamasikan bergabungnya daerah itu dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Selepas NII ditumpas, muncul gerakan pemberontakan Aceh merdeka yang menahun. Gerakan yang diberangus dengan sebegitu represif oleh Orde Baru, bahkan juga oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menerapkan daerah operasi militer. Pemberontakan yang baru bisa diredam pada 2004, selepas gempa besar, dengan prasyarat diwujudkannya janji lama soal penerapan syariat Islam menyeluruh di provinsi itu. Bagaimanapun, Prabowo-Sandi diperkirakan menang dengan perolehan 81-84 persen suara di Aceh.
Kemudian Sumatra Barat. Kita paham, sejak abad ke-18 ada gerakan puritanisme Islam di wilayah itu Gerakan yang meskipun awalnya bikin konflik dengan kaum adat, kemudian jadi perlawanan terhadap kolonialisme. Selepas kemerdekaan, muncul gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958.
Gerakan itu sedianya upaya mendesak pelimpahan hak otonomi lebih besar untuk daerah yang kemudian dicap sebagai pemberontakan oleh pusat. Penumpasan dari Jakarta, kala itu dengan kekuatan amat besar, menimbulkan trauma mendalam bagi warga Minangkabau. Gelombang perantauan dimulai, anak-anak juga mulai dihindarkan dari nama-nama Islami. Prabowo-Sandi di hitung cepat mendapat 84-87 persen suara di sini.
Bagaimana Jawa Barat? 11-12. Pada 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Tasikmalaya. Gerakan tersebut juga dipicu kekecewaan soal tak dijadikannya syariat Islam sebagai landasan negara meski tak lepas juga perihal kekecewaan terhadap kebijakan pucuk pimpinan TNI.
Dukungan terhadap NII di Jawa Barat kala itu tak bisa diremehkan. Baru bisa dipadamkan juga dengan operasi militer dan eksekusi Kartosoewirjo.Bahkan daerah lain, seperti Aceh di atas, sempat ikut menyatakan bergabung. Di Jawa Barat, Prabowo-Sandi meraih 55-60 persen merujuk hitung cepat.
Ada satu daerah lagi NII menancapkan kukunya, di Sulawesi Selatan. Di wilayah itu, pada 1953, DI/TII diproklamasikan dan dipimpin Kahar Muzakar yang juga kecewa dengan kebijakan pusat terkait pasukan TNI. Pada pilpres kali ini, menurut hitung cepat lembaga sigi ternama, Prabowo-Sandi unggul dengan perolehan 56 sampai 60 persen di Sulawesi Selatan.
Bahkan, masih aada satu lagi wilayah tempat Prabowo-Sandi, merujuk hitung cepat, menang besar, yakni Kalimantan Selatan. Prabowo-Sandi unggul dengan suara 62-67 persen di daerah itu. Silahkan ditebak, ya, daerah itu juga sempat jadi basis DI/TII yang dipimpin Ibnu Hadjar. Ia juga letnan TNI yang mlipir dan menyatakan setia terhadap NII pada 1954.
Jika kita lebih cermat menengok sejarah, bukan semata keinginan mendirikan negara Islam yang jadi alasan dukungan terhadap NII dan syariat Islam di daerah-daerah tersebut. Ada juga nuansa ketakpuasan terhadap pemerintah pusat yang kental sebagai pemicu gerakan-gerakan tersebut.
Yang ingin saya sampaikan, bukan semata tren terkini yang tercermin dalam hasil-hasil hitung cepat Pilpres 2019 di daerah-daerah tersebut. Ia adalah juga sentimen lama sekali yang belakangan muncul lagi. Dalam hal itu, menghakimi bahwa pemicunya semata radikalisme Islam adalah oversimplifikasi. Terlebih jika kita ingat, daerah-daerah sedemikian lama dianaktirikan pusat dan diperas sumber daya alamnya.
Jika dibaca baik-baik, anggapan bahwa "daerah Islam radikal" yang memenangkan Prabowo-Sandi juga jadi semacam standar ganda imperialistik. Saat daerah-daerah "hijau" tersebut dahulu dengan sengit menentang kolonial Belanda, mereka dibilang pahlawan. Perang Sabil dijura, Seulawah dikenang, Perang Paderi dipuji-puji, intelektual dari Minang disanjung-sanjung, keberanian orang Bugis/Makassar dikagumi.
(Ikuti Analisis dan Perspektif Para Kolomnis Republika di Sini)
Namun saat mereka menunjukkan ketakpuasan atas kekuasaan Jawa di Indonesia, tiba-tiba mereka berubah capnya jadi pemberontak, jadi kaum radikal.