Lepas Tarawih di masjid, saya mencoba mencari kehangatan tubuh dengan minum segelas Cappucino sebelum rehat malam. Sejak awal menyeruput kopi panas, mata tertuju kepada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di luar, persis depan kaca tempat saya duduk di dalam, dia tampak seumuran atau di bawah umur anak saya yang laki-laki.
Sedari tadi saya menatap wajahnya, tampak seperti sedang dirundung kesedihan di raut wajahnya. Entahlah dan sesekali dia mencuri pandangan ke dalam tempat saya minum dan beberapa orang sedang makan.
Terkadang ia merebahkan wajahnya di lipatan kedua tangannya yang sedang memegang tiga buah kemasan tisu dan tas berwarna merah yang bertengger di punggungnya. "Kamu sudah makan, Nak?" tanyaku.
"Belum Om," jawabnya langsung.
"Ayo masuk dan makan ke dalam Nak."
Sambil menunggu pesanan nasi goreng spesial dan es teh manis, saya coba mengulik lebih dalam tentangnya. "Siapa namamu, Nak?"
"Ridho," jawabnya singkat.
Tampak matanya sudah berkaca-kaca, entahlah sepertinya sesuatu yang dalam perasaannya begitu terasa. Kami terus berdialog.
Dia baru dua malam tinggal di sebuah rumah yang dihuni nenek dengan tiga anak cucunya. Selama ini dia selalu tidur di luar teras Indomaret kawasan Boulevard, Panukkang, Makassar.
Ridho seorang yatim piatu, sejak meninggal orang tuanya, dia mencari kehidupannya sendiri. Sebab rumah gubuk yaang dihuni katanya dibongkar karena di lahan milik orang.
Tadinya saya kurang percaya, mohon maaf apakah dia sekedar merangkai cerita agar dikasihani. Kakak satu-satunya juga meninggal dan akhirnya dia pergi ke Makassar, tapi dia tidak menjawab di mana kampungnya.
Saya bertanya, "Di mana kamu tinggal dan mandi?"
"Saya tinggal di situ," ujarnya, sambil menunjuk sebuah masjid di sisi kanan jalan. Kalau mandi dia ke masjid pakai kamar mandi di sana.
"Usia 13 tahun, tidak sekolah," ujarnya sambil menyeka air mata yang tumpah mengaliri kedua pipinya.
Baru dua hari dia ditampung seorang nenek yang mengambil dan memberikan tumpangan di rumahnya. Sejak dua hari nenek tersebut memberikan dia pekerjaan jualan kertas tisu, yang dijual seharga Rp 5.000 per kotak.
Akhirnya nasi goreng pesanannya datang, tanpa jeda, dengan lahap dihabiskan. Sepertinya dia baru merasakan makanan seenak nasi goreng tersebut.
Karena penasaran, saya coba bertanya lagi. "Nak, boleh saya bertemu dengan nenek yang tampung Ridho?” Dia bersedia.
Dan...
Sejujurnya bukan hanya kisah Ridho yang membuat saya sedih, namun terbesit ada sosok manusia yang kemudian dengan lembutnya melihat dia sebatang kara dan mau menampungnya. Jarak dari lokasi kami makan sekitar 500 meter. "Itu nenek di sana!” Ridho menunjuk, namun saya tidak bisa melihat jelas.
Saya semakin penasaran, lalu membiarkan Ridho turun dan menghampiri sosok nenek yang dimaksudnya. Betapa lemas lutut ini, karena melihat ada seorang perempuan paruh baya dengan memakai rompi parkir yang dihampiri Ridho.
Ketika dari kejauhan Ridho bertemu dan betapa sang nenek menyambutnya dengan kasih sayang yang tulus. Lalu memberinya minum yang dibelinya dari dalam.
Terus terang saya meleleh melihatnya, merasa tercabik hati ini. Saya keluarkan dulu air mata ini dan saya harus menghampiri ibu yang baik tersebut.
Nenek itu ternyata sudah menjadi juru parkir selama puluhan tahun untuk menghidupkan tiga anak. Dan kini dia telah menampung satu anak lagi di rumahnya.
Duhai Rabb, malu hati ini padanya. Saya datangi ibu tersebut dan saya berkenalan dan mencium tangannya.
"Maaf bu, tadi saya ketemu Ridho dan ajak dia makan, setelah itu saya antar pulang, katanya tinggal sama nenek, maaf Nek siapa namanya?" ujarku, menyapanya.
"Saya Emy, sudah 20 tahun saya jadi juru parkir di sini," jelasnya.
Duhai Rabb...inilah sang ibu tukang parkir yang mengambil anak itu. Saya minta beliau cerita, bagaimana dia bisa temukan Ridho.
Dengan logat Makassarnya yang kental, ibu itu berkisah panjang lebar. "Itu hari saya liat, dia tidur di teras toko ini. Saya kasihan lihat dia, akhirnya kubawaki ke rumahku di lorong 5 sini, Pak."
"Kebetulan ada juga cucu-cucuku, jadi biarmi tinggal sama saya, terus kukasihkan tisu setiap hari biar jualan tisu untuk makan sehari-harinya".
Malam itu, saya kehilangan kalimat, tiba-tiba saja menampar wajah hati saya. Bahwa di kolong langit ini ada banyak tersembunyi manusia-manusia langit dengan sikap pengasih dan penyayang.
Ia mungkin tak hafal atau tahu ada ayat serta hadits tentang menolong, tetapi yang dia tahu dalam dirinya ada sifat Tuhan yang dia aktifkan. Di tengah kesulitannya dia hanya tahu bahasa Tuhan adalah menolong dan menyayangi.
Seorang teman akhirnya berkomitmen untuk membantu Ridho dan mengambilnya sebagai anak asuhnya. Cukuplah Allah yang membalasnya.
Duhai Rabb..
Apalah aku ini.... terlalu merasa dekat dengan-Mu, namun di luar sana ada orang yang langsung menjadi duta-duta-Mu tanpa embel-embel dan aneka simbol pengklaiman dekat dengan-Mu.
TENTANG PENULIS
SYUKRI WAHID, Pegiat Sosial Politik