REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, Oleh: Purwo Udiutomo, Educational Development Manager Dompet Dhuafa Filantropi
Ada yang aneh dari judul di atas? Bukankah seharusnya Syawal yang berarti bulan peningkatan? Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”
Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha, artinya onta betina menaikkan ekornya. Bulan Syawal adalah masa di mana onta betina tidak mau dikawini para pejantan. Ketika didekati pejantan, onta betina mengangkat ekornya. Keadaan ini menyebabkan munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah terhadap Bulan Syawal. Sehingga mereka menjadikan Bulan Syawal sebagai bulan pantangan untuk menikah.
Ketika Islam datang, Rasulullah SAW justru menikahi istri beliau di Bulan Syawal. Untuk membantah anggapan sial masyarakat jahiliyah. Akan tetapi, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena seusai Ramadhan, manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan.
Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal. Lalu, bagaimana Ramadhan dapat meningkatkan kualitas diri? Di sini ada dua terminologi yang dapat dibahas yakni peningkatan (improvement) dan kualitas (quality).
Pertama, Ramadhan secara alami sudah menjadi momentum improvement. Berbuat baik begitu mudah di bulan Ramadhan karenanya menjadikan Ramadhan sebagai momentum perbaikan diri tidaklah menjadi hal yang aneh. Datang ke masjid untuk shalat berjamaah, tilawah Alquran selepas shalat bukan hal yang aneh di bulan Ramadhan bahkan bagi yang jarang melakukannya sekalipun.
Tidak sedikit juga muslimah yang memulai berhijab di bulan Ramadhan. Sekali lagi karena momen Ramadhan sangat tepat untuk melakukan perbaikan ke arah kebaikan, bahkan barangkali lebih efektif dari momentum hijrah 1 Muharram. Karena pergantian tahun baru biasa diisi dengan evaluasi diri bukan pembiasaan melakukan kebaikan.
Kesadaraan sesaat tidak akan lama bertahan, berbeda dengan momentum Ramadhan, yang bahkan gema kebaikannya dapat dirasakan dari sebelum Ramadhan hingga selepas Ramadhan. Ramadhan bahkan seperti Poka Yoke yang menghindari manusia dari melakukan kesalahan. Poka-Yoke didefinisikan sebagai suatu konsep manajemen mutu guna menghindari kesalahan akibat kelalaian dan kesalahan karena sifat manusiawi yaitu lupa, tidak tahu, dan tidak sengaja dengan cara memberikan batasan-batasan dalam pengoperasian suatu alat atau produk.
Jadi, tujuan utama dari penerapan konsep Poka-Yoke ini adalah untuk mencapai keadaan bebas-cacat (zero-defects). Contoh paling sederhana penerapan Poka-Yoke di bulan Ramadhan adalah waktu imsak yang menghindarkan umat Muslim kebablasan makan hingga lewat waktu shubuh, pun makan di waktu imsak masih diperbolehkan.
Dalam keseharian di bulan Ramadhan, barangkali kita kerap mendengar puasa nggak boleh bohong, jangan gosip di bulan Ramadhan, atau orang puasa nggak boleh marah. Di sinilah status sedang berpuasa mampu menjadi kontrol untuk menghindarkan manusia dari berbuat kesalahan.
Kesalahan yang sebenarnya juga mendatangkan dosa bila dilakukan di luar Ramadhan, tetapi di bulan Ramadhan bisa dihindari. Suasana Ramadhan yang sangat kondusif inilah yang memungkinkan self-improvement selama bulan Ramadhan dapat optimal, terutama improvement dalam aspek spiritual, emosional, dan sosial.
Selanjutnya, berbicara tentang kualitas, definisi yang banyak digunakan adalah menurut Juran, Crosby dan Deming. Pengertian kualitas menurut Juran adalah kesesuaian antara tujuan dan manfaatnya. Atau sejauh mana kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan (fitness for use).
Menurut Crosby, kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan atau persyaratan (conformance to requirements) yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability dan cost effectiveness. Sedangkan menurut Deming, tujuan kualitas adalah untuk memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini dan di masa depan. Kualitas bermakna pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus menerus, sehingga kualitas berarti sesuatu yang kontinyu, senantiasa ada perbaikan, dan tidak stagnan (continuous improvement).
Adapun dalam KBBI, kualitas atau mutu identik dengan kadar, taraf, atau derajat (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya). Kualitas menyoal tingkat baik buruknya sesuatu, sementara mutu menunjukkan ukuran baik buruknya sesuatu. Lantas, apa hubungannya Ramadhan dengan kualitas diri? Ada pertanyaan lebih penting yaitu “Bagaimana meningkatkan kualitas diri melalui Ramadhan?” Karenanya kedua pertanyaan tersebut sebaiknya dijawab secara simultan melalui tadabur ayat-ayat Alquran tentang puasa.
Pertama, dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 183, jelas termaktub tujuan dan manfaat berpuasa yakni la’allakum tattaqun. Karenanya kualitas diri yang diharapkan menjadi keluaran (output) dari ibadah di bulan Ramadhan adalah pribadi yang bertakwa.
Kata la’alla dalam Alquran memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang yang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.
Makna la’alla disini berbeda dari persangkaan (zhann) ataupun perkiraan (hisban). Maknanya lebih identik dengan kata semoga (‘asaa). Sedangkan ‘asaa dan la’alla jika berasal dari Allah SWT maka ia adalah jaminan kepastian (tahqiq), bukan sekadar harapan (tarajji).
Dalam rangkaian ayat tentang shaum Ramadhan di Surah Al Baqarah, kata la’alla bahkan disebutkan 4 kali yakni la’allakum tattaqun (ayat 183), la’allakum tasykurun (ayat 185), la’allahum yarsyudun (ayat 186) dan la’allahum yattaqun (ayat 187). Hal ini menunjukkan betapa banyak jaminan kepastian terhadap kualitas output selama prosesnya dilalui dengan baik. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas diri melalui Ramadhan adalah dengan menetapkan target Ramadhan yang SMART (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely).
Target ini tentunya bukan sekadar dibuat agar ada, namun juga diupayakan pencapaiannya secara sungguh-sungguh dan dievaluasi. Secara bertahap ditingkatkan levelnya sehingga terjadi continuous improvement dari Ramadhan yang satu ke Ramadhan berikutnya. Di titik inilah, peningkatan kualitas diri melalui Ramadhan dapat tercapai.
Selanjutnya, dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 184 yang menyampaikan tentang keringanan (rukhshah) bagi orang-orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan atau bagi orang-orang yang berat menjalankannya, diakhiri dengan kalimat “…wa an tashumu khairullakum in kuntum ta’lamun”. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ayat-ayat rukhshah biasanya diiringi dengan penjelasan mengenai kemurahan Allah SWT. Misalnya dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3, Al An’am ayat 145, dan An Nahl ayat 115 yang memberi rukhshah bagi mereka yang memakan bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan dengan menyebut nama selain Allah SWT, karena terpaksa dan tidak melampaui batas, kesemua ayat tersebut diakhiri dengan Sifat Allah Yang Maha Pengampun (Al Ghafur) lagi Maha Penyayang (Ar Rahim).
Atau dalam Alquran Surah An Nisa terkait rukhshah berupa tayammum, juga ditutup dengan Sifat Allah Yang Maha Pemaaf (Al Afuww) lagi Maha Pengampun (Al Ghafur). Adapun dalam Alquran Surah Al Maidah ayat 6 tentang rukhshah berupa tayammum diakhiri dengan kalimat, “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Kalimat yang mirip dengan rukhshah mengganti puasa bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan dalam Surah Al Baqarah ayat 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah SWT atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Hal ini menunjukkan kemurahan Allah SWT tetaplah ada, walaupun ada keutamaan jika tidak mengambil rukhshah. Ya, cara selanjutnya untuk meningkatkan kualitas diri melalui Ramadhan adalah menjalaninya dengan penuh kesungguhan, tidak mudah memberikan excuse ke diri sendiri.
Target besar Ramadhan hanya dapat dicapai bahkan dilampaui dengan persistensi dan determinasi tinggi. Tidak mudah menyerah, mencari alasan ataupun berusaha seadanya dan sekadar melakukan yang mudah.
Peningkatan kualitas diri itu justru terletak pada perjuangan dan pengorbanan yang mengiringinya. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186).
Apa hubungan berdoa dengan berpuasa? Apa pula hubungannya dengan peningkatan kualitas diri? Persamaan terbesar antara doa dengan puasa adalah ibadah yang sifatnya langsung ke Allah SWT. Kuat pada aspek kesertaan Allah (ma’iyatullah) dan pengawasan Allah (muraqabatullah).
Pun demikian dengan peningkatan kualitas diri, tantangan terbesarnya justru pada diri sendiri. Target Ramadhan yang sudah dibuat bisa saja dengan mudah diturunkan standarnya jika tidak tercapai, toh yang mengevaluasi diri sendiri. Aktivitas peningkatan kualitas diri selama bulan Ramadhan gampang saya ditunda atau dialihkan dengan berbagai alasan toh yang merancangnya adalah diri sendiri.
Tanpa ma’iyatullah dan muraqabatullah tidak sulit mentolerir berbagai kelalaian dalam upaya peningkatan kualitas diri. Toh masih ada hari lain, toh masih ada Ramadhan tahun depan. Disinilah ihsanul amal dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas diri.
Terus berbuat baik dengan atau tanpa orang lain mengetahuinya. Cermat mengawasi diri sendiri, kalaupun lalai, tetap menyadari bahwa Allah SWT tak pernah lalai mengawasi. Nuansa Ramadhan memberi stimulan yang cukup untuk bisa belajar beramal dengan ihsan dan ikhlas. Imanan wahtisaban.
Tak heran jika salah satu doa yang tidak tertolak adalah adalah doa orang yang berpuasa sampai ia berbuka. Selanjutnya, dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 187 ada analogi yang menarik tentang suami istri, “…hunna libasullakum wa antum libasullahunna…”. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Analogi pakaian (libas) menggambarkan suami istri yang saling melengkapi dan melindungi, menjadi perhiasan dan menutupi aib, memberikan kebahagiaan dan kenyamanan.
Mengapa ada analogi seperti ini dalam rangkaian ayat tentang shaum Ramadhan? Apa pula kaitannya dengan peningkatan kualitas diri? Sehebat apapun pribadi seseorang, ia tetap membutuhkan orang lain untuk terus berkembang.
Peningkatan kualitas diri amatlah berat untuk diusung sendirian, harus ada (sekumpulan) orang lain yang mendampingi. Jangan sendirian! Jelas sudah, Ramadhan adalah bulan peningkatan. Momentum berharga untuk melakukan perbaikan diri yang terus-menerus (continuous self-improvement).
Guna menjadi pribadi yang bertakwa, pribadi yang pandai bersyukur, pribadi yang diberi petunjuk. Untuk menghadirkan sekumpulan orang yang bertakwa, sebagaimana telah dijanjikan Allah SWT dalam Alquran.
Peningkatan kualitas diri akan hadir ketika ada tujuan yang jelas, upaya nyata penuh kesungguhan untuk mewujudkannya, kecermatan dalam menjalankannya, dan sekumpulan orang yang mendukungnya. Bagaimanapun, Ramadhan bukan hanya untuk pribadi kita, namun Ramadhan ada untuk kita semua.
“Siapa berpuasa Ramadhan imanan wahtisaban, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wahtisaban, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).