Kajian Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI mengindikasikan, di antara faktor penyebab disharmoni adalah fenomena pemahaman keagamaan tekstualis, eksklusif. pemahaman keagamaan superfisial dan partial gagal menyerap pesan utama dan substansi beragama.
Pemahaman tekstual ini sering mengabaikan konteks asbabun nuzul (asal usul turunnya ayat). Padahal untuk menangkap pesan Alquran secara komprehensif harus mengakrabi asbabun nuzul, latar belakang kondisi wahyu Ilahi diturunkan. Demikian juga skriptualis umumnya menggunakan hadist Nabi tanpa mendalami asbabul wurud (asal usul lahirnya sebuah hadist).
Intinya konteks sosio-historis terabaikan dalam pola pemahaman seperti ini. Sebagai akibat mucullah eksklusifisme, maka kebiasaan kelompok ini dalam kehidupan nyata sering gagal paham terhadap kelompok lain, memutlakkan kebenaran pemahamannya, serta tidak kenal kesetaraan, inklusivisme dan kerja sama.
Penyebab disharmoni yang sudah dirasakan masyarakat secara luas adalah akibat pilkada, pileg, dan pilpres. Sudah menjadi rahasia umum pilihan politik yang berbeda telah merenggangkan hubungan keluarga, masyarakat sehingga membawa pada situasi tidak harmonis. Apalagi masa kampanye pra pilpres yang demikian panjang, telah membawa dampak saling curiga, bahkan sampai tingkat tertentu kebencian yang berkepanjangan meski sama-sama Muslim.
Ramadhan diyakini menjadi momentum pemersatu bangsa. Luka disharmoni yang disebabkan oleh pelbagai faktor, secara teoritis semestinya bisa terkikis jika umat berhasil menangkap dan mengamalkan hikmah Ramadhan. Marilah kita Muslim Indonesia pastikan damai adalah makna dan pesan dasar Islam yang harus diperjuangkan dengan segala kemampuan lahir batin, peaceful jihad.
Memang peace dalam Islam jelas sekali tersirat dalam ibadah ritual Islam. Dilarang bertengkar, adu mulut apalagi, adu fisik selama Ramadhan sudah menjadi etika standar. Tujuan utama shaum adalah status muttaqin di mana pengendalian diri merupakan prasyarat utama.
Salah satu ciri manusia takwa lebih peduli pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi. Manusia takwa adalah manusia yang seimbang kehidupan dunia dan akhiratnya, antara kehidupan pribadi, keluarga, sosial dan kenegaraannya, serta harmonis antara emosi dan akal sehat serta lilngkungan.
Manusia seperti ini jelas lebih pilih pola hidup harmoni, dari pada permusuhan dan kebencian. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, “melihat dengan pandangan kasih sayang, mendengar dengan penuh kesabaran, berbicara dengan bahasa cinta.”
Pengalaman penulis sebagai akademisi Muslim Indonesia berinteraksi, dialog damai dengan dunia kampus AS di bulan Ramadhan lebih dari satu dekade yang lalu membuktikan potensi manusia untuk damai semestinya harus lebih diberi ruang dan dilatih secara berkesinambungan sebagaimana latihan dalam bulan Ramadhan.
Bukan sebaliknya sisi-sisi konflik kemanusiaan dan peradaban yang ditonjolkan sebagaimana tulisan Samuel Huntington. Salah seorang wartawati muda Newport Daily, Nicole Chevrette, yang juga ikut berdialog di kampus tempat penulis mengajar, dalam artikelnya menjadi saksi pentingnya dialog kemanusiaan pada bulan Ramadhan:
As Prof. Mas`ud learns about Westrern culture simply by being here, he is also teaching students, many of whom never had any significant interaction with the Islamic world, but who are likely to after graduation. The fact is that Muslims desire peace as much as Westerner do. We must learn to overcome culture devide
(Sementara Prof. Masud belajar budaya Barat dengan kehadirannya di sini, dia juga mengajar mahasiswa-mahasiswi yang kebanyakan mereka belum pernah berinteraksi dengan dunia Islam, tapi agaknya mereka akan mengalami interkasi setelah wisuda. Kenyataannya adalah dunia Islam mendambakan kedamaian, sama seperti orang Barat memimpikannya. Kita, orang Barat, harus belajar untuk mengatasi benturan budaya).
TENTANG PENULIS
Prof H. Abd. Rahman Masud, Ph.D, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan (Kabalitbangdiklat) Kementerian Agama.