Oleh: Savitri Icha Khairunnisa, Perantau Indonesia di Norwegia
Saya mau cerita sedikit tentang pentas perpisahan anak-anak kelas 7 di sekolah Fatih tadi sore. Secara umum acara yang berlangsung di sekolah anak saya itu berjalan lancar dan meriah.
Acara ini pun unik karena seluruh penyelenggaraan dilaksanakan oleh para siswa kelas 7 Rossabø Skole. Mulai dari penentuan tema besar ("musicals" dan "feelings"), membuat undangan, run down acara, kostum, penataan panggung, urusan lighting, sound system, sampai para pengisi acaranya, semua dikerjakan secara gotong-royong oleh anak-anak ini. Mereka berbagi tugas dengan sangat kompak. Sungguh hasil kerja mereka patut diacungi jempol.
Fatih kebagian main gitar solo dengan lagu andalannya "Romance". Dia satu-satunya pemain musik yang tampil sendiri. Pengisi acara lainnya ada yang menari secara berkelompok, drama, dan nyanyi duet. Menurut saya selaku emak Fatih, tentu saja Fatih penampil terbaik. Permainan gitarnya sungguh ciamik, menggunakan teknik fingerstyle, dan nyaris tanpa salah, dia mainkan dengan penuh perasaan. Tanpa partitur, karena lagunya memang sudah dihapalnya sejak lama.
Tapi yang membuat saya menulis cerita ini bukan permainan Fatih. Setelah sekian penampil yang cukup menghibur, duet MC membuka dengan narasi, yang kurang lebih begini:
"Menurutmu, ada yang salah nggak, kalau seorang lelaki suka dengan sesama lelaki?"
Dijawab oleh MC satunya, "Tentu saja tidak ada yang salah. Semua orang boleh menyukai siapapun yang dia mau."
Kemudian kami disuguhi dengan lagu "Summer Nights" yang jadi salah satu soundtrack film "Grease" yang populer di akhir era '70-an. Alih-alih menampilkan kisah asmara ala John Travolta dan Olivia Newton-John, beberapa teman sekelas Fatih mengubah jalan ceritanya menjadi saling naksir antara dua pemuda.
Di satu sisi panggung ada anak-anak yang memakai kostum jaket kulit. Di sisi lain, pemuda yang ditaksirnya berdandan ala "queer" dengan kacamata warna-warni plus jaket bulu putih nan feminin (silakan bayangkan gaya panggung Elton John).
Untuk melengkapi penampilan, dua orang teman Fatih memegang bendera pelangi (yang jadi simbol gerakan kaum Nabi Luth itu) sebagai latar belakang. Mohon maaf saya nggak bisa menampilkan fotonya di sini. Ada beberapa orangtua teman sekelas Fatih yang berteman dengan saya di facebook ini.
Saya terus terang terkejut dan marah dengan penampilan itu. Kok bisa anak-anak usia SD ini diizinkan mengusung tema LGBTQ di panggung yang disaksikan oleh para orangtua dan adik kakak mereka? Tentu mereka melakukannya dengan sepengetahuan dan persetujuan para guru.
Ah, tapi kemudian saya ingat bahwa wali kelas Fatih adalah pendukung garis keras gerakan kaum menyimpang itu. Ia dengan bangga ikut serta dalam pawai "Gay Pride" di Haugesund tahun lalu. Meski ia tak pernah secara tegas menularkan nilai-nilai LGBTQ ke para muridnya, tapi dalam beberapa kesempatan di jam pelajaran, ia menyampaikan bahwa semua orang boleh mencintai siapapun. Cinta itu universal. Cinta tak mengenal batasan gender. Dan seterusnya dan seterusnya.
Maka seharusnya saya tak perlu kaget atau heran. Hanya tetap saja hati ini tidak terima. Mereka ini masih anak-anak, meski sebagian mungkin sudah mencapai usia puber. Mengangkat tema penyimpangan seksual dan membuatnya sebagai hal normal adalah hal yang tidak bisa saya tolerir. Bahkan ketika salah satu lirik lagu itu berbunyi, "I went to bed with him", penonton malah tertawa dan terhibur.
Meski saya tetap bertahan di tempat duduk demi kepantasan, penampilan ini jadi satu-satunya di mana saya tidak bisa ikut bertepuk tangan seperti para penonton lain.
****
Tentu saja pentas di sekolah itu yang jadi bahan bahasan saya dan Fatih dalam perjalanan pulang. Saya ceritakan bahwa para pelaku LGBTQ ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu, bahkan di dalam Alquran pun kisah mereka diabadikan sebagai pelajaran dan peringatan bagi umat-umat selanjutnya.
Di zaman Nabi Muhammad Salallaahu 'alayhi Wassalaam ada tuntunan bagaimana Islam memperlakukan orang dengan perilaku demikian. Diisolasi dan disembuhkan. Demikian pula kasus para "pria melambai" yang diamankan oleh polisi syariah di Aceh, untuk disembuhkan dan dikembalikan ke fitrah mereka sebagai lelaki sejati. Kasus ini sempat viral karena para pendukung HAM protes dan menganggap perlakuan terhadap para "pria melambai" itu tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.
Para pelaku, pegiat, dan pendukung LGBT ini eksis sejak dulu, sekarang, dan akan tetap ada sampai kapanpun.
Fatih menimpali, bahwa dia harus berhati-hati dalam menyikapi isu ini. Norwegia, sebagaimana negara Barat pada umumnya, sangat menghormati hak-hak kaum LGBT. Mereka bebas mempraktikkan gaya hidupnya. Pernikahan sesama jenis bukan saja legal, tapi sudah boleh diresmikan oleh pihak gereja.
Yang saya syukuri, Fatih sadar sepenuhnya bahwa LGBT adalah perilaku menyimpang dan dilaknat Allah. Namun dia harus bisa mengendalikan sikap ketika berhadapan dengan isu ini. Ada beberapa temannya yang juga tidak setuju, tapi sebagian besar menganggap bahwa LGBT adalah perilaku normal yang perlu mendapat hak sama sebagai manusia.
Fatih mengakhiri dengan kesimpulannya, "Suatu hari nanti, orang gay akan dianggap orang pemberani dan membanggakan. Kita yang menentang kelakuan kaum gay akan menjadi orang yang aneh."
Very well said, Fatih. Kita tidak perlu menunggu "suatu hari nanti", karena sekarang pun sudah demikian. Di negeri sekuler dan liberal, para penentang LGBTQ dianggap sebagai kaum homophobic yang konservatif dan intoleran. Kalau tidak hati-hati, sikap kita akan termasuk pada pasal hate speech.
Saya mengakhiri diskusi dengan Fatih, dengan nasihat bahwa ia jangan menghina, mengejek, atau membenci teman atau orang yang melakukan atau mendukung LGBTQ. Mereka juga manusia ciptaan Allah.
Waspada, jauhi, dan bencilah perilakunya.
Semoga anak keturunan kita dijauhi dari semua hal yang dilarang oleh Allah. Aamiin yaa Robbal alaamiin.
****
Saya menyampaikan hal ini sebetulnya sebagai penyeimbang. Selama ini saya selalu menceritakan kebaikan dan keunggulan sistem pendidikan Norwegia. Banyak sekali memang hal positif yang bisa kita ambil, dan syukur-syukur diaplikasikan untuk perbaikan dan kemajuan pendidikan di Indonesia.
Tapi tak ada yang sempurna di dunia ini.
Sebagus-bagusnya pendidikan di negeri Barat, ada hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan kita sebagai Muslim. Ada hal-hal yang harus diwaspadai agar kita tidak terjerumus sebagai pendukung apalagi pelakunya. Na'udzubillaahi min dzaalik.Jangan sampai kita membenarkan dan menjadi permisif semata atas nama hak asasi manusia.
Semoga kita bisa tetap menyampaikan apa yang kita yakini benar, tanpa rasa takut, dengan cara yang baik.
*