Sabtu 15 Jun 2019 04:31 WIB

Kisah Di Sekitar Terbunuhnya Cornelis de Houtman

Pada 11 September 1599, Cornelis de Houtman, dibunuh oleh Laksamana Keumala Hayati

Armada VOC berlabuh di teluk Jakarta.
Foto: Gahtena.nl
Armada VOC berlabuh di teluk Jakarta.

Oleh: Benny Ohorella, Penulis dan Penikmat Sejarah

Pada 11 September 1599, Cornelis de Houtman, dibunuh oleh Laksamana Keumala Hayati dari Aceh, lalu armada de Houtman disita. Ini adalah ekspedisi dagang kedua Belanda ke Nusantara. Sikap de Houtman yang pongah dan kasar, memicu konflik hampir di semua tempat yg dia kunjungi.

Pada kunjungan pertama thn 1596, dia diusir dari Banten. Ketika armadanya diserang perompak di lepas pantai Tuban, dia menumpahkan kemarahannya dgn menyerang sejumlah kampung di pulau Madura yg justru telah menolong dia dan orang-orangnya memperbaiki kapal dan merawat mereka yang luka-luka.

Hal ini mendorong Ratu Elizabeth I memilih jalur diplomasi, dgn mengirimkan surat permohonan restu kepada Sultan Aceh utk mengizinkan Inggris berdagang di Nusantara. Restu Sultan Aceh ini diikuti oleh sejumlah Sultan di Nusantara, sehingga mereka ramai-ramai mengikat perjanjian dagang dengan Inggris, salah satunya Banten.

Tahun 1602, VOC berdiri, sebuah perusahaan swasta multinasional yang dimaksudkan utk menyatukan berbagai usaha dagang yang dimiliki orang-orang Belanda dalam satu koordinasi. Perusahaan ini walau saham-saham utamanya dimiliki oleh para Staten Generale Belanda tapi selebihnya bisa dimiliki oleh siapapun yang bisa urun modal baik berupa uang, barang ataupun tenaga. Dengan cara ini, sebuah negara kecil seperti Belanda bisa berkompetisi melawan para raksasa seperti Inggris, Spanyol ataupun Portugal.

Salah satu misi VOC yang pertama adalah memperbaiki hubungan dgn Kesultanan Banten, mengingat berita dari Cornelis de Houtman dulu, Banten adalah salah satu sumber utama rempah-rempah, dan karena kekurangajaran Cornelis saja perdagangan dengan Banten berantakan.

VOC lalu datang dengan membawa banyak hadiah dan janji perdagangan yang menguntungkan. Sultan Banten lalu mengizinkan VOC mempuyai wilayah sebagai tempat mereka melabuhkan kapal dagang, kantor administrasi dan membangun gudang.

Sultan Banten lalu menugaskan Pangeran Jayakarta mencarikan wilayah tersebut, Pangeran Jayakarta lalu memberikan wilayah di tepi timur Sungai Ciliwung, di sebrang istana dan benteng Jayakarta yg berada di tepi barat Sungai Ciliwung. Di sana VOC mendirikan benteng kecil, dermaga dan bangunan kantor dan gudang. Pembangunan pos dagang permanen VOC pertama di Nusantara ini selesai tahun 1611.

Sementara itu pada tahun yang sama (1602), Banten mengetahui bahwa Sultan Aceh telah merestui Inggris untuk masuk ke Nusantara, dan cara Inggris yang sopan ini membuat Pangeran Jayakarta merasa perlu mengimbangi Belanda dengan mengizinkan Inggris juga memiliki perwakilan Banten. Ketika itu memang kedudukan Belanda terlihat semakin lama semakin kuat. Pangeran Jayakarta mengizinkan Inggris membangun benteng, dermaga dan berbagai yang serupa dengan VOC di tepi barat Sungai Ciliwung, bahkan berdekatan dengan istana Pangeran Jayakarta.

Hal ini membuat VOC marah dan mengajukan keberatan kepada Pangeran Jayakarta, tapi Pangeran Jayakarta tidak menanggapi. Dan hubungan VOC dengan Banten, terutama dengan Pangeran Jayakarta mulai panas.

Tahun 1618, konflik ini pecah menjadi konflik bersenjata. Pasukan Pangeran Jayakarta dibantu pasukan Inggris saling serang dengan para prajurit VOC. Di sini terlihat sifat multinasionalnya VOC. Pasukan Banten terdiri dari orang-orang Banten atau Demak, pasukan Inggris terdiri dari orang-orang Inggris, tapi prajurit VOC terdiri dari orang-orang Belanda, Jepang, negara-negara Skandinavia bahkan orang-orang Inggris dan Jawa (Banten/Demak) sendiri.

Ya, karena VOC bukanlah sebuah negara, tapi sebuah perusahaan. Dalam pertempuran itu, kebetulan armada Inggris berada di sekitar Laut Cina Selatan, maka tak berapa lama 15 kapal perang Inggris tiba di Batavia, dan segera membuat VOC kocar-kacir. Benteng VOC babak belur tapi bertahan, walaupun begitu hal itu cukup untuk membuat Gubernur Jenderal VOC di Hindia Timur, Jan Pieterzoon Coen harus melarikan diri ke Ambon. Di sana VOC baru saja menaklukkan benteng Portugis, dan Coen berharap bisa bersembunyi di sana sambil menyusun armada baru utk mengatasi kekisruhan di Jayakarta.

Sementara itu di Jayakarta yang ditinggal Coen, benteng VOC hampir menyerah, penjaga benteng VOC sudah tinggal 24 orang, walau persediaan amunisi masih banyak, tapi tembakan meriam-meriam Inggris terus membombardir tembok benteng. Tapi, perkembangan buruk justru terjadi di kubu Banten - Inggris.

Sultan Banten meminta Pangeran Jayakarta menegosiasikan ulang perjanjiannya dgn Inggris, krn menurut Sultan, perjanjian sebelumnya dibuat tanpa persetujuan Sultan Banten. Pangeran Jayakarta, diminta datang ke pusat Kesultanan Banten (dekat Serang sekarang) dan tidak diizinkan kembali sebelum masalah ini selesai. Inggris marah dengan keadaan ini, karena mereka beranggapan bahwa perjanjian mereka telah legal sehingga tidak ada alasan utk dinegosiasikan ulang. Inggris menghentikan bantuannya dalam pertempuran dengan VOC, membuat para penjaga benteng VOC bisa bernafas lega, tidak ada lagi meriam-meriam Inggris yg menyalak menghantam benteng mereka. Senjata pasukan Banten tidak ada pengaruh apa-apa terhadap tembok benteng yang tebal.

Melihat kondisi ini, VOC merasa bahwa inilah saat yg tepat utk melakukan pembalasan. Bulan Mei 1619, Coen datang kembali dengan 17 kapal perang dan lebih dari 1000 orang pasukan darat. Ketidakseriusan Inggris dan posisi Pangeran Jayakarta yang tidak di lokasi, membuat pasukan VOC bisa merajalela. Benteng VOC segera dibebaskan dari pengepungan dan bahkan menyerang langsung Jayakarta sendiri. Melihat ini, Inggris memilih melarikan diri. Pasukan VOC pun berhasil merebut Jayakarta dan membakar habis semua dan menghancurkannya hingga rata dengan tanah.

Di lokasi tempat dulu Jayakarta berdiri, Coen mendirikan benteng baru yang lebih luas dan besar. Diperlengkapi secara kemiliteran dengan sangat baik. Dan tanggal 18 Januari 1621, secra resmi sebuah kota baru berdiri dengan nama Batavia. Diambil dari nama Batavii, sebuah nama suku Jerman yang dulu mendiami pulau2 di muara sungai Rhine. Pulau2 di zaman purba ini akhirnya menjadi satu setelah suku ini menguasai cara mengeringkan rawa-rawa dan wilayah sungai yg dangkal sehingga menjadi negeri Belanda (Netherlands == tanah rendah). Diyakini, suku Batavii ini adalah nenek moyang orang Belanda.

Di sini terlihat bahwa jika dihitung dengan benar maka nusantara ini tidak dikuasai VOC (lalu lanjut Belanda) selama 350 tahun, tapi jauh kurang dari itu. Kenapa? tahun 1596, orang Belanda pertama saja baru datang (1942 - 1596 = 346 tahun), dan itu sudah keliru. Bahkan armada dagang Belanda hancur lebur di tahun 1599. Tahun 1602, VOC baru berdiri dan baru tahun 1621 mampu menaklukkan Jayakarta. Inilah tempat pertama yg DIREBUT dari sebuah kerajaan di nusantara. Tahun 1605, memang VOC bisa bercokol di Ambon tapi itu bukan dengan merebut wilayah Hitu (sebagai kerajaan bawahan Kesultanan Ternate di pulau Ambon) tapi dengan merebut benteng Portugis yg didirikan di wilayah kosong di seberang benteng Hitu di teluk Ambon. Ketika itu Hitu hanya menguasai wilayah yg sampai sekarang dikenal sebagai jazirah Lei Hitu di pulau Ambon.

Selain itu kadang kemenangan VOC/Belanda adalah karena kemampuan mengeksploitasi kesempatan bagaimanapun kecilnya.

Bahkan Belanda baru berani mendeklarasikan Pax Neerlandica pada masa Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830 - 1833), setelah kemenangan dalam Perang Diponegoro tahun 1830. Di masa ini pun Kesultanan Aceh belum takluk sampai 1904.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement